Bencana Banjir di Sultra, Akademisi UHO Ingatkan Terkait Tata Ruang

Wakil Dekan I Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan (FHIL) Universitas Halu Oleo (UHO), Safril Kasim
Safril Kasim

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Bencana banjir yang menimpa beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara (Sultra) saat ini tak luput dari perhatian para akademisi, khususnya di bidang lingkungan. Menurut Akademisi Universitas Halu Oleo (UHO) Safril Kasim, kini sudah saatnya mengkaji atau melihat kembali tata ruang wilayah, termasuk di dalamnya hutan lindung.

Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Halu Oleo (UHO) itu menyebutkan, pemerintah harus mengkaji kembali fungsi dari hutan lindung, sebagaimana mestinya, apakah masih berjalan dengan baik atau tidak. Perlu ditinjau, apakah proporsi dan fungsi kawasan lindung dan kawasan konservasi masih cukup baik menyanggah sistem kehidupan yang ada di atasnya.

Baca Juga : Wagub Sultra: Tambang dan Kerusakan Lingkungan Penyebab Banjir di Konut

Mengapa hal tersebut harus menjadi perhatian? Ia menjelaskan bahwa kawasan lindung seperti hutan lindung sendiri sangat bermanfaat untuk mencegah air hujan mengalir ke permukaan tanah. Bila air hujan langsung mengalir ke permukaan tanah maka air hujan berkumpul dengan debit yang besar sehingga menyebabkan banjir luapan sungai.

Tanaman-tanaman yang ada pada hutan lindung memiliki fungsi untuk menyerap air hujan agar masuk ke dalam tanah. Jika vegetasi hutan masih bagus maka air terinfiltrasi ke dalam lapisan bawah tanah akan semakin banyak, dan selanjutnya terperkolasi serta menjadi air tanah (ground water).

“Kalau vegetasi di atasnya sudah rusak, maka tidak ada lagi yang berfungsi menyerap air. Sehingga, air mengalir ke permukaan tanah berkumpul di sungai lalu sungainya meluap karena sudah tidak mampu menampung air,” kata Safril ditemui di ruang kerjanya, Selasa (11/6/2019).

Untuk itu, pentingnya memperhatikan tata ruang agar nantinya dampak dari banjir itu sendiri bisa terminimalisir. Lanjut dia, secara teori, kawasan hutan yang rusak akan mengakibatkan fungsi dari hutan itu sendiri tidak maksimal.

Baca Juga : Banjir Bandang di Konut, Walhi Minta Pemprov Sultra Revisi Kebijakan Tambang

Untuk saat ini, menurutnya yang juga harus menjadi perhatian ialah apakah sudah ada yang merumuskan, apa strategi untuk mengurangi resiko kerentanan dan bagaimana meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap banjir. Hal ini tentunya tak hanya menjadi tugas pemerintah saja. Seluruh lapisan masyarakat juga harus turut ambil peran dalam hal pengurangan risiko bencana.

“Jangan hanya pemerintah yang mengambil bagian. Semua stakeholders harus ikut memikirkan persoalan banjir,” ungkapnya.

Itulah mengapa, perlunya dilakukan kajian mendalam tentang potensi ancaman yang besar. Bila ada temuan penggunaan lahan yang tidak sesuai maka tata ruang perlu dikaji ulang.

“Sehingga Kita bisa mengambil tindakan mitigasi untuk mengurangi risiko bencana,”ucapnya

Kata dia yang perlu dikurangi yakni kerentanan banjir dan mengurangi aspek bahayanya. Termasuk mengurangi kerentanan sosial, seperti memetakan tingkat kemiskinan di daerah rawan bencana.

Baca Juga : Bantah Komentar Gubernur, Walhi: Gubernur Berkelit Apa Motifnya

Terakhir, ia juga menyampaikan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk antisipasi dini ialah dengan mengadakan gerakan penghijauan, pembuatan lubang resapan buatan seperti biopori sudah harus diperkenalkan di tengah masyarakat. Selain itu, juga mengurangi pendangkalan di sungai sungai atau teluk.

“Masyarakat dapat mengambil bagian dalam upaya ini, misalnya dengan tidak membuang sampah ke sungai atau ke daerah-daerah pengaliran air hujan yang bermuara ke sungai, sehingga daya tampung sungai kita tidak terganggu,” tutupnya. (A+)

 


Kontributor : Sri Rahayu
Editor : Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini