Seorang ekonom asal Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Prof. Muhammad Syarief, menyebut bahwa sekitar 67 persen rakyat di Sulawesi Tenggara (Sultra) bekerja pada sektor informal yakni sebagai buruh atau tidak memiliki pekerjaan tetap. (Zonasultra.com, 18/09/2019 ). Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan potensi kekayaan alam yang dimiliki negeri Bumi Anoa ini.
Negerinya Kaya!
Bumi Anoa yang terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi sejatinya menjadi provinsi yang terlahir kaya akan hasil mineral bawah tanahnya. Hal ini terlihat dari banyaknya aktivitas pertambangan yang tersebar di berbagai wilayah di Sultra. Cadangan emas di provinsi ini mencapai 270 Triliun (Tempo.co.id, 7/08/2009). Bahkan yang sangat terkenal ialah aspal Buton.
Selain di sektor migas, sektor pertanian dan perkebunan di Sultra juga cukup menjanjikan. Dilansir dari Republika.co.id 20/06/2019, Sultra siap mengekspor hasil perkebunannya. Begitu pula dengan kekayaan hasil lautnya, baik ikan, mutiara, rumput laut dan lain-lain. Maka seharusnya provinsi dengan luas wilayah 38.140 kilometer persegi ini, rakyatnya dapat hidup adil, makmur dan sejahtera.
Kapitalisme Buat Rakyat Merana
Sayangnya, kekayaan ini dikelola dengan cara pandang ala kapitalistik. Dimana dalam sistem ini kekayaan alam yang sejatinya adalah hak rakyat untuk menikmatinya, diberikan kepada pihak swasta untuk dikelola. Negara yang seharusnya hadir dalam mengelola itu, absen dalam melakukannya. Sebab negara dalam sistem ini hanya bertindak sebagai fasilitator belaka bukan sebagai pelaku utama atau pemain utama dalam pengelolaan hasil-hasil sumber daya alam. Pihak swasta atau korporat banyak mendominasi. Kita dapat melihat dari kasus Kalhutra baru-baru ini, di mana pelaku usaha swasta cukup mendominasi, bukan?
Akibatnya, hasil itu tidak sampai kepada masyarakat biasa. Kita bisa menyaksikan fakta hari ini. Dimana tambang ramai dibuka dimana-mana. Namun, wajah rakyat masih sama. Bahkan semakin suram, sebab banyak yang kehilangan mata pencaharian, akibat limbah kimia yang dibuang sembarang oleh pihak perusahaan.
Selain itu, rakyat pun tidak dilibatkan sepenuhnya atau diberi jaminan untuk bekerja dengan upah yang menjanjikan. Kalau pun ada dari pihak masyarakat, itu hanyalah segelintir orang saja. Sehingga wajar bila masyarakat di Sultra banyak yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan bahkan sama sekali tidak bekerja. Sebab ruang itu memang tidak dibuka oleh sistem hari ini, kendatipun kita jarang menyadarinya.
Semua ini menjadi hal yang alamiah dalam sistem ekonomi rasa kapitalisme hari ini yang menginginkan agar yang adidaya tetaplah pihak-pihak yang dikehendakinya saja. Menurut Ignacio Ramonet dalam bukunya yang berjudul The Politics of Hunger, “ hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dollar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk membeli parfum”.
Artinya, jika isu kemiskinan ingin dihapuskan itu bisa dilakukan. Namun lagi-lagi sang Pencetus ide kapitalisme tidak menghendaki hal itu terjadi. Sehingga jadilah kita sebagaimana hari ini. Maka gaung kemiskinan, kelaparan, pengangguran dan suara rintihan pilu lainnya, akan selalu kita dengar, bahkan kelak itu akan semakin menyeramkan selama sistem kapitalistik masih ada.
Kemiskinan dan pengangguran bisa dientaskan, bila negara membuka pelayanan yang baik serta melahirkan berbagai kebijakan yang berpihak pada rakyatnya. Dimulai dari penyediaan lapangan kerja yang memadai. Memudahkan akses menuju jenjang pendidikan, mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Menyediakan akses kehidupan yang mudah, murah dan nyaman serta berbagai kebijakan lainnya. Pasti kita akan keluar dari zona kemiskinan dan pengangguran.
Semua ini tentu bisa kita lakukan, dengan mengoptimalkan pemanfaatan aset-aset kekayaan alam yang tersebar di atas tanah ataupun disadar lautan Republik ini dengan pengelolaan yang baik. Rakyat harus diprioritaskan dalam menikmati hasil sumber daya alam yang ada, mengingat Allah Swt telah mengingatkan melalui hadis Nabi Saw bahwa Tanah gembalaan, air, api dan udara itu adalah milik rakyat. Negara bertindak sebagai pengelola dan hasilnya harus diberikan kepada rakyat untuk memenuhi hajat kehidupan seluruh rakyat.
Hal ini sebagaimana juga yang diamanatkan oleh konstitusi bahwa segalah hasil sumber daya alam dikelola oleh negara dan hasilnya didistribusikan kepada penduduk negeri. Sayangnya, sistem pengelolaan yang berwajahkan materialisme membuat semua ini tidak terlaksana. Jadilah, Negeri ini kaya tapi rakyatnya merana. Penjajah sudah hengkang tapi rakyat belum juga sejahtera. Wallahu’alam
Oleh : Rosmiati
Penulis adalah Penulis adalah seorang member WCWH (WritingClassWithHas)