Sepiring Kearifan Pada Sepanci Kari Ayam

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Lebaran diumumkan besok oleh pemerintah. Dua ormas besar, NU dan Muhammadiyah, sepakat. Pasca orde baru, mereka kerap berbeda dalam penentuan 1 Syawal. Akibatnya, sholat Idul Fitri di negara kita seringkali berlangsung dua hari. Biasanya, Muhammadiyah duluan. Setelahnya barulah NU (dan pemerintah) di hari berikutnya.

Syukurlah tahun ini NU-Muhammadiyah sepakat. Artinya, opor dan kari ayam mencapai puncaknya pada hari Rabu esok. Inilah sebenarnya bahasan utama kita. Tentang ayam. Tepatnya, masakan berbahan dasar ayam, yang mengiringi perayaan Lebaran.

Lebaran selalu identik dengan ayam. Ketika kanak-kanak, bahkan bukan Lebaran sekalipun, jika di rumah kami sedang potong ayam, maka bagiku itu adalah Lebaran.

Saya hanya mengenal ayam kampung. Tidak ayam lainnya. Seperti ayam yang dipelihara secara instan itu. Yang dimuat dalam mobil-mobil khusus beratus-ratus ekor jumlahnya. Yang warna bulunya seragam. Putih atau merah. Yang badannya gemuk tapi tak enak dipandang.

Saya tidak menyukai ayam yang dijagal secara massal itu. Jika harus makan, pasti hanya sedikit. Sekadar menemani nasi agar tidak tawar.

Lain rasanya jika ayam kampung. Ayam buras kata orang di kota. Gallus domesticus kata orang Latin. Baik di lidah maupun pada cita rasa sosio-kultural.

Pada ayam kampung tidak dikenal istilah pedaging dan petelur. Mereka pedaging sekaligus petelur. Yang dibiakkan alami. Tidak ada intervensi pakan. Obat-obatan. Yang merangsang pertumbuhan.

Ketika disembelih, ada tatacaranya. Yang tata laksananya diturunkan dari generasi ke generasi. Tentang memperlakukan makhluk hidup. Yang memiliki nyawa.

Itulah sebabnya, semasa kecil dulu, di kampung kami, tidak sembarang orang dapat menyembelih ayam. Hanya para tetua kampung. Atau mereka yang dituakan. Yang memiliki pengetahuan agama lebih mumpuni dari warga kebanyakan.

Anak-anak dilarang menyaksikan penyembelihan. Meskipun, saya selalu penasaran untuk melihatnya. Yang akibat rasa penasaranku itu, setelah sedikit besar, saya naik pangkat menjadi pemegang ayam ketika disembelih. Dan tidak pernah berani naik pangkat menjadi tukang sembelih.

Di kampung kami, menyembelih ayam harus selalu dua orang. Satu tukang jagalnya, satu lagi yang memegang. Kaki dan sayapnya. Arah penyembelihan menghadap kiblat. Penyembelih di sebelah kiri. Pemegang di sebelah kanan.

Peran si pemegang ini cukup strategis. Dia menentukan dimana ayam itu akan ditaruh pasca disembelih. Agar darahnya tidak muncrat kemana-mana mengotori areal rumah ketika menggelepar.

Sang pemegang juga punya tugas tambahan. Sebagai pembasuh “air wudhu” bagi ayam yang disembelih. Membasuh kakinya, kepalanya, dan sayapnya luar dalam. Masing-masing tiga kali.

Ayam yang akan disembelih harus berwudhu, sebab dia akan menghadap Tuhan, demikian pesan tetua kampung kala itu. Saya punya kesimpulan sendiri. Kaki, kepala, dan sayap adalah bagian yang rentan terkena kotoran ketika ayam masih hidup. Dengan “berwudhu”, ayam menjadi lebih bersih ketika bulunya disiangi usai disembelih.

Posisi ayam ketika mati pun, menentukan apakah ayam “husnul khatimah” atau “su’ul khatimah”. Ayam yang matinya baik, badannya menghadap ke atas dengan kedua kaki mencuat seperti posisi tangan ketika sedang berdoa. Sedangkan yang matinya kurang baik (maksudnya caranya disembelih kurang mantap), posisi badan ayam ketika mati tertelungkup ataupun menyamping.

Pada pengalaman semasa kecil, entah kebetulan atau tidak, kebanyakan ayam yang disembelih para tetua kampung, mati dengan posisi badan menghadap ke atas.

Selesai “ritualnya”? Belum. Manakala hendak dipotong-potong usai bulunya disiangi, ada doa khusus. Biasanya yang mengerjakannya adalah kaum perempuan (ibu-ibu). Doanya semacam permintaan maaf bahwa dia telah memotong-motong ayam itu, dan kelak, di hari pembalasan, tidak menuntut balas atas tindakannya itu.

Bagi yang berpengalaman, pemotong-motongan itu sangat efektif dengan hanya sayatan pada persendian ayam. Lalu ayam itu telah “terbongkar” menjadi serpihan2 kecil. Sangat sedikit potongan yang membuat tulang itu terpotong paksa. Saya terkagum-kagum melihatnya. Saya sering duduk menemani ibuku (ketika masih bugar-bugarnya), menyaksikannya bekerja.

Saat mudik jelang Lebaran seperti ini, saya kembali teringat dengan prosesi itu. Dulu, acara penyembelihan ayam terasa begitu sakral. Sekarang, rasanya tidak lagi. Cukup membawanya ke pasar, ayam itu diselesaikan oleh penjual ayam yang sekaligus bertugas sebagai penjagal dan pemotong-motongnya. Penyiangan bulunya dituntaskan oleh mesin. Jauh lebih cepat.

Kearifan-kearifan lokal seperti rasa penghormatan terhadap sesama makhluk hidup (sekalipun hewan), rasanya memudar. Proses penyembelihan hingga tersaji ke meja makan berlangsung cepat. Dalam terminologi yang sedikit diperluas, kita menemukan istilah fast food.

Ideologi fast food ini merupakan konsekuensi dari globalisasi. Pemenuhan pangan secara besar-besaran dalam waktu ringkas. Lalu pada tahap berikutnya, pangan yang diproduksi cepat ini ternyata buruk bagi kesehatan manusia.

Lahirlah sedikit “perlawanan” untuk mengembalikan cara manusia mengonsumsi makanannya. Carlo Petrini, seorang wartawan dan pemerhati pola hidup sehat asal Italia, mengampanyekan gerakan slow food. Tersebar di setidaknya 160 negara. Meski kemudian gaungnya tidak terlalu kedengaran sebagai sebuah gerakan etik.

Gerakan ini mengusung nilai good, clean, and fair. Pangan yang baik, bersih, dan berkeadilan. Seimbang. Tidak merusak lingkungan pada proses produksinya.

Mengingat prosesi penyembelihan ayam di masa kecil itu, sesungguhnya nenek moyang kita telah meninggalkan teladan kearifan dalam memperlakukan alam. Hanya saja, kita lebih memilih menjadi modern ketimbang sikap arif. ***

 


Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini