Proyek Peningkatan Kualitas Madrasah
Berdasarkan catatan Bank Dunia, sekitar 8 juta anak atau 15 persen dari total siswa sekolah dasar dan menengah di Indonesia mengenyam pendidikan di sekolah agama di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Dalam praktiknya, sekolah-sekolah tersebut mengikuti kurikulum nasional dan banyak diikuti anak-anak dari keluarga termiskin di daerah pedesaan. (www.cnnindonesia.com/26/06/2019). Untuk mendongkrak kualitas dari sekolah Madrasah yang ada, maka dibutuhkan dana yang cukup banyak.
Sehingga Kementerian Agama pihaknya sudah mengusulkan proyek ke Bank Dunia lewat dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN)
Setelah melalui diskusi yang panjang. Akhirnya dana senilai 3,7 Triliun digelontorkan Bank Dunia untuk meningkatkan kualitas sekolah Madrasah Negeri maupun Swasta yang ada di Indonesia. Kamaruddin Amin, selaku Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama mengaku bahwa nilai pinjaman ke Bank Dunia cukup besar. “Awalnya, kami mengusulkan dan presentasi berkali-kali meyakinkan Bappenas. Kemudian Bappenas meyakinkan Kemenkeu, dan Kemenkeu negosiasi dengan Bank Dunia, dan akhirnya disetujui,”
ujar Kamaruddin di Jakarta, Senin (24/06).
Pinjaman ini nantinya akan digunakan untuk melaksanakan program Realizing Education’s
Promise. Melalui proyek tersebut pemerintah akan membangun sistem perencanaan dan penganggaran elektronik berskala nasional untuk mendorong belanja yang lebih efisien oleh sumberdaya di bawah naungan Kemenag. Program tersebut juga akan digunakan untuk membangun sistem hibah sekolah demi meningkatkan kinerja siswa dalam hal standar pendidikan nasional, terutama untuk sekolah dengan sumber daya terbatas.
Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim, Menurut beliau pengembangan madrasah tidak akan optimal jika hanya mengandalkan anggaran negara.”Untuk menyiapkan sarana fisiknya saja, APBN kita tidak cukup. Apalagi, bicara kualitas guru, sistem rekrutmen siswa, standardisasi siswa, dan membangun sistem informasi dan teknologi yang lebih baik,” kata saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Senin (24/6) lalu.
Berbicara terkait kualitas pendidikan, tidak bisa dipungkiri adanya dikotomi terkait pemerataan kualitas pendidikan bukan hanya antara sekolah madrasah dan sekolah umum. Bahkan, sesama sekolah umum pun masih adanya perbedaan dalam masalah kualitas pendidikan. Berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, angka indeks pembangunan manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) 2016, Indonesia hanya meraih 0,689 dan berada di peringkat ke-113 dari 188 negara. Begitu pula UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, menempatkan pendidikan di Indonesia berada peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sehingga dari hal inilah, dibutuhkan peningkatan kualitas guru dan sarana dan prasarana. Permasalahannya disini apakah untuk dana peningkatan kualitas tersebut, hutanglah menjadi satu-satunya solusi?.
Neoliberal dibalik Dana Hibah Vs Hutang
Pengamat Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah tidak setuju dengan kerjasama tersebut. Karena menurutnya masih ada dana lain yang bisa digunakan selain pinjaman dari Bank Dunia. Jejen menjelaskan, Indonesia masih memiliki beberapa peluang untuk mendapatkan dana yang bisa dipergunakan untuk mendongkrak kualitas madrasah. Menurutnya, Indonesia punya Dana Abadi Umat (DAU) yang bersumber dari jamaah haji. Jejen juga menyampaikan Indonesia punya dana abadi pendidikan di Kementerian Keuangan. Menurutnya, dana tersebut cukup. Selain itu,
Indonesia juga punya dana Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) yang selama ini sebagian dipakai untuk beasiswa. Dana yang di korupsi oleh para koruptor yang sudah terbukti dan dipenjara bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan di Indonesia. Pertanyaannya, dana hasil korupsi tersebut kemana dan untuk apa.
Jebakan hutang Indonesia seolah tak terbendung. Sebagaimana yang dilansir di Kompas.com (16/06/2019), Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2019 sebesar 389,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.528 triliun (kurs Rp 14.200 per dollar AS). Jumlah pembayaran utang itu mendekati 20 persen dari APBN. Hampir setara dengan alokasi APBN yang diamanatkan oleh UU untuk pendidikan. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin terbatas.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita agar setara dengan negara maju, cara berpikir kaum kapitalis menilai negara berkembang tentu memerlukan pembangunan dan itu membutuhkan banyak biaya karena dari sisi kemandirian ekonomi masih rapuh. Tentu negara berkembang tidak dapat berbuat banyak dalam bidang ekonomi. Pada kondisi yang terpuruk demikian, utang seolah-olah menjadi pilihan utama berbagai pakar sebagai jalan yang tepat untuk diambil. Mereka membenarkan tentang adanya manfaat positif dari
utang. Jargon yang mereka dengung-dengungkan selalu sama yakni ingin membangun kehidupan yang lebih baik. Namun, menjadi problematis sebab tidak jelas kehidupan siapa yang ingin dibuat untuk menjadi lebih baik, negara pengutang? atau lembaga dan negara rentenir?
Sistem kapitalisme yang dianut oleh bangsa indonesia memberikan peluang hilangnya kemandirian ekonomi, terutama untuk negara-negara berkembang. Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi—program penyesuaian struktural—yang didasarkan pada Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi:
- Campur-tangan Pemerintah
harus dihilangkan; - Penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya;
- Liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi;
- Memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief, 2001).
Dalam hal ini artinya negara seolah-olah Negara berlepas tangan atas sektor vang harus menjadi perhatian pemerintah dalam hal ini pendidikan serta berbahayanya kedaulatan Indonesia dari campur tangan asing, terutama dalam hal kurikulum pendidikan. Sebab, No Free Lunch di dalam sistem kapitalisme.
Solusi Untuk Masalah Mendasar dan Masalah Cabang
Makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia diatas tadi jelas ada
menunjukkan something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian religius sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya. Untuk masalah cabang, dibutuhkan solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan
peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut
perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam.
Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintahlah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Wallahu ‘alam bishawwab