Lebaran seharusnya membuat insan menjadi kembali fitrah (suci). Fitrahnya manusia menghamba pada rabbul alamin, Mengharap dosa-dosa diampuni, perilaku menjadi terkontrol sesuai petunjuk dan larangannya, kemaksiatan ditinggalkan, benci terhadap perilaku kemaksiatan. Itulah sikap dan perilaku yang seharusnya diharapkan setiap insan pasca Ramdhan, yaitu menjadi manusia baru yang penuh taqwa.
Namun, apa jadinya jika lebaran itu tak mampu membuat insan kembali pada fitrahnya. Tentu makna fitrah itu tak membekas dan tak memberikan pengaruh positif pada setiap individu.
Kita jenuh dan muak dengan semua peristiwa yang menyakitkan, maraknya tindakan kriminal, kenakalan generasi sudah berada pada tataran diluar batas kewajaran.
Sedang hangat, publik dihebohkan dengan kisruh dua kubu pemuda yang bertikai di Buton. Aksi itu sampai melahirkan peristiwa pembakaran 87 rumah warga yang berada di lokasi desa gunung jaya kecamatan siontapina kabupaten buton. Aksi pembakaran itu dilakukan oleh kelompok pemuda dari desa tetangganya, Desa Sampuabalo.
Sepertih dikutip dari Kompas.com melalui Kapolda Sulawesi Tenggara (Sultra) Brigjend Irianto mengatakan puluhan rumah terbakar, dan penyebabnya karena salah paham. Ujarnya (Kompas 05/06/2019).
Tidak hanya itu, peristiwa tersebut naas memakan korban 2 orang pemuda gunung jaya. Delapan diantaranya luka-luka, dan karena kondisi pembakaran itu menyebabkan 700 warga harus mengungsi.
Mengurai akar permasalahan, berdasarkan kabar yang beredar, ternyata kejadian ini dipicu oleh suara bising knalpot dari sepeda motor sekelompok pemuda dari Desa Sampuabalo ketika melewati kampung gunung jaya. Tak terima dengan aksi pemuda sampuabalo yang telah membuat keributan dan mengacaukan suasana kampung, para pemuda gunung jaya merasa terpancing, keberatan, serta melontarkan kalimat yang tak pantas dan menyinggung perasaan pemuda sampuabalo hingga perdebatan pun tak dapat dihindarkan.
Telak, para kelompok massa sampuabalo membalas lalu melakukan aksi pembakaran rumah warga gunung jawa. Jika melihat persoalan lebih dalam, peristiwa ini bukan semata-semata karena kesalapahaman diantara kedua kubu para kelompok pemuda itu. Tetapi lebih dari itu, peristiwa-peristiwa semacam ini dan semisalnya adalah buah dari sistem kapitalisme yang memisahkan peran agama dari kehidupan. Kapitalismelah yang telah memproduksi liberalisasi pergaulan secara bebas. Hingga menciptakan gaya hidup bebas, sampe pergaulan serba bebas, kenakalan dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar.
Kapitalisme inilah yang membuat pengusungnya merasa hebat dan beribawa jika aksinya berhasil dihadapan kelompoknya, mirisnya lagi aksi tersebut tidak dianggap sebagai tindakan kriminal atau sebagai kenakalan/penyimpangan. Ditambah masyarakat memandang bahwa kenakalan pemuda adalah sebuah kewajaran, karenanya perbuatan itu adalah sebagian dari pencarian jati diri para pemuda.
Maka layak, Kapitalisme melahirkan generasi yang rusak, betapa tidak sistem ini tidak memiliki tata kelola dalam pergaulan yang mengatur tiap individu. Individu diberikan kehendak sebebas-bebasnya untuk berekspresi (berbuat) temasuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sifanya negatif. Sekalipun perbuatan itu merugikan individu lainnya selama masi berada dalam tataran yang wajar.
Di era ini begitu mudanya menjumpai pemuda dengan segudang prestasi keburukan; pergaulan bebas, narkoba, khomer, berjudi, hiburan (musik) yang melenakan, tindakan kriminal, perampokan, pertikaian dll. Inilah beberapa deretan buah dari sistem pergaulan kapitalisme.
Sistem yang merusak pemuda ini, tidak memiliki batasan yang jelas dalam pengaturan pergaulan dalam berinteraksi. Semuannya dikembalikan pada individu masing-masing menurut kacamata sekularisme. Maka tak heran, begitu banyak hari ini perbuatan-perbuatan pemuda melakukan penyimpangan, kriminalitas, kenakalan, bahkan sampai perbuatan yang menyebakan kematian. Sistem pergaulan ala kapitalisme sama sekali tidak memanusiakan manusia.
Berbeda dengan islam, Islam sangat menjaga pemudanya dan memastikan untuk tumbuh dalam lingkungan keataqwaan. Karena islam telah menetapkan sistem pergaulan terbaik berdasarkan panduan wahyu, sehingga pemuda memiliki panduan yang detil ketika mereka melakukan pergaulan berinteraksi dengan sesama.
Terekam jelas dalam sejarah bagaimana kehidupan pemuda diantara para sahabat. Sebut saja Abu bakar siddik, Umar bin khatab, Ustman, Ali, Talhah, (telah dikabarkan oleh rasul semuanya penghuni surga), Bilal (yang telah terdengar terompahnya disurga) dan para sahabat lainnya hidup dalam lingkungan dengan tingkat keimanan yang mengakar. Sungguh sangat jauh dari pergaulan yang buruk, tindakan kriminal, kenakalan, serta penyimpangan, kepada para pemuda ini tidak pernah dijumpai perkara demikian.
Pergaulan diantara para sahabat selalu berdasar kitabulah dan sunah rasul, maka hasilnya adalah tingkat ketaqwaan individu amat kokoh. Mereka takut melakukan perbuatan-perbuatan tercela; tindakan kriminal, pergaulan bebas, anarkisme dan pertikaian terhadap pencipta-Nya, apalagi sampai merugikan dan mengancam nyawa orang lain. Sebaliknya mereka sangat menjaga kerukunan, ketertiban, kekacauan dan dari segala bentuk aktivitas tindakan menyakiti atau membahayakan kehidupan umat dalam pergaulan mereka.
Adalah Umar bin khatab, sosok pemuda yang satu ini sebelum mengenal islam (kafir) merupakan pemuda yang keras terhadap kaum yang beriman dibumi mekah, sering melakukan tindakan kriminal, menyiksa, bahkan membunuh terhadap orang-orang yang bersebrangan dengan keyakinannya. Namun tatkala beliau masuk islam, menginstal islam dalam dirinya beliau tumbuh menjadi pemuda yang lantang, keras terhadap kekufuran dan kebatilan, lemah lembut kepada kaum mukmin. Memerangi kejahatan, peka terhadap aksi kekerasan, dan menghapus tindakan kriminal.
Demikianlah, pemuda dalam islam dididik untuk beriman dan bertakwa pada Ilahi dalam semua perkara termasuk dalam pergaulan diantara sesama manusia. Apabila Islam syariatnya diterapkan maka tindakan kriminal, aksi kejahatan, kekerasan, pembunuhan, pertikaian dan segala hal perbuatan maksiat yang bisa dilakukan oleh pemuda bisa dimarjinalkan atau dihilangkan. Kalaupun ada tindakan demikian jumlahnya hanya sedikit.
Tercatat selama masa pemerintahan islam turki ustmani selama belasan abad, jumlah kasus kejahatan hanya kurang dari 250 kasus. Bandingkan dengan kondisi sistem hari ini, tindak kejahatan tiap detik ada dimana-mana. Wallahu’alam bisawab
Oleh Sumarni
Penulis adalah Anggota Komunitas Menulis Untuk Peradaban