ZONASULTRA.COM,BAUBAU– Jarum jam menunjuk pukul 14.00. Matahari lagi terik-teriknya. Namun anak-anak, orang tua serta para pemuda sedang sibuk dalam keramaian.
Ada yang duduk khusuk sambil mulut komat kamit, di hadapannya ada sesajen yang diletakan di atas anyaman bambu. Ada juga yang tengah duduk diatas karpet lesehan, menjadi penjaga hidangan. Sementara di luar tenda, ada anak-anak hanya memakai sarung, bersiap untuk dimandikan.
(Baca Juga : 10 Muharram dan Tradisi Pekandeana Ana-ana Maelu di Baubau)
Itulah gambaran sibuk warga di Pulau Makasaar (Puma) kota Baubau yang mengurusi tradisi Tuturangiana Andala yang dirangkaikan dalam pelaksanaan HUT ke-18 Kota Baubau sebagai daerah otonomi baru.
Tuturangiana adalah tradisi memberi makan kepada laut. Ritual tahunan warga Puma ini sebagai rasa syukur atas limpahan rezeki di lautan.
Warga Puma mayoritas nelayan. Bagi mereka, laut memang menjadi lahan terbesar untuk mengais rezeki. Dengan memberi makan laut, dianggap untuk balas budi. Ritual ini telah dilaksanakan sejak abad 18 Masehi.
Armudin, Ketua Lembaga Adat Puma, mengatakan bahwa tradisi ini sudah dilaksanakan sejak Puma dihuni manusia.
“Ritual ini pada intinya untuk bersyukur atas rahmat Allah SWT, karena telah menganugerahkan laut dengan seluruh limahan karunianya. Tujuannya untuk meminta kepada yang kuasa agar dalam aktifitas melaut dimudahkan pintu-pintu rezeki,” jelasnya kepada Zonasultra.com ditemui usai melaksanakan ritual, Senin (14/10/2019).
Tradisi ini sendiri kini diselenggarakan dalam satu kesatuan dengan Hari Ulang Tahun ke 18 Kota Baubau.
(Baca Juga : Tradisi Ritual Batupuaro di Baubau yang Tak Lekang Dimakan Zaman)
Menurut Armudin, dalam memberi makan laut sesajen mesti disimpan di tempat tertentu. Ada empat titik di pulau yang dipercaya keramat, di sanalah sesajen itu diberikan
Jelas Armudin, titik pertama disebut Taju Malanga, letaknya sebelah barat pulau. Kedua Jangkara atau Samparaja, sebelah selatan, ketiga Kolema, ada di timur, dan titik ke empat diberi nama Rate, letaknya sebelah utara Puma.
“Dari dulu, masyarakat Puma, sudah menganggap empat titik itu mengandung keramat,” ucapnya.
Dalam tradisi ini ada tiga ritual yang dilaksanakan. Yakni, Tuturangiana Tndala, Poagoana Lipu, dan Bhosu-Bhosu. Seluruh ritual ini punya tujuannya khususnya sendiri.
“Tuturangiana Andala, sebagai ritual umum, dimana memberi makan kepada laut tadi. Untuk poagoana lipu itu, adalah ritul berobat masal, untuk mengindarkan diri dari penyakit. yang ke tiga, bhosu-bhosu, yakni ritual memandikan anak-anak agar kebal terhada penyakit,” jelas Armudin.
Doa Dipanjatkan Untuk Yang Kuasa
Sejauh ini, ritual diadakaan selalu sukses. Masyarakat setempat juga baik-baik saja setelahnya. Meski begitu, ada saja stigma dari pihak lain.
Ritual dalam tradisi ini sering dianggap syirik oleh beberapa kalangan. Armudin tidak tahu alasan kenapa orang melabelkan stigma itu. Dia hanya yakin, di mana pun tempatnya, bagai mana bentuknya, berdoa kepada yang kuasa itu tidak menjadi soal.
“Pada prinsipnya, kami meniatkan doa kami untuk menyembah dan meminta kepada Allag SWT,” tegasnya.
Ucapan Armudin itu dikuatkan dengan prosesi tradisi yang berlangsung. Sebelum mulai ritual, warga membacakan ayat-ayat suci Alquran. Sebelum makan pun ada doa bersama.
Soal penilian syirik ini juga disinggung oleh Wakil Wali Kota Baubau, La Ode Ahmad Monianse saat memberi sambutan. Menurutnya, waktu pelaksanaan tradisi yang harus digeser.
“Pada prinsipnya Penerintah Kota Baubau mendukung setiap kegiatan yang berbau tradisi. Seperti halnya visi Pemkot Baubau, maju dan berbudaya,” ujarnya.
“Tapi mari kita geser waktunya. Agar tidak bertabrakan dengan salat. Karena ketika hari ini orang salat, lalu kita di sini, maka kita tidak bisa melarang orang untuk mengatakan apa saja,” tambah Monianse. (SF/b)