Tradisi 5 tahunan pemilihan kepala daerah/walikota menjadi isu hangat yang sering diperbincangkan dikalangan masyarakat, mulai dari masyarakat kelas bawah, masyarakat kelas menengah hingga masyarakat kelas atas dan tidak peduli dalam kondisi dan keadaan apapun (ruang terbuka hingga ruang tertutup).
Pemilihan kepala daerah/walikota di kota kendari misalnya, telah ramai diperbincangkan dan menjadi tema hangat disetiap forum forum perkumpulan, baik tukang ojek, tukang angkot, komunitas motor, anak band, komunitas alay, para pedagan, para pejabat, pengusa hingga kaum itelektual (mahasiswa) dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Perbincangan ini bukanlah tanpa alasan, kehausan akan pemimpin yang mampu menciptakan dan mewujudkan kota kendari sebagai kota yang aman, damai, religius, bersih, terlebih lagi kehausan akan pemimpin yang mampu menekan kemiskinan dan mewujudkan kesejahtraan mejadi salah satu alasan kuat yang mendasari.
Para figur atau bakal calon walikotapun mulai bermunculan dan menunjukan eksistensinya ditengah tengah masyarakat, berbagai macam slogan digunakan demi meraut dan mencuri perhatian masyarakat atau pengguna hak pilih.
Baliho, pamflet dan stiker para figur atau bakal calon walikota mulai menghiasi media sosial, sudut sudut kota, rumah warga hingga ditempat umum lainnya. Tidak jarang berserakannya baliho, pamflet, dan stiker bakal calon walikota merusak pemandangan sekitar kota.
Banyaknya para figur bakal calon walikota yang bermunculan menjadikan pertarungan makin berdinamika, tidak menutup kemungkinan ego etnis atau sukuisme (daratan vs kepulauan) dijadikan sebagai basis massa.
Andai hal itu benar terjadi, maka banyaknya figur bakal calon yang telah berwacana akan mengkerucut pada 2 atau 3 figur, mau tidak mau yang lain harus siap menjadi wakil atau tersingkir dari karnaval pilwali.
Dalam posisi ini Campur tangan partai politik tidak bisa dilupalan, karna partai politik selain menjadi lumbung suara, ia juga menjadi salah satu syarat penunjang untuk menjadi figur tetap dipertarungan pilwali.
Melihat banyaknya para figur yang berwacana untuk tampil di pilwali Kendari periode 2017-2022, maka perlu kiranya kita mengetahui dan memahami motivasi awal para politikus yang telah mewacanakan diri.
Apakah motivasi mereka untuk terjun kedunia politik? Menyejahterakan rakyatkah? Atau mencari fasilitas mewah? Menyuarakan aspirasi rakyatkah? Atau menyuarakan aspirasi kelompok atau partai?
Secara garis besar, Toto Suparto mengatakan bahwa ada dua motivasi besar dalam kiprah para politisi di Indonesia saat ini.(Toto Suparto:2009).
Pertama adalah kebutuhan biologis. Mengutip pendapat filosof politik Arendt, Toto Suparto mengatakan bahwa berpolitik dengan mengedepankan kebutuhan biologis akan menjadikan politikus seperti binatang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja. Secara singkat ia mengistilahkan sebagai politikus yang bekerja.
Sedangkan motivasi kedua adalah motivasi berkarya. Yaitu motivasi yang berlandaskan nilai guna. Ukuran yang berlaku disini adalah kegunaan seorang politisi bagi rakyat luas. Inilah yang membedakan manusia dan binatang. Manusia dapat berkarya dengan memperlihatkan karyanya pada rakyat banyak.
Dalam kajian pengembangan diri, ada dua faktor yang mendorong manusia melakukan sesuatu. Yang pertama untuk mendapatkan kenikmatan (gaining pleasure) dan kedua untuk menghindari ketidaknyamanan (avoiding pain).
Yang pertama dilihat dari prestasi, penghasilan yang layak, kebaikan materi lahir maupun batin dan lain sebagainya. Sedangkan yang kedua dapat dilihat melalui terhindarnya dari rasa malu, rasa takut, lingkungan yang buruk, kekhawatiran, atau jauh dari kesengsaraan dan penderitaan.
Akan tetapi, pada tahun 1959, melalui kajian dan penelitian terhadap para manajer perusahaan, Frederick Herzberg menyimpulkan bahwa “menghindari ketidaknyamanan” tidak bisa dijadikan dasar motivasi seseorang.
Walaupun menghindari ketidaknyamanan dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu, namun dorongan tersebut lebih berjangka pendek. Artinya, dorongan tersebut akan hilang seiring hilangnya ketidaknyamanan.
Farid Poniman, Indra Nugroho dan Jamil Azzaini, master trainer pada sebuah lembaga konsultan pengembangan SDM di Jakarta, mengelompokkan motivasi dalam tiga kategori dasar, yaitu to be, to have, dan valency
To be adalah keinginan untuk menjadi. Dalam hal ini dikaitkan pada proses pengejaran prestasi pada tahap akhir. To have adalah keinginan untuk memiliki sesuatu. Dalam hal ini dikaitkan pada hasil akhir yang berupa materi. Sedangkan valency adalah tingkat kualitas diri seseorang dalam mengarahkan hidupnya. Dalam hal ini berkaitan dengan kapasitas yang ada dalam manusia itu sendiri.
Dari ketiga motivasi tersebut, motivasi to have adalah satu-satunya motivasi yang menjadi parasit bagi kedua motivasi lainnya. Ketika to have lebih tinggi, ia cenderung akan membatasi to be dan valency. Ia akan membuka pintu menghalalkan segala cara atau kesesatan untuk memperoleh hasil akhir yang ia inginkan, dan secara tidak langsung ia akan merusak proses menuju prestasi (to be) dan pengembangan kapasitas diri (valency).
Akan tetapi jika to have dapat direndahkan dibandingkan to be dan valency, kesuksesan jangka panjanglah yang akan diraih. Karena prioritas yang dimiliki adalah prestasi dan kapasitas diri. To have, dalam hal ini cenderung menjadi efek samping dari prestasi yang terus melejit dan kapasitas diri yang terus bertambah.
Manakah yang menjadi motivasi dari para figur atau bakal calon walikota kendari? Entahlah hanya mereka dan tuhanlah yang tahu.
Semoga rakyat tidak dikebiri, karna Pada dasarnya kekuasaan bukanlah tujuan akhir perjuangan politik, melainkan sarana untuk memfasilitasi tumbuhnya politik, guna mensejahterakan rakyat sebagai pemilik mandat berbangsa dan bernegara.
Oleh: Hasruddin Jaya ]
(Kabid Advokasi dan Pergerakan HMI-MPO Cabang Kendari)