Tepat pada tanggal 23 Juli 2019, Kabupaten Buton Tengah (Buteng) memasuki usianya yang kelima tahun sebagai daerah otonom baru. Dengan berbagai dinamika yang telah dilaluinya, Buteng terus tumbuh. Dari era penjabat Bupati Mansur Amila yang memberikan julukan Buteng sebagai Negeri Seribu Gua, kemudian era penjabat Bupati La Ode Ali Akbar yang di masanya Pilkada perdana berjalan lancar dan sukses, hingga saat ini era Bupati dan Wakil Bupati definitif Samahuddin dan La Ntau dengan pembangunan infrastruktur fisik yang begitu gencar dilakukan. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan setiap era kepemimpinan mereka, saya sebagai masyarakat Buteng berterima kasih kepada mereka ini yang telah atau pun sedang memimpin Buteng sampai memasuki usia setengah dekade.
Memasuki usia lima tahun ini, maka penting merefleksi perjalanan Buteng sebagai DOB untuk memproyeksikan langkah ke depan. Sebelumnya, di hari ulang tahun Buteng yang keempat, tulisan saya diterbitkan oleh media Zona Sultra dengan judul “Catatan Refleksi HUT Buteng ke-4” (https://zonasultra.id/catatan-refkelsi-hut-buteng-ke-4.html). Di situ saya menulis empat poin sebagai catatan refleksi . Saat itu saya sengaja menulis empat poin karena menyesuaikan dengan HUT Buteng yang ke-4.
Nah, kali ini di HUT ke-5 Buteng, saya tidak ingin menambah poin jadi lima sebagai catatan refleksi. Karena yang empat poin saja belum maksimal terproyeksikan sehingga minim realisasi. Apalagi ditambah satu menjadi lima poin. Ada baiknya kita pelan-pelan saja, mengambil satu-satu.
Dalam tulisan kali ini saya mencoba mengambil satu diantara empat poin dalam tulisan saya sebelumnya itu sebagai catatan refleksi HUT Buteng ke-5. Dan poin itu mengenai pembangunan ibu kota. Saya akan mengulasnya kembali sesuai dengan realitas, informasi dan wacana yang berkembang di publik Buteng saat ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2014 tentang pembentukan Kabupaten Buton Tengah di Provinsi Sulawesi Tenggara pasal 7, ibu kota kabupaten Buteng berkedudukan di Labungkari Kecamatan Lakudo. Dalam kesejarahannya, penempatan lokasi ibu kota Buteng lahir dari proses pertentangan panjang bahkan sempat menyandera proses pemekaran sehingga mengambil jalan tengah yaitu Labungkari. Sebagai kesepakatan dan sudah ditetapkan, maka sudah menjadi barang wajib diakui dan dijalankan bahwa lokasi pembangunan khusus ibu kota adalah di Labungkari Kecamatan Lakudo. Labungkari mesti dijadikan sentral atau pusat pemerintahan Buteng.
Lima tahun usia Buteng, belum kelihatan wajah Labungkari sebagai pusat pemerintahan Buteng. Jangankan aktivitas birokrasi pemerintahan, perkantoran pemerintah daerah pun belum kelihatan di sana. Sekalipun wajah ibu kota belum kelihatan, tetapi patut disyukuri sudah ada tanda-tanda bahwa di situlah ibu kota. Mulai dari pembangunan simpang lima Labungkari (sekalipun kini masih simpang empat) hingga rencana pembangunan akses jalan menuju jantung ibu kota. Sebelum membangun perkantoran, akses jalannya dulu yang akan dibangun. Pembangunan ibu kota yang bertahap. Step by step sampai wajah Labungkari sebagai ibu kota benar-benar nampak di mata.
Namun sungguh disayangkan, di tengah semangat pembangunan ibu kota Labungkari yang step by step itu, malah digaungkan pembangunan beberapa kantor organisasi perangkat daerah (OPD) di luar Labungkari. Perkantoran tersebut rencananya akan disebar di titik-titik beberapa kecamatan. Katanya sih agar pembangunan merata. Misalnya kantor Dinas Perhubungan dibangun di kecamatan A. Kantor Dinas Pariwisata dibangun di kecamatan B dan seterusnya di kecamatan lain juga. Jadinya merata. Semua dapat jatah pembangunan kantor OPD.
Selain itu juga tujuannya untuk melancarkan ekonomi di setiap wilayah. Dengan adanya perkantoran OPD di suatu kecamatan tertentu, maka akan memperlancar perputaran ekonomi di wilayah itu sehingga ekonomi masyarakat dapat berkembang. Kira-kira begitu rasionalisasi dari rencana ini.
Menurut saya rencana ini kurang tepat jika alasannya hanya untuk pemerataan pembangunan dan memperlancar perputaran ekonomi di setiap wilayah di Buteng. Karena pada dasarnya tujuan utama pembangunan dan keberadaan perkantoran OPD itu untuk meningkatkan, mengektifkan dan mengefisienkan pelayanan terhadap masyarakat. Jika perkantoran OPD disebar di beberapa kecamatan dengan jarak antar kantor yang satu dengan kantor yang lain begitu jauh maka berpotensi besar pelayanan terhadap masyarakat tidak akan efektif dan efisien. Selain itu juga, kepala daerah akan sulit untuk mengontrol dan mengawasi aktivitas bawahannya di setiap OPD karena kantor Bupati jauh dari kantor-kantor OPD. Olehnya itu, idealnya perkantoran OPD harus berada dalam satu kawasan atau kawasan perkantoran OPD Terpadu.
Terkait pemarataan pembangunan dan memperlancar ekonomi, saya kira itu ada strategi lain yang lebih kretif dan inovatif. Bukan dengan menyebar perkantoran OPD, tetapi salah satunya dengan menyebar pembangunan sumber-sumber ekonomi. Misalnya di kecamatan A dibangun dan dijadikan pusat industri dan perdagangan. Di kecamatan B dibangun dan dijadikan pusat kawasan pariwisata. Di kecamatan C di bangun pusat kawasan pertanian, dan seterusnya berdasarkan potensi masing-masing kecamatan atau wilayah.
Kembali ke soal pembanguan ibu kota, sudah sebaiknya di usia lima tahun ini tetap fokus terhadap pembangunan bertahap lokasi ibu kota di Labungkari. Membangun akses jalan menuju jantung ibu kota. Setelah akses jalan sudah terbangun, selanjutnya memusatkan pembangunan perkantoran OPD di kawasan ibu kota, Labungkari sehingga terwujud kawasan perkantoran OPD Terpadu. Jika memang ada masalah lain, misalnya polemik soal lahan masyarakat maka butuh keseriusan dan kesungguhan Pemda untuk mengatasi itu dengan komunikasi dan pendekatan persuasif pada masyarakat.
Selamat hari lahir Buton Tengah ke-5 tahun. Semoga Buteng makin Berkah.(*)
Oleh Falihin Barakati
Penulis merupakan Wakil Ketua DPD KNPI Buton Tengah Bidang Otonomi Daerah