#2019 Worst Elections Ever Had

Dodi Santoso Opini
Dodi Santoso., S.Sos., M.I.Pol

Perhelatan Pemilihan Umum 2019 memang telah usai, bangsa Indonesia telah nelakukan sebuah hajatan besar yaitu hajatan politik,dimana untuk pertama kali nya masyarakat Indonesia menggunakan 5 hak suara nya sekaligus dalam satu waktu pemilihan., yaitu pemilian DPRD Kota/Kaupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden serta Wakil nya. Namun, dalam penyelenggaraan pesta demokrasi 5 tahunan tersebut menyisakan banyak masalah dan juga perkerjaan rumah yang harus segera ditangani oleh stake holder terkait, baik penyelenggara (KPU dan Bawaslu) maupun lembaga legislatif yang membuat aturan tentang pemilu.

Pemilu tahun 2019 kali ini, merupakan pemilu dengan tingkat kerumitan sangat tinggi (most complex elections) dan juga pemilu dengan biaya paling mahal (most expensive elections) yang menelan dana 24,9 Triliun namun dengan pelaksanaan yang jauh dari kata maksimal alias buruk. Dari mulai tahap persiapan atau pra pemilu, masalah DPT (daftar pemilih tetap) masih menjadi current issue pada tahapan persiapan pemilu, dimana harusnya masalah DPT ini sudah bukan masalah serius lagi, karena instrumen penunjang DPT sebenarnya sudah tersedia, dari mulai sensus penduduk, sampai data dari KTP elektronik yang harus nya bisa menjadi acuan penyelenggara. Masalah selanjutnya adalah kontroversi kotak dan bilik suara yang menggunakan bahan kardus, dengan anggararan yang begitu besar nampaknya sangat ironi apabila material nye menggunakan kardus, hal ini mendapat banyak sekali protes dari semua pihak namun KPU tak bergeming.

Selanjutnya masih dalam tahap pra pemilu yaitu distribusi logistik pemilu, dibeberapa daerah seperti di Nias dan Jayapura yang paling menjadi sorotan sehingga tidak dapat melaksanakan pencoblosan tepat tanggal 17 april, ini jelas mengindikasikan bahwa penyelenggara kurang tanggap dalam mengantisipasi wilayah-wilayah dengan jangkauan yang sulit, padahal masalah coverage wilayah harus nya sudah selesai karena kita sudah berulang kali melaksanakan pemilihan umum. Selain itu ada surat suara yang tercecer di jalan yaitu terjadi di Kampar Riau, lalu di Bogor sebanyak 680 kotak suara rusak akibat diterjang banjir.

Selanjutnya adalah masalah ketika pelaksanaan pemilu nya itu sendiri, yaitu pada 17 april 2019. Sebelum pelaksanaan pemilu di dalam negeri, panitia pemungutan luar negeri di beberapa negara telah melalukan pemungutan suara, masalah yang paling mencolok adalah pemungutan di Malaysia, dimana terjadi illegal act atau perbuatan yang illegal yaitu ditemukan surat suara yang telah tercoblos oleh salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya dan juga tercoblos oleh salah satu calon legislatif DPR RI dari partai tertentu, disini kami tidak membahas siapa dan apa nya, namun penyelenggara yang kurang cekatan dalam mengawal dan memastikan pemilu di luar negeri itu berjalan dengan prinsip jujur dan adil. Di beberapa daerah di tanah air juga tak luput akan permasalahan ketika pencoblosan, seperti terjadi illegal act dengan adanya surat suara yang tercoblos sebelumnya, seperti di TPS Musi Bayuasin Palembang, di Tangerang, dan di Kolaka Utara ketua KPPS di duga mencoblos sisa surat suara untuk salah satu pasangan calon.
Irrational & Emotional Act

Masalah selanjutnya adalah pasca pencoblosan, ini yang merupakan klimaks dari permasalahan pemilu kali ini. Peristiwa yang kadang tidak masuk akal pun bisa saja terjadi. Masalah pertama yaitu tentang tindakan yang emosional, seperti terjadi di daerah Tidore ada salah satu caleg yang tidak terpilih menyinggung pemberian berupa karpet masjid, karena suara tidak cukup sang caleg menyinggung pemberian karpet tersebut, sontak jamaah masjid pun mengembalikan karpet pemberian sang caleg, selanjutnya di daerah Wajo yang mengambil kembali jilbab pemberian nya karena gagal terpilih menjadi anggota dewan, ada juga di Maluku Utara ada seorang caleg yang meminta kembali sajadah nya usai tidak terpilih. Selanjutnya tindakan irasional seperti terjadi di Lampung Utara, Ketua KPPS dirampok dan ditembak untuk mendapatkan dokumen pencoblosan, lalu di Balikpapan, kotak suara dicuri oleh orang yang tidak dikenal, walapun akhirnya dapat ditemukan kembali, lalu di Riau ada seorang pemuda yang diamankan karena mencoblos 20 kali di TPS yang berbeda. Selain masalah yang ada pada para calon, masalah selanjutnya juga ada di penyelenggara, total petugas TPS yang meninggal ada 54 orang, ini merupakan most deadly elections, tugas yang amat melelahkan membuat para pejuang demokrasi ini gugur, hal ini dikarenakan kompleks dan melelahkan nya penyelenggaran pemilu.

Setiap orang akan berbuat apapun demi terpilih (menjadi anggota legislatif atau presiden dan wakil presiden), hal ini di karenakan tekanan yang tinggi (high stress) karena mereka telah menggelontorkan banyak sekali uang dan materi lain nya, sehingga kontestasi pemilu ini di ibaratkan total war atau perang yang holistik (keseluruhan). Makanya tidak heran muncul tindakan-tindakan emosional dan irasional seperti diatas. Kompetisi ini ibarat serial Game of Thrones yang harus dimenangkan oleh siapaun yang ikut dalam kontestasi.

Potensi Deligitimasi

Melihat carut marut nya penyelenggaraan pemilu kali ini bisa dikatakan bahwa pemilu terburuk yang pernah ada, atau worst elections ever had, dengan demikian tingkat kepercayaan publik terhadap hasil dan penyelenggara pun pasti di pertanyakan kredibilitas nya sehingga hal ini dapat menimbulkan de-legitimasi pemilu itu sendiri, atau ketidak percayaan akan legitimasi dari hasil pemilu, jelas ini mencederai demokrasi dan hak-hak rakyat. Pemilu 5 tahunan yang dianggap manifestasi atau perwujudan dari supremasi hak politik rakyat harus tercederai oleh penyelenggaraan yang tidak memiliki prinsip legitimasi dan juga tidak kredibel.

Selain itu, masalah lain yang dapat timbul dari de-legitimasi pemilu adalah dapat berpotensi perpecahan di masyarakat, dan konflik pemilu ini (pilkada, pilcaleg dll) merupakan konflik yang bersifat laten artinya konflik tersebut suatu saat akan terjadi lagi. Kita ketahui bersama bahwa sesungguhnya perpecahan itu sudah terjadi dan berlangsung cukup lama di masyarakat, masyarakat seakan terbelah menjadi 2 kubu, dan hal ini (konflik pemilu) akan terus menerus terjadi mankala ada kontestasi pemilu lagi. Oleh karena itu pihak penyelenggara (KPU dan Bawaslu) dari tingkat pusat maupun daerah harus segera memperbaiki kinerja nya guna mengembalikan kepercayaan publik. Selanjutnya harus ada evaluasi serius dari pihat terkait mengenai penyelenggaraan pemilu yang melelahkan ini.

Oleh : Dodi Santoso
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini