ZONASULTRA.COM, KENDARI – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan minimnya akuntabilitas Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam penegakan hukum kasus meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Randi (21) dan Yusuf Kardawi (19).
Kedua mahasiswa itu tewas saat melakukan unjuk rasa menolak pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah legislasi bermasalah di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra, 26 September 2019 lalu.
Baca Juga : Demo, Mahasiswa Hujani Polisi dengan Kotoran Sapi
Koordinator Kontras, Yati Andriyani mengatakan, keputusan Polda Sultra yang hanya menjatuhkan sanksi karena pelanggaran disiplin kepada 6 orang anggota kepolisian, tanpa segera diikuti dengan pemeriksaan pidana terhadap terduga pelaku menunjukkan polri terkesan sedang melindungi terduga pelaku penembakan dan penanggung jawab komando dalam pengamanan aksi.
Dalam hal ini, kata dia, putusan sidang etik itu tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa penembakan yang telah mengakibatkan hilangnya nyawa korban.
“Hingga kini tidak terungkap siapa pelaku yang diduga melakukan penembakan dan kekerasan hingga jatuhnya dua orang korban. Kami khawatir bahwa ketiadaan akuntabilitas dan transparansi dari aparat kepolisian dalam kasus ini akan membuat penyelesaian kasus semakin kelam,” sesal Yati seperti dikutip dalam laman resmi Kontras, Kamis (31/10/2019).
Kontras khawatir, kasus penembakan dan pembunuhan di Kendari seperti yang terjadi pada peristiwa tewasnya 9 orang pada saat peristiwa aksi 21-23 Mei di Jakarta, yang hingga saat ini tidak berhasil mengungkap siapa pelaku penembakan tersebut.
Olehnya, Kontras memandang Polda Sultra tidak menunjukkan akuntabilitas dan transparasinya dalam mengungkap peristiwa penembakan karena tidak menyebutkan peran dari masing-masing pelaku dalam melakukan pelanggaran kode etik yang dimaksud, namun hanya sebatas membawa senjata api dalam penanganan aksi.
Baca Juga : Ini Hukuman 6 Polisi yang Salah Gunakan Senpi Saat Tangani Demo
“Sanksi administratif tersebut juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap penggunaan senjata api yang dilakukan oleh kepolisian. Praktik ini tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan terkait penyalahgunaan senjata api dan kekerasan yang diduga mengakibatkan meninggalnya korban,” sesalnya.
Yati Andriyani menjelaskan, mekanisme sidang disiplin dan kode etik polri tidak menghapuskan tuntutan pidana. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 1 PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri Juncto pasal 28 ayat 2 Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri yang menyatakan bahwa penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana.
“Oleh karenanya, kami kembali mendesak Kapolda Sultra jika ditemukan adanya bukti yang cukup telah terjadi penyalahgunaan senjata api yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, sudah seharusnya proses penyelidikan dan penyidikan pidana kasus ini harus segera dilakukan,” tegasnya.
Sebelumnya, Polda Sultra menjatuhkan sanksi disiplin terhadap enam anggota polisi yang terbukti menyalahgunakan senajata api pada pengamanan demonstrasi berdarah di depan kantor DPRD Sultra, 26 September 2019 lalu.
Baca Juga : Pengunjuk Rasa dan Polisi Kembali Bentrok, Satu Mahasiswa Diamankan
Keenam terhukum itu yakni AKP Diki Kurniawan, Bripka Muhammad Ariffudin Puru, Brigadir Abdul Malik, Bripka M Ikbal, Briptu Hendrawan dan Bripda Fatchurrohman Saputro. Keduanya disanksi dari dua atasan yang berhak menghukum (ankum) yang berbeda.
Keenamnya dijatuhi hukuman disiplin, yaitu teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji selama satu tahun, penundaan pendidikan selama satu hari dan di tempat khusus selama 21 hari. (b)
Kontributor : Fadli Aksar
Editor : Jumriati