Terkadang saya tertawa sendiri, bukan karena melihat tikus dan kucing main petak umpet di belakang rumah tetapi karena melihat realitas politik publik yang mengalami pergeseran dari politik kemanusiaan ke politik kehewanan. Munculnya golongan hewan disaat berbeda pandangan dan pilihan politik yaitu “cebong” dan “kampret”. Ketika saya mengapresiasi pemerintahan Jokowi dan mengkritik gerakan politik oposisi maka saya disebut sebagai golongan cebong, pun ketika saya mengkritis pemerintahan Jokowi dan mengapresiasi gerakan politik oposisi maka siap-siap dibilang sebagai golongan kampret.
Sederhananya, bagi yang dukung Jokowi masuk golongan cebong, sedangkan bagi yang dukung Prabowo masuk golongan kampret. Andai cebong dan kampret adalah hewan yang memiliki rasa, betapa bangganya dua jenis hewan ini ketika dijadikan sebagai label bagi masyarakat Indonesia berdasarkan pandangan dan pilihan politiknya di Pilpres 2019. Entahlah kalau kita sebagai manusia yang memiliki rasa, apakah bangga atau tidak. Kalau kita bangga dan senang disebut maupun menyebut sesama kita manusia Indonesia dengan kedua label tersebut hanya karena berbeda pandangan dan pilihan politik, berarti ini pertanda bangsa kita sedang sakit.
Terkadang saya juga merasa sedih sendiri, bukan karena pisang goreng keju sarapan pagi saya di atas meja dimakan tikus tetapi karena melihat realitas politik yang membuat masyarakat Indonesia gampang marah dan mudah terprofokasi. Bagaimana tidak, politik SARA masih menjadi jurus andalan dalam mencari simpatik publik. Peristiwa pembakaran bendera bertuliskan lafadz tauhid (bendera HTI) digoreng dan melahirkan aksi bela tauhid yang lebih mirip kampanye politik untuk salah satu capres. Lalu blunder pidato Prabowo soal tampang Boyolali yang dijadikan guyonan melahirkan protes dan aksi save tampang Boyolali.
Aksi bela tauhid itu wajar, sebagai respon beberapa kelompok masyarakat muslim yang merasa agamanya dilecehkan sekalipun aksinya lebih mirip kampanye politik salah satu capres. Tetapi apakah unjuk rasanya harus berlanjut dan berjilid-jilid juga yang disertai kemarahan dan kebencian yang luar biasa? Tentu tidak harus. Apalagi masalah ini sudah ditangani kepolisian dan pelaku sudah diberi sangsi serta sudah ada ucapan permohonan maaf. Begitu pun soal blunder pidato Prabowo, aksi save tampang Boyolali itu wajar sebagai respon masyarakat Boyolali yang merasa direndahkan. Tetapi apakah akan terus berunjuk rasa sehingga lupa bahwa kita masyarakat yang pemaaf? Tentu tidak harus. Apalagi Prabowo sudah minta maaf jika ada masyarakat yang tersinggung dengan guyonannya tersebut.
Kedua peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa dalam situsi politik saat ini jangan bermain api dalam sekam. Hal-hal yang sensitif seperti menyinggung SARA sedikit mungkin dihindari apalagi dipolitisasi. Guyonan pun harus guyonan yang berkualitas seperti guyonan ala Kiayi dan Ulama NU yang mengandung pesan moril dan memberi wawasan. Kalau kita bertahan untuk selalu menggunakan politik SARA, memanfaatkan sensitifitas SARA untuk kepentingan politik kemudian kita juga gampang marah dan mudah terprofokasi hanya karena perbedaan pilihan politik maka ini pertanda bangsa kita sedang sakit.
Melihat kondisi bangsa seperti ini saya berpikir harus ada ramuan, namun bukan ramuan untuk membunuh tikus-tikus di rumah yang suka mencuri makanan tetapi ramuan untuk membuat politik kita bermartabat dan mencegah bangsa kita terpecah. Paling tidak ada tiga yang menjadi bahan dari ramuan untuk menyembuhkan bangsa kita yang seakan sakit karena politik, yaitu: (1) Politik Manusiawi. Politik yang memanusiakan manusia bukan menghewankan manusia, seperti label cebong dan kampret. (2) Politik kebangsaan. Politik yang menempatkan kepentingan bangsa (keutuhan bangsa) di atas kepentingan kuasa atau kepentingann lainnya. Dan ke (3) Politik Santun. Politik yang mengedepankan etika dan kesantunan baik dalam berucap dan bertindak. Politik yang mengembalikan kita sebagai bangsa yang ramah dan pemaaf. Ketiga bahan ramuan ini sebenarnya telah termuat dalam ideologi dan falsafah bangsa kita yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, tinggal kita menjiwainya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan berpolitk kita saat ini. (*)
Oleh: Falihin Barakati
Penulis adalah pemerhati sosial-politik yang juga merupakan kader PMII Sultra