Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Tak Berdampak Signifikan di Sultra

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Tak Berdampak Signifikan di Sultra

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pertengahan tahun 2018 ini, Indonesia mengalami pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika hingga mencapai pada kisaran Rp 15.231, namun beruntung sampai saat ini belum terlihat dampaknya bagi perekonomian masyarakat di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK) Samsul Anam mengatakan, pelemahan Rupiah terhadap Dolar merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Dampaknya ke perekonomian Sultra, kata Samsul, jika melihat dashboard perekonomian daerah belum terlalu dalam mempengaruhi perekonomian Sultra.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK) Samsul Anam
Samsul Anam

Terbukti, angka pertumbuhan ekonomi Sultra triwulan II 2018 tumbuh sebesar 6,09 persen dan berada di atas rata-rata nasional. Adapun hingga November 2018, inflasi tercatat sebesar 2,95 persen year on year (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional sebesar 3,23 persen (yoy).

“Yang perlu dijaga adalah jika akhirnya pemerintah menaikan harga jual BBM jenis solar dan premium yang lazimnya akan mendorong kenaikan harga-harga umum dan tentu berpengaruh ke daya beli masyarakat kita,” ungkap Samsul Anam kepada zonasultra.id Oktober 2018.

Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), nilai ekspor Sultra pada Oktober 2018 sebesar 103,50 juta dolar Amerika. Nilai tersebut mengalami kenaikan sebesar 25,89 persen dibanding ekspor September 2018 yang tercatat 82,21 juta dolar Amerika. Dengan volume ekspor Oktober 2018 tercatat 951,94 ribu ton atau mengalami kenaikan sebesar 54,22 persen dibanding ekspor September 2018 yang tercatat 617,26 ribu ton.

Meskipun demikian, nilai ekspor Sultra pada September 2018 sempat mengalami penurunan sebesar 14,85 persen (82,21 juta dolar Amerika) dibanding ekspor Agustus 2018 yang tercatat 96,56 juta dolar Amerika. Dimana, volume ekspor September 2018 tercatat 617,26 ribu ton atau mengalami penurunan sebesar 19,81 persen dibanding ekspor Agustus 2018 yang tercatat 769,71 ribu ton.

Masyarakat Sultra akan terpapar risiko pelemahan Rupiah ini jika konsumsi berasal dari barang impor. Fakta di lapangan barang yang menjadi kebutuhan pokok di Sultra masih berasal dari pasar lokal dan paling jauh antar pulau se-Indonesia.

Misalnya, kebutuhan pokok seperti beras datang dari Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Jawa Timur (Jatim), ayam potong dan telur juga berasal dari wilayah Indonesia. Sehingga, pelemahan Rupiah ini belum berdampak terlalu dalam terhadap perekonomian dan daya beli masyarakat Sultra.

“Kalau eksportir kita sudah pasti menikmati dampak pelemahan rupiah,” kata Samsul sembari berkelakar.

Sementara pengamat ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Syamsir Nur menilai, ada dua sisi yang terdampak kenaikan Dolar. Pertama, pelemahan nilai tukar Rupiah berdampak terhadap sejumlah aspek, diantaranya terjadi kenaikan beban fiskal atau defisit APBN.

Di mana nilai uang pemerintah dan utang swasta mengalami peningkatan. Kemudian, sektor industri akan mengalami kelesuan karena umumnya industri di Indonesia, termasuk Sultra membutuhkan bahan baku impor.

Selain itu, depresiasi nilai tukar juga cenderung memberikan dampak positif bagi daerah yang memiliki kegiatan ekonomi di sektor pertambangan, terutama bagi pelaku ekonomi yang bersentuhan langsung dengan investor. Sebab, kenaikan pendapatan tentu akan berimplikasi pada sektor lain, misalnya konsumsi swasta akan meningkat. Olehnya itu, konsumsi swasta tetap diharapkan dapat mendrive growth ekonomi Sultra.

“Akan ada peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan royalti dari sektor pertmbangan sebagi komponen penerimaan dalam APBN,” ungkap Syamsir.

Senada dengan Syamsul Anam, dampak lokal terhadap perekonomian Sultra pada umumnya tidak terlalu berpengaruh. Setidaknya hanya pada kenaikan harga barang kebutuhan yang sifatnya impor dan itu jumlahnya tidak terlalu besar.

“Daya beli yang turun pada produk-produk impor atau pada industri yang menggunakan bahan baku impor, ada kecenderungan akan terjadi kenaikan harga pada kebutuhan sekunder dan tersier misalnya sektor transportasi dan komunikasi. Bisa dicek bagaimana tren penjualan alat berat, handphone dan kendaraan bermotor saya kira belum signifikan. Tapi bagi petani kakao, pengekspor ikan atau penghasil komoditas yang diekspor mereka dapat untung,” jelasnya.

Syamsir menambahkan, peluang yang bisa diambil oleh pemerintah dan masyarakat dengan fenomena ini adalah mendorong ekspor, memperbaiki daya saing produk dalam negeri, mencuri minat konsumen untuk memperoleh barang yang relatif murah namun berkualitas. Kemudian, pemerintah daerah dapat mendorong dan meningkatkan kualitas sektor pariwisata dengan menciptakan destinasi wisata baru untuk menarik wisatawan mancanegara.

Kepala Perwakilan BI Sultra Minot Purwahono
Minot Purwahono

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Minot Purwahono, mengatakan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit, sehingga untuk menahan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika, Bank Indonesia harus menaikan suku bunga. Hal ini dilakukan agar investor masih mau menanamkan sahamnya di Indonesia dan menjaga agar cadangan devisa negara tidak mengalami penurunan.

“Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia, semua terkena dampak kebijakan Amerika ini. Hanya saja yang terkena dampak sedikit dan ada yang terkena dampak besar,” jelasnya di Kantor Bank Indonesia Perwakilan Sultra pada Kamis, (6/9/2018).

Menurutnya, perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika, pemerintah harus melihat peluang terhadap produk yang dikenakan bea masuk oleh kedua belah pihak. Misal, jika bahan bakunya tidak terbuat dari stainless steel maka tidak berpengaruh terhadap Sultra. Tetapi jika terbuat dari stainless steel, maka pemerintah harus mulai mengambil langkah strategi salah satunya untuk melakukan ekspor ke negara lain yang tidak sedang perang dagang dengan Amerika.

“Kan bukan hanya China tujuan negara ekspor kita,” tambahnya.

Meskipun, perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika belum berdampak, namun, pemerintah mesti tetap waspada, dimana untuk terus menggenjot supaya bisa menaikan ekspor. Olehnya itu, pemerintah harus lebih meningkatkan kualitas komoditi ekspor seperti kakao dan perikanan, karena sebenarnya banyak permintaan dari berbagai negara, hanya belum bisa memenuhi sesuai permintaan. Padahal banyak potensi yang bisa menambah ekspor yang belum dikelola secara maksimal.

“Bukan hanya mengelola di satu sektor seperti pertambangan, sebab di pasar sektor ini juga naik turun. Karena potensi di Sulawesi Tenggara itu banyak, kalau kita bisa mengelola sektor pangan, itu tidak akan berhenti. Selama masih ada orang di dunia itu akan jalan,” jelasnya.

Ia mengungkapkan, lebih baik mencari cara untuk bisa mendukung ekonomi Sultra agar bisa tumbuh. Minimal juga bisa memberikan supporting (dukungan) untuk memberikan tambahan devisa bagi negara. Sebab, ia menilai Sultra juga memiliki potensi besar yang bisa diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Sedangkan, anggota Komisi XI asal Sulawesi Tenggara (Sultra) Haerul Saleh mencoba optimis situasi pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika akan membaik. Haerul tidak memungkiri bahwa berdasarkan rapat dengan BI kondisi neraca perdagangan Indonesia tidak dalam kondisi baik. Sebutnya, neraca perdagangan Indonesia tiga bulan berturut-turut terus mengalami defisit.

DPR RI asal Sulawesi Tenggara (Sultra) Haerul Saleh
Haerul Saleh

“Pemerintah dan Bank Indonesia masih optimis bahwa situasi ini hanya perlu penyesuaian. Potensi ke depan masih bisa membaik,” ujar politisi partai Gerindra.

Kendati demikian, lanjutnya, pemerintah tetap optimis Indonesia tidak akan mengalami krisis, seperti halnya yang terjadi pada tahun 1998 silam. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai rupiah, itu salah satunya adalah The Fed (The Federal Reserve System : bank sentral Amerika Serikat) yang menaikan suku bunga.

Selain itu, perang dagang antara Amerika Serikat dan China turut mempengaruhi kondisi keuangan dunia. Haerul mengatakan, ancaman perang dagang kedua negara super power ini membuat Amerika menaikkan bea masuk barang-barang dari China.

“Tapi bukan hanya dari China akhirnya, termasuk dari Indonesia juga kena imbasnya. Ekspor kita menjadi berat karena dinaikan bea masuk dan itu menggunakan dollar,” pungkas politsi Gerindra ini.

Banyaknya belanja dolar juga otomatis mengakibatkan rupiah menjadi terdepresiasi. Sementara itu, legislator lain dari Sultra yakni Ridwan Bae mengatakan hal yang sama. Ia menghimbau kepada masyarakat agar tidak panik terhadap pelemahan rupiah saat ini.

“Tentu kita percayakan ke pemerintah untuk mampu mengatasi persoalan ini. Kita tidak perlu panik. Toh bukan hanya Indonesia yang terkena dampak dari hal tersebut. Bahkan sekelas negara Turky juga mengalami hal yang sama,” terangnya.

Untuk diketahui, per 22 Desember 2018, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika berada pada kisaran Rp 14.552. Trend nilai tukar ini, dari waktu ke waktu terus mengalami ketidaktetapan atau guncangan (fluktuatif). (a)

 


Kontributor : Sitti Nurmalasari
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini