Kembaliisu penggodokan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUP-KS) diangkat dipublik. Dianggap menjadi jawaban dari upaya untuk melindungi anak dan kaum perempuan dari kekerasan seksual yang hari ini kian berada pada tataran warning dan membahayakan.
Penetapan rancangan Undang-undang ini sesungguhnya telah masuk proglegnas sejak tahun 2015, namun semakin hangat diperbincangkan di awal tahun 2019. Karena begitu masifnya tindakan kekerasan seksual yang terjadi pada anak juga pada kaum perempuan dari tahun ketahun terus meningkat. Karena itu Komnas perempuan telah menyampaikan reportase darurat kekerasan seksual dan ternyata kasus yang terjadi tidak pernah berhenti, namun kian banyak dan mengerikan.
Semenjak kemunculan rancangan Undang-undang ini, telah banyak menuai beragam pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sebagai respon akan masalah ini sejumlah gerakan seperti (ACN) Aliansi Cerahkan Negeri dan Majelis Nasional Forum Alumni HMI (Forhati) melakukan unjuk rasa di bundaran HI Indonesia untuk menyerukan penolakan atas rancangan Undang-undang PKS.
Alasan penolakan mereka bahwa tujuan pembuatan RUUP-KS dinilai bias dan menimbulkan multitafsir. Aturan dalam RUU itu dianggap tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Karena itu sejumlah pihak mengkhawatirkan jika rancangan Undang-undang ini dilegalkan.
Salah satunya Koordinator Majelis Nasional Forhati Hanifah Husein menyatakan penolakannya, karena secara sosiologis ada muatan yang sarat dengan feminisme dan liberalisme, sehingga RUU P-KS ini memungkinkan munculnya celah legalisasi tindakan LGBT dan pergaulan bebas.
Lebih lanjut beliau katakan, selain tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan juga nilai norma bangsa yang di anut di negeri ini lalu kemudian Majelis Nasional Forhati mengusulkan agar RUU PKS diganti menjadi Penghapusan Kejahatan Seksual (RUU-PJS) karena lebih mengakomodir seluruhnya terkait dengan tindakan kriminal termasuk didalamnya kekerasan seksual (AntaraNews.com, 15/07/19).
Tentu kita sangat senang dan mengapresiasi pemerintah telah berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dengan hukum dan undang-undang untuk menekan laju tindakan kekerasan seksual dan semisalnya. Namun keberadaan RUU PKS oleh sejumlah pihak menilai indikator yang digunakan untuk menetapkan pelaku kedalam kategori melakukan kekerasan seksual adalah absurd dan bermakna ganda.
Karenanya jika kita menelisik lebih dalam, muatan rancangan UU tertulis disana “yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau pada perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa/atau relasi jender yang dapat/atau berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, atau politik”(Http// www.dpr.go.id/doksileg/proses2).
Dengan melihat isi daripada rancangan UU ini, maka terlihat jelas bahwa seseorang dianggap melakukan kekerasan seksual apabila ada unsur “paksaan” baru bisa dikenakan pasal ini. Itu berarti menimbulkan makna, apabila ada pasangan yang melakukan hubungan seksual lalu didalamnya tidak ada unsur paksaan baik itu terjadi pada yang bukan pasangan halal dilakukan suka sama suka maka bole-bole saja dan tidak dianggap sebuah pelanggaran kekerasan seksual.
Dan bole jadi ada pasangan yang sah dalam sebuah rumah tangga lalu kemudian seorang suami memaksakan kehendak kepada istri secara paksaan, maka ini bisa dijerat UU kekerasan seksual. Inilah bahayanya jika UU ini berlaku.
Jika sudah demikian, apakah kemudian rancangan UU ini mampu menyelesaikan seluruh persoalan kekerasan seksual yang terjadi hari ini dan tentunya mampu memberikan perlindungan terhadap anak dan kaum perempuan?
Alih-alih mau menyelesaikan persolan yang ada, justru sebaliknya hukum yang ada tidak benar-benar memberikan solusi yang tepat dan tidak menyentuh seluruh aspek. Disatu sisi negara ingin melindungi wanita dari kekerasan seksual, namun disisi lain justru sebaliknya keberadaan ini menumbuh suburkan praktek-prakter perilaku kekerasan seksual, tak pelak karena hubungan yang dikehendaki dengan alasan suka sama suka tidak akan ditindak sebagai pelaku kekerasan seksual. Sepertih aktivitas para pelaku homoseksual, feminisme hingga peran liberalisme.
Maka tak heran jika pihak-pihak penyeru feminisme, liberalisme, termasuk kelompok pengusung LGBT paling getol menyerukan agar rancangan undang-undang ini kian cepat diberlakukan.
Kita menjadi bertanya-tanya apakah benar rancangan Undang-undang ini adalah bagian dari kehendak mereka agar melagalisasi perbuatan dan agar mendapatkan payung hukum dinegeri ini. Sedari awal pembuatan rancangan Undang-undang ini telah salah konsep mengesampingkan nilai-nilai moral terlebih nilai keagamaan. Jelas sangat jauh dari nilai-nilai islam.
Sesungguhnya rancangan Undang-undang ini tidak akan perna mampu menyelesaikan kasus kekerasan seksual pada kaum perempuan yang kian hari semakin menggunung dan kerap menimbulkan traumatis pada korban. Karena akar permasalahannya terletak pada sistem kapitalisme-sekulisme buatan tangan dan akal manusia yang lemah yang diterapkan oleh negeri ini untuk mengatur dan membuat hukum.
Hukum buatan tangan manusia inilah yang nenyebabkan kerusakan. Sehingga hukum dibuat dan disetir berdasarkan kehendak mereka. Inilah yang terjadi jika manusia dibiarkan membuat aturan dengan hawa nafsunya. Karenanya keberadaan negara sebagai pelindung dan penjaga keamanan umat termasuk menjaga kehormatan dan kemuliaan wanita telah gagal memberikan perlindungan. Dan memang kita tidak akan pernah mendapatkan perlindungan kaum wanita dilindungi kehormatannya selama sistemnya adalah sistem sekurisme jahiliyah.
Sangat jauh berbeda dengan perlakuan Islam terhadap kaum wanita. Wanita dalam Islam dipandang sebagai seorang yang mulia. Khalifah sebagai pelindung dan perisai terhadap kaum perempuan karena mereka adalah mahluk mulia yang harus dijaga memastikan dan memberikan keamanan. Maka khalifah menjalankan perannya dengan maksimal. Ketika ada seorang wanita yang dilecehkan harga diri dan kehormatannya maka saat itu juga sang khalifah akan memberikan pembelaan. Ditambah dengan sanksi tegas yang diberikan oleh negara dapat memberikan efek jerah dan menekan laju tindakan kriminal termasuk kekeresan seksual pada anak dan kaum perempuan.
Tentu kita sudah sering mendengar kisah seorang muslimah yang terjadi didaerah umuriyah romawi ketika muslimah ini dilecehkan kehormatannya dengan menyingkapkan jilbabnya oleh pemuda romawi, maka muslimah ini menjerit memanggil sang khalifah Al-Mutasim billah, mendengar seruan itu sang khalifah bangkit dan mengerakan puluhan ribu pasukannya tak terputus yang pangkalnya sudah berada dilokasi sedangkan ujungnya masi berada diistana dan siap untuk membela kehormatan seorang muslimah itu. Karena hal itu pasukan romawi gentar dan meminta ampun atas perbuatannya itu.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Rasul kita yang mulia sebagai seorang kepala negara dan pelindung umat tatkalah membela kehormatan seorang muslimah yang dilecehkan kehormatannya oleh pemuda yahudi Madina dipasar mereka. Lalu Rasul menurunkan pasukan untuk menumpas yahudi dan akhirnya berujung pada pengusiran mereka dari bumi Madina.
Begitulah Islam sangat menjaga dan melindungi wanita dan memuliakan posisi mereka. Harusnya itu juga yang dilakukan oleh penguasa-pengauasa muslim hari ini ketika tindak kekerasan seksual kian merebak untuk memberikan tindakan yang tegas terhadap predator seksual dan semisalnya. Bukan malah memberikan ruang untuk menciptakan kekerasan seksual. Sehingga tidak ada lagi perempuan dilanggar kehormatannya, dilecehkan, apalagi sampe mengalami kekerasan seksual.
Karena itu masihkah berharap pada hukum buatan tangan manusia yang jahiliyah? Campakan sistem kapitalisme lalu instal Islam secara kaffah dan terapkan dalam kehidupan. Wallahua’lam bi ash sawwab[].
Oleh Sumarni,S.Pd
Penulis adalah Pendidik