Pemerintah sebagai master design pendidikan terus berupaya melakukan perbaikan kualitas dalam sistem pendidikan nasional kita. Salah satu jalan yang ditempuh adalah penerapan sistem zonasi pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), baik jenjang SMP dan SMA. Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merevisi aturan zonasi PPDB dengan menambah kuota jalur prestasi dari 5 persen menjadi 15 persen. Alih-alih untuk memperbaiki sistem zonasi PPDB, kebijakan ini tetap saja menyulut kontroversi dan menuai protes dari sejumlah masyarakat khusunya dari orangtua siswa. Sejumlah orangtua siswa menilai, kehadiran sistem zonasi hanya membatasi akses peserta didik untuk masuk di sekolah-sekolah yang berkualitas.
Sebagaimana yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019, PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur. Pertama, yakni jalur zonasi dengan kuota 80 persen dari daya tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi bagi siswa yang berada di luar zona sekolah dengan kuota 5 persen. Ketiga, jalur perpindahan domisili dengan kuota 15 persen. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan bahwa penerapan sistem zonasi dilakukan dalam rangka pemerataan pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat.
Sejak diterapkan setahun terakhir, sejumlah masalah mulai bermunculan di lapangan. Penerapan sistem zonasi diyakini tidak dapat mengakomodasi siswa-siswa yang beprestasi karena besaran kuotanya sangat minim. Selain itu, sejumlah orangtua juga mengkritik bahwa sistem zonasi secara tidak langsung menutup akses siswa untuk masuk di sekolah-sekolah unggulan yang fasilitasnya lengkap dan kompetensi gurunya di atas rata-rata. Di beberapa daerah, sejumlah siswa yang berprestasi tidak dapat masuk di sekolah angulan hanya karena ia tinggal di luar zona sekolah unggulan tersebut.
Selain itu, ketimpangan antara persebaran sekolah dan penduduk yang tidak seimbang antara satu daerah dengan darah lainnya juga menjadi masalah tersendiri. Di Surabaya misalnya, sebanyak 15 Kecamatan di Surabaya tidak memiliki SMAN sedangkan kecamatan lainnya justru memiliki sekolah yang jumlahnya relatif banyak. Dampaknya, sejumlah sekolah pun mengalami surplus dan diserbu pendaftar, namun di sisi lain pada saat yang bersamaan justru ada sekolah yang defisit jumlah pendaftarnya. Dampak lain yang muncul adalah sejumlah orangtua terpaksa memasukkan anaknya di sekolah-sekolah swasta yang biayanya relatif lebih mahal karena tidak dapat masuk di sekolah unggulan.
Pada dasarnya, sistem zonasi PPDB bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Skema sistem zonasi telah lama diterapkan di sejumlah negara-negara maju seperti Australia dan Inggris. Di Australia, zonasi disebut suburb. Setiap siswa yang ingin masuk sekolah diwajibkan masuk pada sekolah yang berada di suburbnya masing-masing. Inggris juga menerapkan aturan serupa, siswa yang akan masuk sekolah hanya diwajibkan mendaftar pada sekolah yang berada di zonasi tempat tinggal siswa. Pemerintah Inggris meyakini bahwa sistem zonasi lebih efektif karena siswa lebih dekat ke sekolah sehingga tidak kehabisan waktu di jalan. Dari sisi ekonomi, jarak sekolah yang dekat juga dapat menekan biaya transpotasi ke sekolah, terlebih untuk mengurangi kepadatan kendaraan di jalan.
Pertanyannya kemudian adalah, apakah sistem zonasi seperti di Australian dan Inggris cukup relevan jika diterapkan di Indonesia sekarang ini? Harus kita pahami bahwa sistem zonasi di Australia dan di Inggris tidak sekonyong-sekonyong diterapkan. Keberhasilan penerapan sistem zonasi di negara tersebut erat hubungannya dengan (1) distribusi dan kualitas guru, (2) persebaran sekolah, dan (3) infrastruktur pendidikan yang memang sudah merata sebelum sistem zonasi diterapkan. Di Australia, semua sekolah yang dikelola pemerintah telah dilengkapi fasilitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Selain sarana dan prasarana, persebaran dan kualitas guru di negara maju seperti Australia juga mendukung penerapan zonasi PPDB.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi Indonesia yang masih menyisakan setumpuk persoalan subtansial sehingga memicu serangkaian masalah pasca penerapan sistem zonasi PPDB. Pertama, persebaran sekolah yang tidak merata di setiap kabupaten maupun kecamatan. Tidak meratanya persebaran sekolah membuat jumlah siswa sangat jomplang antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Kedua, pendistribusian guru tidak merata di daerah. Dewasa ini, ada daerah yang jumlah gurunya berlebihan dan juga ada daerah yang masih kekurangan.
Ketiga, sarana dan prasarana yang juga tidak merata. Bahkan dengan mudah kita temui beberapa sekolah di daerah-daerah terpencil tidak layak disebut sekolah, selain karena bangunannya memang tidak layak, fasilitas penunjangnya pun tidak memenuhi standar. Pengamatan penulis di lapangan, sejumlah sekolah di daerah-daerah terpencil di Kawasan Timur Indonesia (KTI) bahkan tidak memiliki fasilitas penunjang pembelajaran seperti komputer, sarana olahraga, dan perpustakaan.
Kita harus jujur mengakui, di dunia pendidikan kita masih terjadi satu jarak yang sangat lebar antara das sollen dan das sein (yang seharusnya dengan yang ada), antara teori dan kenyataan, antara harapan dan realitas, dan antara cita-cita dan fakta. Meskipun demikian, penerapan sistem zonasi merupakan salah satu ihtiar dan upaya pemerintah mengimplementasikan program nawa cita. Oleh karena itu, menghentikan sistem zonasi PPDB secara total bukanlah langkah yang bijak. Sebaliknya, skema PPDB tersebut harus dilanjutkan namun perlu dievaluasi dan dilakukan perbaikan secara komprehensif. Hemat penulis, paling tidak ada empat yang dapat ditempuh pemerintah untuk memperbaiki sistem zonasi PPDB.
Pertama, memprioritaskan untuk membangun sekolah pada daerah-daerah yang sama sekali belum memiliki sekolah atau daerah-daerah yang padat penduduk namun memiliki jumlah sekolah yang minim. Kedua, sarana/prasarana, dpan fasilitas pendidikan mutlak harus dilakukan agar dapat mengeliminasi stigma dan konsep sekolah unggulan di masyarakat. Masalah pendidikan kita dewasa ini adalah fasilitas pendidikan yang tidak merata sehingga memicu siswa untuk mendaftar di sekolah-sekolah yang fasilitasnya lengkap. Maka tak heran pula jika sekarang ini kita menyaksikan beberapa sekolah diserbu siswa pada saat proses PPDB, namun pada saat yang bersamaan sejumlah sekolah lainnya yang dianggap tidak unggul oleh masyarakat karena fasilitasnya memang tidak lengkap, justru kekurangan pendaftar.
Ketiga, pemerintah mesti merevisi persentase kuota masing-masing jalur penerimaan siswa, baik jalur zona sekolah, jalur prestasi, dan jalur perpindahan domisli. Karena kepadatan penduduk di Indonesia berbeda antara satu wilayah dengan lainnya, juga karena persebaran sekolah tidak merata, maka persentase kuota masing-masing jalur penerimaan juga sebaiknya berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pemerintah provinsi atau kabupatenlah yang seharusnya diberikan wewenang untuk menentukan persentase kuota PPDB, baik jalur zonasi, prestasi, dan jalur perpindahan domisili. Hal ini juga diharapkan dapat menjadi bagian dari pelaksanaan otonomi pendidikan di mana pemerintah daerah mesti diberikan wewenang untuk mengatur pendidikan di daerahnya masing-masing
Keempat, pemerataan distribusi guru dan peningkatan kualitas guru harus segera digenjot. Data terakhir yang dirilis oleh UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) menunjukkan bahwa kompetensi guru Indonesia menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang d dunia. Sementara itu, hasil Uji Kompetemsi Guru (UKG) juga menunjukkan bahwa kompetensi guru di sejumlah daerah masih di bawah rata-rata.
Guru adalah piranti pokok yang menentukan keberhasilan tujuan pendidikan. Persoalan guru adalah persoalan masa depan bangsa. Baik maupun buruknya generasi bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh guru-guru kita. Oleh karena itu, upaya perbaikan kualitas guru harus menjadi prioritas utama dalam agenda pendidikan nasional. Perbaikan harus dilakukan melalui langkah-langkah konkret secara konsisten dan berkelanjutan, antara lain dengan memberikan pelatihan, memberikan beasiswa pendidikan kepada guru, dan memperbaiki nasib guru dengan menaikkan gaji atau tunjangan guru.
Oleh: Ady Akbar S.Pd., M.Pd.
Penulis Merupakan Pendiri Sekolah Literasi Desa Sulsel