ZONASULTRA.COM, KONAWE UTARA – Muhtar (45) menatap lekat sebuah gambar citra satelit yang terpampang di dinding. Ia berdiri dan menunjuk aliran Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo yang melintasi kampung halamannya, Desa Tapuwatu.
Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara dinyatakan hilang usai diterjang banjir bandang, Jumat, 7 Juni 2019. Peristiwa itu masih membekas dalam ingatannya. Hingga kini, pria itu mengaku masih trauma dengan kejadian tersebut.
“Hilang semuanya. Tidak ada harta tersisa. Padahal rumahku itu baru saya bangun,” ujarnya lirih.
Kisah pilu lainnya diungkapkan Ratna, Kepala Desa Wanggudu Raya. Saat kejadian, ia mengaku tidak bisa berbuat banyak selain berusaha menyelamatkan warganya.
“Sembilan keluarga saya tampung di rumahku. Semuanya kehilangan rumah dan harta. Saya sedih liat anak-anak. Mereka makan dan tidur seadanya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Muhtar dan Ratna enggan menuding pihak lain atas banjir yang terjadi. Namun keduanya sepakat menyebut pendangkalan Sungai Lasolo sebagai penyebab meluapnya air sungai.
“Bibir sungai sekarang makin lebar antara 5 sampai 10 meter. Tapi makin dangkal. Kalau tidak ada perhatian pemerintah banjir seperti kemarin akan terus terjadi. Mungkin bisa lebih parah,” kata Ratna.
Banjir kala itu ikut merendam 7 kecamatan di Konawe Utara. Sebanyak 9.609 jiwa mengungsi, 370 rumah hanyut, dan 1.962 rumah warga terendam. Kerugian material ditaksir mencapai Rp674,8 miliar. Nilai kerugian itu nyaris menyentuh angka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Konawe Utara 2019 yang berkisar Rp850 miliar.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Konawe Utara, Antariksa, mengakui kekayaan alam yang dimiliki daerah ini tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Konawe Utara memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah. Mineral tambang, perkebunan hingga garis pantai yang panjang. Tidak terkecuali daerah aliran sungai.
“Tapi sayangnya angka kemiskinan masih tinggi. Menurut BPS tingkat kemiskinan di Konawe Utara tahun 2018, 14,22 persen. Bisa jadi ini meningkat tahun depan karena korban banjir banyak yang kehilangan rumah. Sebab penghitungan angka kemiskinan ini juga disandarkan pada kebutuhan dasar masyarakat khususnya papan,” urai Antariksa.
Antariksa tak memungkiri telah terjadi perubahan tutupan lahan di hulu daerah aliran sungai itu. Hal tersebut menjadi penyumbang sedimentasi pada DAS Lasolo dan DAS Lalindu.
“Jadi yang terjadi kemarin itu adalah banjir limpasan,” tegasnya.
Untuk mengatasi hal itu, kata dia, pihaknya tengah menyusun arah kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjamin kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
“Yang tidak kalah penting adalah pengelolaan dan perlindungan sumber mata air,” ujar dia.
Sekretaris Forum DAS Lasolo, Imran Tumora, mengatakan, banjir yang melanda Kabupaten Konawe Utara bulan Juli 2019 memberikan gambaran kondisi lingkungan sekitar DAS Lasolo. Perkebunan skala besar, tambang dan alih fungsi lahan dalam kawasan hutan telah mengubah bentang alam kawasan DAS Lasolo.
Anomali iklim yang ditandai dengan intensitas hujan yang panjang ikut berperan memperburuk keadaan. Hal itu berdampak pada kemampuan kawasan DAS Lasolo menampung hujan.
“Pola pengelolaan lingkungan sekitar DAS yang tidak ramah lingkungan menjadi perpaduan yang penyebabkan terjadinya banjir,” kata Imran Kamis, 19 Desember 2019.
Hal tersebut disampaikan Imran saat kegiatan kegiatan Lokakarya Pengelolaan DAS Lasolo berbasis adaptasi perubahan iklim dan pengurangan resiko bencana di Wanggudu, 18 -19 Desember 2019.
Koordinator humas dan informasi Forum DAS Lasolo, Faisal Misran, mengatakan Lokakarya ini bertujuan membangun kapasitas para mitra dalam melakukan perencanaan dan memberi nilai tambah baik pada kegiatan parapihak dalam mengelola DAS secara terpadu.
Tidak kalah penting, kata dia, adalah memberi nilai tambah pada penghidupan masyarakat lokal serta nilai tambah untuk konservasi keanekaragaman hayati. DAS Lasolo memiliki panjang 126 Km. Sebahagian hulunya masuk daerah Sulawesi Tengah.
Forum DAS Sulawesi Tenggara tengah berupaya membangun inisiatif untuk mengembangkan kerangka kerja multipihak dalam pengelolaan wilayah DAS Lasolo sebagai strategi dalam beradaptasi akibat perubahan iklim dan pengurangan resiko bencana.
“Pengelolaan DAS merupakan upaya untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan,” ujarnya.
Lokakarya ini dihadiri perwakilan Pemerintah Kabupaten Konawe Utara, BPDAS Sulawesi Tenggara, Dinas Kehutanan Sultra, NGO dan pemerintah desa masyarakat setempat.
“Forum DAS membangun inisiatif untuk mengembangkan kerangka kerja multipihak dalam pengelolaan wilayah DAS Lasolo sebagai strategi dalam beradaptasi akibat perubahan iklim dan pengurangan resiko bencana,” pungkasnya.
Inisiatif dan kerangka kerja multipihak dalam mengelola DAS Lasolo menjadi suatu keniscayaan. Agar apa yang dialami para penyintas bencana seperti Muhtar dan Ratna serta ribuan warga Konawe Utara tidak terus berulang. Saatnya merawat dan mengembalikan ekosistem dan kelestarian DAS Lasolo. (*)