Hanya butuh waktu dua belas tahun bagi Konawe Utara, setelah menjadi daerah otonomi baru, untuk berubah menjadi kabupaten darurat banjir. Setiap tahun. Dengan eskalasi yang kian besar.
Banjir kali ini telah melingkupi lima dari sepuluh kecamatan di kabupaten itu. Dari pemberitaan media massa, banjir yang melanda meliputi Kecamatan Langgikima, Asera, Oheo, Landawe, dan Andowia. Tersisa, hanya Kecamatan Lasolo, Lembo, Molawe, Motui, Sawa, dan Wiwirano.
Di awal-awal berdirinya, pengerukan tanah besar-besaran yang disebut dengan tambang itu, sedang booming di Konut. Yah, saya enggan menyebutnya sebagai industri pertambangan. Itu hanya usaha pengerukan tanah dan membawanya pergi dengan kapal-kapal tongkang entah kemana.
Tidak ada teknologi di sana. Apalagi transfer teknologi seperti yang belakangan dipopulerkan. Tidak ada. Yang ada teknik mengeruk tanah besar-besaran oleh banyak perusahaan pengeruk.
Di awal-awal Konut berdiri, tanah Bumi Oheo itu benar-benar dikupas. Menyisakan hutan-hutan gundul dengan tanah merah.
Beberapa catatan saya kala itu berisi tentang jeritan para petani, yang desanya dulu adalah lumbung padi yang subur, berubah menjadi lahan kerontang. Tambak dengan produksi ikan dan udang yang melimpah menjelma menjadi lautan air keruh.
Perkampungan yang dulunya asri dan hijau, menjadi pemukiman berdebu akibat lalu lalang ratusan truk pengangkut tanah hasil kerukan. Penyakit lalu melanda.
Tapi tidak ada yang peduli. Jeritan rakyat Konut hilang ditelan bisingnya suara truk dan alat berat. Tidak ada kebijakan berarti yang ditempuh pemerintah setempat untuk melindungi rakyatnya.
Waktu dua belas tahun itu singkat sekali. Tahu-tahu Konut sudah terkepung banjir. Anggaran daerah yang secuil itu pun terkuras untuk penanganan banjir dan para korbannya. Tidak ada lagi yang bisa dipakai membangun. Bahkan yang dibangun pun disapu banjir.
Lalu bupati terlihat turut basah-basahan. Begitulah. Tahun depannya, kebanjiran lagi. Basah-basahan lagi. Tahu-tahu, pilkada di depan mata. Dan belum ada apapun yang terlihat di sana. Kecuali hamparan tanah merah. Dan banjir. Kita bisa apa lagi? ***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial