Hindari Puso, BMKG Jadikan Penyuluh Pertanian di Sultra Sebagai Agen Iklim

BMKG - Kepala Stasiun Klimatologi Aris Yunatas saat membawakan sambutan dalam acara penutupan Sekolah Lapang Iklim (SLI), Senin (23/9/2019) malam di Horizon Hotel Kendari. (ILHAM SURAHMIN/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui Stasiun Klimatologi Ranomeeto melaksanakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) dengan 25 penyuluh pertanian dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang ada di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Sekolah iklim ini digelar selama dua hari sejak tanggal 22 hingga 23 September di Hotel Horizon Kendari.

Kepala Stasiun Klimatologi Ranomeeto Aris Yunatas mengatakan, kegiatan SLI merupakan program pemerintah pusat untuk mendukung ketahanan pangan di Indonesia.

Pengajar dalam sekolah tersebut berasal dari penyuluh dan fasilitator yang ada di BMKG, tujuannya dalah memberikan pemahaman kepada para penyuluh pertanian tentang membaca dan memahami informasi iklim dan cuaca yang dikeluarkan BMKG setiap saat.

Selain itu, Aris mengharapkan seluruh penyuluh pertanian dan Babinsa yang telah mengikuti kegiatan itu dapat menjadi agen iklim dari BMKG di masyarakat terkhusus para petani.

“Kami ingin para penyuluh ini menjadi penyambung lindah BMKG kepada petani untuk memahami kondisi iklim di Sultra,” katanya usai acara penutupan SLI, Senin (23/9/2019) malam.

Terutama dalam hal, bagaimana para penyuluh mengedukasi petani tentang merubah pola taman sesuai dengan kondisi perubahan iklim yang setiap saat bisa terjadi.

Secara umum wilayah Sultra dikenal sebagai daerah dengan satu kali musim puncak hujan (monsun). Contohnya Kendari, pada bulan November biasanya sudah memasuki musim pancaroba peralihan dari kemarau ke hujan.

Puncak musim hujan akan terjadi April hingga Mei dan Juni. Memasuki Juli curah hujan mulai menurun dan musim panas mulai terjadi awal Agustus hingga puncaknya di September.

Maka dengan kondisi tersebut, para penyuluh diminta agar mampu memberikan pemahaman kepada petani sehingga pada saat musim kemarau jenis tanaman yang ditanam harus diubah dengan menanam tanaman yang tidak memerlukan air yang banyak.

Karena, apabila dipaksakan menaman padi yang kebutuhan airnya cukup besar dan harus terkendali bisa mengakibatkan terjadinya gagal panen.

“Tahun 2012 terjadi fase elnino yang sangat kuat di Sultra waktu itu banyak lahan padi yang gagal panen. Jadi, kita tidak ingin lagi terjadi gagal panen musim kemarau, stasiun iklim disalahkan. Padahal setiap saat kita selalu mengimbau pemerintah perihal kondisi terkini iklim,” ujarnya.

Keterlibatan Babinsa dalam SLI ini juga merupakan hal yang baru dilakukan oleh BMKG, mereka dilibatkan karena pada dasarnya Babinsa juga ikut terlibat langsung dengan aktivitas petani di lapangan.

Salah satu peserta dari Kabupaten Kolaka, Koordinator Penyuluh Pertanian Kecamatan Toari Dinas Tanaman Pangan dah Holtikultura Kabupaten Kolaka Ersa Suarsa menyampaikan setelah mengikuti kegiatan sekolah lapang iklim ini, ia bisa mendapatkan pemahaman dan ilmu baru tentang cara membaca iklim dan cuaca.

“Tentunya saya akan mengaplikasikan ilmu yang saya dapatkan ini kepada para petani di Kecamatan Toari,” ungkapnya.

Agar bagiamana para petani bisa merubah pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi cuaca. Ia menyebutkan Kecamatan Toari merupakan wilayah yang memiliki lahan sawah dengan sistem pengairan tadah hujan, sehingga saat ini karena memasuki musim kemarau aktivitas persawahan tidak berjalan.

Ditanyakan soal kecamatan lain, persawahan dengan sistem irigasi selain tadah hujan tetap berjalan meski sudah ada yang mengalami gagal panen karena kurangnya debit air. Alhasil, para petani menjadikan padi puso itu sebagai pakan ternak. (A)

 


Reporter : Ilham Surahmin
Editor : Abdul Saban

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini