Mengejar Adsence, Abaikan Common Sense

Jumartin Gerung,S.Si.,M.Kes
Jumartin Gerung,S.Si.,M.Kes

Komika Tretan Muslim dan Coki Pardede akhirnya dipolisikan atas dugaan ujaran kebencian dan penistaan agama. Laporan polisi ini dibuat di Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur atas nama Agus Fachruddin. Dalam Surat Keterangan Penerimaan Pengaduan yang diterima Kiblat.net pada Senin (22/10/2018), Pelapor menekankan bahwa Coki Pardede dan Tretan Muslim menyinggung kata “neraka” dan “cacing pita menjadi mualaf setelah daging babi disiram  kurma. Dalam surat tersebut dipaparkan bahwa pada tanggal 21 Oktober 2018 pengadu mengetahui dari grup whatsapp terkait dengan video di akun instagram dengan nama Tretan Muslim dan Coki Pardede yang berisi ujaran kebencian. Yang dianggap ujaran kebencian di sini adalah video pertama berdurasi 57 detik, teradu menghina sahabat Nabi. Kemudian, dalam video kedua di detik 13, teradu berkata bahwa di daging babi ada teriakan “Neraka, neraka”. Dan cacing pita menjadi mualaf setelah disiram kurma. Hendak menunjukkan sisi lain memaknai toleransi, kedua tingkah komika ini akhirnya berbuntut panjang.

Meskipun terlihat sederhana, have fun dan cenderung out of the box, menjadi seorang komika bukanlah pekerjaan mudah. Salah sedikit dalam menyampaikan materi, hal tersebut bisa membuat beberapa orang menjadi geram. Niatnya ingin bercanda, tapi kadang konsep materi yang dijadikan bahan candaan kadang gagal difahami para komika. Di benak mereka hanya bagaimana membuat suasana riuh, penuh gelak tawa. Urusan menyinggung orang atau kelompok tertentu, kadang jadi pertimbangan paling buntut. Padahal ini masalah krusial. Di luar negeri, acara semisal stand up comedy kerap dijadikan sebagai tempat untuk menyampaikan kritik sosial, juga ekonomi. Meski di sampaikan dalam acara stand up, kritik tersebut tak hilang makna.

Sebelum Tretan Muslim dan Coki Pardede, ada sederet komika yang pernah melakukan hal serupa. Sebut saja uus, Ge Pamungkas, atau joshua suherman yang berakhir pada drama permintaan maaf. Aksi mereka yang bisa jadi di luar kendali, sontak menuai kecaman. Sebagian menganggap para komika seolah mengalami kebuntuan aksara, miskin ide hingga menjadi perkara SARA sebagai bahan candaan. Padahal ini jelas akan mengundang reaksi bersama.

Berkaca dari berbagai peristiwa tersebut, menyeruak sebuah pertanyaan, apakah perbedaan keyakinan, heterogenitas yang menjadi warna di dalam kehidupan kita, benar-benar berpotensi untuk menyulut pertikaian? Apakah menghargai perbedaan itu lantas harus menyeragamkan seluruhnya? Atau justru ini merupakan keggagalan dalam memahami toleransi itu sendiri?

toleransi : beragam, tak harus seragam

Banyak yang menganggap bahwa identitas agama menjadi dasar fundamentalisme yang menafikan nilai-nilai kebenaran dari kelompok lain. Hal inilah yang ikut memicu munculnya ide pluralism yang menganggap bahwa semua agama sama. Kemunculan ide pluralisme –terutama pluralisme agama- didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim).  Tak ada agama yang lebih purna dibanding yang lain.

Konsep ini justru mengaburkan keyakinan masing-masing agama dan berpotensi mengaburkan ajaran agama masing-masing. Keberagaman adalah hal yang sunnatullaah adanya. Perbedaan bangsa, suku, ras,  dan bahasa telah ada sejak dulu. Di setiap tempat, selalu saja ada yang namanya perbedaan dan keberagaman.  Jika adanya perbedaan ini  adalah sesuatu yang wajar, maka saling menghormati layak menjadi konvensi umum bagi umat manusia. Dalam Al-Qur’an sendiri Allaah SWT berfirman “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13). Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui perbedaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam.

Kata toleransi adalah kata yang pantas untuk dipadankan dengan segala keberagaman. Toleransi sendiri  dimaknai sebagai bentuk peghormatan atas berbagai perbedaan. Penghormatan dalam konteks menghargai apa yang diyakini oleh masing-masing individu. Setiap agama bahkan dapat dipastikan memiliki batasan tegas dalam hal toleransi. Dalam Islam, toleransi bisa dimaknai dengan merujuk pada surat Al-Kaafirun : “lakum diinukum waliyadiin (untukmu agamamu, dan untukku agamaku)”. Konteks yang simple dan memberikan kebebasan kepada siapapun dalam beragama. Bahkan dalam albaqoroh dijelaskan pula bahwa tak ada paksaan dalam beragama, ini adalah toleransi persfektif islam yang menghormati kebebasan masing-masing individu. Kebebasan ini memberikan makna yang tegas, bahwa penganut agama tertentu tidak memiliki hak untuk mengganggu agama lain terlebih dalam permasalahan aqidah. Dakwah yang dilakukanpun tidak memaksa, melainkan mengajak berpikir. Karena jika seandainya dakwah dilakukan dengan paksaan, tak akan kita jumpai  agama Selain Islam di beberapa Negara yang pernah ditaklukkan Islam, padahal Islam sendiri pernah Berjaya selama kurang lebih 1300 tahun (13 abad lamanya). Spanyol yang bahkan dikenal sebagai Negara dengan tiga agama, pada saat dikuasai Islam tak pernah terjadi kasus yang bersifat intoleran apalagi kasus pelecehan agama, padahal tiga agama sekaligus hidup berdampingan saat itu.

Mari berkaca pada sejarah berbagai konflik dan pembantaian di belahan dunia, apakah pemicunya disebabkan oleh agama? Faktanya, konflik terjadi ketika Peran agama direduksi dan sekedar dijadikan sebagai alat politik. Saat agama dilihat sebagai cara untuk memuluskan rencana dan keinginan duniawi, maka digunakanlah agama. Di mimbar-mimbar, mereka sibuk mengutip ayat dan hadits dengan makna yang dipelintir dan dipaksa memihak terhadap kepentingan mereka. Namun ketika ummat bangkit menuntut penerapan syari’ah secara kaaffaah, mereka justru mengatakan bahwa tuntutan tersebut akan menggiring ummat pada konflik SARA. Faktanya, kaum sekuleris-lah yang menjadi sumber keresahan ummat, bukan agama. Lagipula, jika sebagian kalangan berkehendak memadamkan truth claim sang Pencipta, lantas kebenaran itu bersumber darimana? Janganlah hanya karena mengejar adsence, lantas anda mengabaikan common sense. Wallaahu a’alam.

 

Oleh : Jumartin Gerung,S.Si.,M.Kes
Penulis Merupakan Relawan media

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini