ZONASULTRA.COM, RAHA – Hidup di tengah kota, konsekuensinya setiap warga harus memiliki mental baja, berpikir lebih inovatif agar bisa mengumpulkan pundi rupiah untuk keberlangsungan hidupnya. Minimnya lapangan kerja menuntut setiap warga untuk mampu menunjukkan skill dan menciptakan lapangan kerja sendiri.
Namun getir dan kerasnya kehidupan, juga harus dialami beberapa orang pinggiran yang bermukim di kota Raha, kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang memiliki kemampuan terbatas. Mereka bahkan tak mampu beradaptasi dengan kecanggihan teknologi yang kian melaju.
Salah satunya, Suardi (42) warga desa Lagasa dusun Wabahara yang hidup tepat berada di pinggiran kota Raha dengan profesinya sebagai nelayan pukat.
Pria yang hanya mengenyam dunia pendidikan hingga tingkat SMP saja ini, harus berjuang melawan getirnya hidup, mengais rezeki menangkap ikan di lokasi aliran limbah pemukiman warga kota Raha.
“Paling banyak yang saya tangkap ikan Mujair. Karena ikan jenis ini suka sekali dengan lumpur,” cerita Suardi, saat ditemui awak zonasultra.id, di pinggiran kota Raha sambil membuka ikan tangkapan dari jerat pukat miliknya, Rabu (15/5/2019).
Pria yang sudah lima tahun menekuni profesi itu menuturkan, ikan Mujair yang jadi sasaran tangkapannya tiap hari kadang mencapai puluhan kilo. “Hampir setiap hari memukat dilaut pinggir kota. Ikannya tak pernah habis. Walau tiap hari ditangkap. Kadang sehari saya dapat sampai dua ember cat Tiger (merk produk cat),” ulasnya.
Ikan Mujair hasil tangkapannya itu selalu dijual pada nelayan lain yang berprofesi sebagai nelayan tangkap kepiting.
“Ikannya saya jual sama nelayan juga. Tapi sama yang tangkap kepiting. Kepiting rajungan, ditangkap pake alat Bubu namanya dan umpanya harus pakai ikan Mujair. Satu ember harganya hanya Rp 80 ribu,” urainya.
Kalau hasil tangkapannya mencapai dua ember sehari, Suardi kadang bisa mengumpulkan rupiah sebanyak Rp 200 ribu. Namun rezekinya juga, kadang tergantung pada pasang surut air laut. Bahkan terkadang ia tidak keluar memukat. “Kalaupun saya keluar paling hanya untuk dimakan saja,” katanya.
Penghasilannya pun tak tentu. Sebulan dia hanya bisa mengumpulkan uang rata rata Rp 1 juta lebih. Itu pun kalau lagi bagus rezeki. Karena selain dirinya, masih banyak juga orang memburu ikan mujair ini untuk dimanfaatkan sebagai lauk ataupun dijual.
#Tak Malu dengan Profesinya
Demi untuk menafkahi istri dan dua anaknya, Suardi melawan gensi. Dia bahkan tak malu bercengkrama dengan tumpukkan sampah yang keluar melalui gorong gorong saluran pembuangan yang menuju ke laut.
“Untuk apa malu. Malu itu, kecuali mencuri inikan halal apalagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ucapnya dengan nada bersemangat.
Sebagian orang menilai, profesinya sebagai nelayan harusnya menjanjikan seperti yang ditekuni oleh masyarakat bajo yang bermukim di desa setempat. Namun Suardi, lebih memilih jadi nelayan pukat. Menyisir aliran pembuangan limbah yang menuju kelaut.
“Tiap hari saya memukat. Kadang dibagian depan Rujab Bupati. Lalu dibagian sarana olahraga (SOR). Saya sisir sampai dibagian SMK 3 Raha. Semuanya dialiran pembuangan limbah,” ungkapnya.
Jika memukat, ia pantang pulang sebelum mendapatkan ikan. “Kalau kurang ikan kadang sampai tengah malam baru pulang. Pokoknya harus dapat,” timpalnya.
Selain itu, lanjut Suardi, ikan hasil tangkapannya itu, juga dimanfaatkan untuk lauk. “Kalau ikan yang besarnya kita jual untuk beli sayuran. Kadang kita pake untuk makan kalau musim terang bulan,” katanya.
Tapi uniknya, tambah Suardi, ikan mujair yang ditangkapnya tidak mengonsumsi sampah yang ada disekitar itu. “Selama saya makan ikan ini, tidak pernah saya dapat dalam perut ikan ada sampah plastik. Hanya ada lumpur,” cetusnya.
#Sudah Dua Ramadan Puasanya Tetap Lancar
Meski dalam keadaan bekerja Suardi juga tak meninggalkan kewajiban ibadah ramadan tahun ini. “Alhamdulilah, saya puasa. Kalau tidak puasa dari tadi sudah merokok,” cetusnya sambil tertawa.
Sejak dua tahun terakhir, pria yang dulunya hidupnya gemar mengonsumsi alkohol tak pernah lagi meninggalkan puasa. Dorongan itu, tak lain karena ingin mengubah pola hidup dari berfoya foya menjadi kepala rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap keluarganya.
“Dulu kerja cuma keliling. Tapi sekarang saya pikir itu semua tidak ada gunanya. Makanya meskipun pekerjaan ku ini dipandang sebelah saya tetap bersyukur. Mudah mudahan saya bisa dapat rezeki yang baik kedepan,” imbuhnya.
Kata dia, sejak hari pertama ramadan hasil tangkapannya selalu banyak. Makanya ia rajin memukat dibandingkan pergi melaut ikut kapal tangkap ikan milik orang lain. “Justru puasa saya tidak pernah merasa capek. Makanya saya lebih suka pukat Mujair daripada ikut magai (istilah bagi penangkap ikan),” urainya.(SF/a)
Kontributor : Nasrudin
Editor : Kiki