Dalam hukum seorang bersalah ketika ia melanggar hak orang lain. Dalam etika dia bersalah jika ia hanya berpikir untuk melakukannya (Immanuel Kant).
HARI ini. Kamis, 10 Oktober 2019. Tepat dua minggu. Tertembaknya dua orang mahasiswa UHO Kendari. Randi dan Yusuf Kardawi. Dalam aksi menolak RUU KUHP, RUU KPK. Juga sederet RUU kontroversial. Bertempat di gedung DPRD Sulawesi Tenggara. Kamis, 26 September 2019.
Belum ada kemajuan berarti. Pemeriksaan internal Polri, sebatas pada ranah etika profesi. Pada soal pelaksanaan SOP. Standar Operational Prosedur. Dalam pengamanan unjuk rasa dan penggunaan senjata api.
Terkini. Ada enam orang berstatus: terperiksa. Satu perwira berpangkat AKP. Merupakan Kasat Reskrim Polresta Kendari. Lima orang berpangkat Bintara. Dari satuan reserse dan intelijen.
Info terbaru mereka sudah dimutasi. Menyusul Kapolres Kendari AKBP Jemi Junaidi yang dicopot Kapolri. Pada Senin, 7/10/2019. Jemi dimutasi menjadi Kepala Bagian Pengendalian Personel Biro SDM Polda Kalimantan Tengah (Kalteng).
Keenamnya diduga menembak mahasiswa. Karena pada saat aksi, membawa senjata api. Jenis pistol SNW, HS, dan MAG.
Silahkan pembaca cari tahu lebih jauh. Tentang jenis dan kemampuan masing-masing senjata tersebut.
Menurut Polri, proyektil peluru sedang diteliti di luar negeri. Tepatnya di negeri kincir angin, Belanda. Satu lagi, di Australia. Jauh benar.
Saya yang awam soal uji balistik; soal peluru dan proyektil, mengira polisi kita sudah punya alat lengkap soal ini. Ternyata saya keliru. Maafkan.
Kembali ke soal penyelidikan. Publik tentu berharap kasus ini segera dituntaskan. Apalagi kasusnya ditangani langsung oleh Tim Mabes Polri. Atas perintah Presiden Jokowi pada Kapolri. Sehari pasca peristiwa. Kualifikasinya tak tak diragukan. Teruji.
Kasus-kasus rumit. Semacam kasus terorisme. Pengungkapan jaringan narkoba. Atau kasus pembunuhan yang lebih rumit. Akibat komplesitas pada aktor pelaku dan modus operandinya. Bisa diungkap cepat mabes polri.
Kita butuh kecepatan. Kita butuh kepastian. Sebab hukum berdiri di atas norma kepastian.
Kejelasan. Tiada pidana tanpa kesalahan. Geen straf zonder schuld.
Biar terang dibuka. Siapa pelaku. Siapa yang perintahkan. Siapa penanggung jawab kendali operasi. Bagi aparat yang bertugas. Saat kejadian.
Ringkasnya, di proses semua aspek. Pada semua hirarki tanggung jawab komando. Command Responsibility. Baik dalam ranah hukum pidananya. Juga aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ini ranah Komnas HAM.
Tidak berhenti sebatas sanksi disiplin. Ranah etika profesi. Yang wilayahnya bersifat: internal polri.
Semua untuk terwujudnya keadilan. Bagi keluarga korban, sahabat sejuang. Bagi siapa saja yang masih peduli. Pada kemanusiaan.
Dan tentu juga guna perbaikan internal bagi polri sendiri. Ke depannya.
Supaya apa yang diungkap Kant di atas, dapat tercermin dalam praktek. Bedanya; antara kesalahan dan etika.
Akhirnya, sebagai kata tutupan. Dalam pengusutan kasus ini, saya meminjam istilah pak JK, ‘lebih cepat, lebih bae!’. ***
Penulis : Erwin Usman
Penulis merupakan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, Presidium Nasional PENA ’98.