Kota tidak dapat dilekatkan dalam satu entintas tertentu terutama etnis, sebab sudah menjadi satu penciri utama jika kota adalah arena pertemuan segala golongan. Sehingga menjadi tidak relevan membincangkan narasi mengenai bagaiamana “membangun kota” berbasiskan etnis sebagai pijakan. Ini sama dengan kembali atau —mengalami kemunduran— pada satu tatanan hidup yang sangat primordial.
Sementara kita tau persisapa yang bersifat primordial mudah disulut api dan amarah. Berkenaan dengan karakternya tersebutlah mengapa isu-isu rasial mudah dipolitisasi. Hal ini sudah terjadi sejak jaman kolonial dimana terjadi pembagiaan kewarganegaraan berdasarkan asal usul yang menyebabkan antara satu orang dan orang lain berbeda di hadapan hukum dengan adanya Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan penduduk asli atau Bumiputera. Hal tersebut berlanjut bahkan pada penataan ruang kota sehingga dalam beberapa kota tertentu terdapat kampung Arab, pemukiman China, dan kampung-kampung yang khusus hanya dihuni oleh orang-orang melayu. Situasi ini menimbulkan segresi sosial dan memfragmentasi warga kota sehingga menjadi lebih rentan pada konflik.
Maka gagasan mengenai bagaimana menonjolkan satu etnis tertentu dalam suatu kota menjadi tidak relevan. Etnis merupakan isu yang sangat purba untuk dipolitisasi sudah digunakan sejak jaman kolonial dan telah mengalami rupa-rupa kritik sehingga hari ini kita tidak lagi hidup dalam sekat-sekat berjubah etnisitas. Kita saat ini menikmati wajah Indonesia modern dimana warga kota menjadi setara dalam berbagai rana.
Sialnya apa yang telah menuai kritik sejak lama, belakangan menguat. Politik identitas yang berkait-kelindang dengan kepentingan-kepentingan pragmatis menjadi jualan politisi, sebagai batu loncatan untuk mencapai cita-cita dan kepentingan sementara. Tentu hal ini menciderai proses bernegara yang demokratis juga kihidupan di ruang kota yang memang berwatak plural dalam segala sisi.
Hawa politik etnisitas berbasiskan ras ini terasa pula dalam narasi yang ditawarkan oleh mereka yang terlibat aksi menuntut pengesahan walikota kendari yang mana hal ini mestinya dibiarkan berjalan secara konstitusional. Bukannya melalui desakan massa yang lebih condong berdiri di atas satu golongan saja.
Mengingat Kendari sebagai IbuKota Provinsi Sualwesi Tengara maka telah menjadi sebuah keniscayaan bagi kota ini untuk didiami berbagai kalangan dan golongan yang berbeda-beda latar belakang baik dari segi etnis, agama, warna kulit, budayadll.
Sebab telah menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah kota untuk tumbuh dan bergerak maju alih-alih —mengalami kemunduran— sebagaiman telah saya sebutkan diawal. Menjadi kosmpolit adalah karakter atau penciri utama sebuah kota. Termaksud Kendari. Pun dalam sejarahnya kota ini telah sejak dulu kala menjadi ruang hidup dan pertemuan berbagai etnis.
Penelitian yang dilakukan oleh Anwar dkk misalnya menunjukkan bahwa sejak tahun 1831 Kendari telah menjadi basis keamanan melalui pendirian pos militer dan menjadi salah satu pusat dagang pemerintah kolonial. Begitupula ketika penguasaan nusantara beralih ke Jepang, Kendari masih tetap dipandang sebagai wilayah yang paling menguntungkan di Jazirah Tenggara Sulawesi sehingga tetap menjadi basis pertahanan militer dan pusat aktivits ekonomi.
Karena wilayah ini jauh lebih aman daripada daerah lain maka banyak orang yang datang mengungsi ke Kota kendari hal ini terjadi misalnya pada masa pemberontakan terjadi sebagai sisa dari revolusi fisik. Dimana pengungsi yang menetap di Kendari pada akhirnya membantu sirkulasi perekonomian Kota Kendari tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara. Selain terjadi pengungsian besar-besaran yang masuk ke Kota Kendari, letak geografis yang strategis, aman dan serta adanya pelabuhan menyebabkan wilayah ini menjadi ruang persinggahan dan pertemuan sehingga beragam etnis datang bermukim di seputar Teluk Kendari.
Jadi sejak lama wilayah ini telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Bukan hanya didiami oleh etnis Tolaki saja. Tetapi sejak dulu telah ada orang Bugis dan Bajau bermukim di seputaran teluk Kendari. Belakangan sebagai Ibu Kota provinsi, semakin beragam etnis yang menghuni Kota Kendari dapat di katakan etnis-etnis besar yang ada di Jasirah Tenggara Sulawesi semua dapat ditemui di Kota ini mulai dari Buton, Muna, Morenene dan Tolaki, beserta berbagai etnis lainya seperti Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Maluku, Bima, Tionghoa dan berbagai etnis dari Provinsi Sulawesi lainnya seperti Banggai, Toraja, Mandar serta suku dari daerah-daerah lainnya dapat dengan mudah di temui di Kota Kendari saat ini.
Inilah satu penanda bagaimana Kendari telah menghidupi budaya-budaya perkotaan sebagaiamana Brenda S.A. Yeoh (1996) dalam Abidin Kusno (2012- hal 193) bahwa kota adalah melting pot atau panci pelebur di mana orang dari berbagai macam etnis dan bangsa melebur menjadi satu. Maka menjadi ahistoris jikalau di abad ini kita masih menuntut bahwa pemimpin kota mestilah datang dari satu etnis tertentu.
Keberagaman, mutlak dibutuhkan dalam membangun suatu kota. Bahkan kota-kota di negara paling maju seperti di Amerika misalnya juga dibangun oleh berbagai macam suku dan bangsa pendatang. Terlebih untuk kota menegah yangsedang berbeanh seperti Kendari, keberagaman perlu dipandang sebagai kekuatan bagi kemajuan Kota dimana kompetisi tumbuh dalam berbagai lini, baik pada konteks sosial, ekonomi maupun politik.
Seperti dalam percaturan pemilihan pemimpin kota misalnya tidak dapat lagi dibaca sebagai suatu skema untuk memastikan bahwa apa yang seringkali digaungkan sebagai putra daerah dan bukan putra daerah menjadi tidak relevan. Tetapi harus dilihat sebagai suatu skema penyaringan secara sosial-politik atau sebuah kesempatan yang tebruka bebas bagi setiap mereka yang telah mencatatkan diri sebagai warga Kendari untuk mengabdikan diri sebagai pemimpin kota.
Oleh : Kasmiati
Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK)