Seks Bebas Merajalela Buah Busuk Sekularisme

Hamsina Halisi Alfatih
Hamsina Halisi Alfatih

Baru-baru ini telah ditemukan kasus 7 balita yang teridentifikasi positif HIV/AIDS di salah satu wilayah Sulawesi tenggara yaitu Konawe. Dilansir dari media ZonaSultra.com Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) sejak dua tahun terakhir telah menemukan tujuh kasus HIV AIDS yang menyerang balita.

Hal ini berdasarkan hasil pemeriksaan sejumlah pasien yang diduga mengidap penyakit mematikan itu. Hal ini kemudian dibenarkan oleh dokter spesialis anak RSUD Konawe dr. Rafika Mansyur. Dia menjelaskan, temuan kasus penderita HIV ini merupakan yang terbesar untuk kategori balita.

Dari tujuh pasien yang dinyatakan positif, satu di antaranya telah meninggal dunia. “Tahun 2016 juga kita temukan satu pasien balita positif HIV dan sudah meninggal dunia, nah di 2018 kita kembali menemukan empat kasus serupa, kemudian di 2019, sampai saat ini kita sudah menemukan tiga orang penderita,” kata dr Rafika kepada awak zonasultra.id di ruang kerjanya, Senin (8/7/2019).

Kebanyakan kasus yang ditemukan, lanjutnya, menular dari orang tua si balita. Sebab, setelah dilakukan observasi, pihaknya mendapati orang tua balita tersebut ada yang mengidap HIV AIDS. “Untuk kasus 2018 lalu, kita bahkan menemukan kedua orang tuanya merupakan pendertia HIV AIDS, dan kebanyakan kasus yang kita temukan itu memang berasal dari orang tuanya,” katanya.

Maraknya perilaku seks bebas yang tak hanya mengintai remaja saja bahkan hal ini mewabah hingga di kalangan orang dewasa yang sudah berumah tangga. Bisa jadi perilaku seks bebas ini dilakukan saat sebelum terikat pada sebuah tali perkawinan, sehingga tak hanya orang tua saja yang teridentifikasi HIV AIDS sang anak pun juga ikut mendapatkan dampaknya.

Adapun faktor penyebab HIV/AIDS itu sendiri ialah dominasi infeksi pada pengguna jarum suntik, perselingkuhan yang dipicu perilaku seks berganti pasangan. Maka tak heran ketika kita menemui masyarakat usia produktif yang mendominasi tingginya kasus HIV/AIDS, virus yang menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh itu juga menghinggapi anak-anak usia di bawah 10 tahun.

Demokrasi Memberi Ruang Perilaku Seks Bebas

Perilaku seks bebas tak dapat dihindari di tengah-tengah masyarakat modern saat ini, terlebih lagi adanya sistem yang memberi ruang kebebasan untuk melakukannya. Globalisasi pun menjadi dampak adanya pertukaran budaya serta perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, sehingga tidak mengherankan jika Indonesia merupakan negara yang mengadopsi kebudayaan timur tersusupi oleh budaya barat saat ini.

Maka tak heran jika terjadi banyaknya kasus masyarakat usia produktif dalam hal ini remaja yang hamil diluar nikah akibat seks bebas, perselingkuhan serta tersedianya tempat pelacuran. Dan hal ini sering kita dengar dan bahkan sudah menjadi lumrah di kalangan masyarakat modern saat ini. Sehingga adanya pelanggaran norma serta hilangnya adab sudah tak penting lagi.

Dalam demokrasi sekulerisme budaya seks bebas dianggap lumrah atau biasa saja selama tidak merugikan orang banyak, Bahkan sistem ini menjamin kebebasan tersebut. Namun jika kita menganggap hal itu bertentangan dengan norma agama maka yang menentangnya akan dianggap sebagai anti demokrasi. Dalam undang-undang dasar 1945 sendiri ancaman perilaku seks bebas diatur dalam Pasal 460 ayat 1 huruf e draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun. Namun tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anak. Dalam artian pelaku seks bebas tidak akan terjerat hukuman penjara jika tidak ada korban didalamnya.

Islam Mencegah Prilaku Seks Bebas

Seks bebas merupakan tindakan yang sangat tidak dibenarkan didalam islam, sebab prilaku perzinahan ini jelas melanggar syari’at islam. Tak hanya mencoreng nama keluarga, rusaknya nasab, bahkan menghilangkan izzah dan iffah seorang wanita. Didalam islam sendiri telah mengatur bagaimana interaksi antara wanita dan pria agar terhindar dari prilaku seks bebas, diantaranya dengan menutup aurat, menjaga pandangan, serta tidak melakukan interaksi yang memicu rangsangan tersebut.

Islam sebenarnya membolehkan adanya kebebasan dalam berekspresi seperti halnya demokrasi sekuler, namun kebebasan didalam islam haruslah sesuai dengan aturan islam dan tidak melanggar hukum syara. Sebab kebebasan berekspresi dalam Islam sangat dibatasi oleh nilai – nilai luhur syariah. Bukan kebebasan yang kebablasan tapi kebebasan yang bertanggungjawab baik terhadap dirinya, masyarakat, maupun terhadap Allah SWT. Karena setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri dan akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu Alaihi wassalam bersabda :

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya”, (HR Abu Hurairah)

Maka tidak ada jalan lain dengan menerapkan islam secara kaffah untuk mencegah adanya tindakan asusila yang memicu kerusakan tak hanya pada diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.

_Wallahu A’lam Bishshowab_

 

Oleh : Hamsina Halisi Alfatih

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini