ZONASULTRA.COM, KENDARI – Nuridahwati seperti pula petugas-petugas medis lainnya. Hari-harinya disibukkan dengan urusan medis dan begitu pulang ke rumah ada urusan rumah tangga yang telah menunggu. Ibu berusia 35 tahun ini adalah perawat gigi di Puskesmas Benu-benua, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Senyum sapa dan suara yang ramah, murah didapat dari ibu berhijab ini, khas pembawaan perawat yang sudah bertahun-tahun menghadapi pasien sakit gigi. Sebagai petugas medis yang terangkat menjadi PNS sejak 2006, ibu yang sudah melahirkan empat anak ini tak lepas dari kerentanan masalah penyakit menular.
Anak keempat Nuridahwati terlahir cacat karena rubela (campak jerman), yang dikenal masyarakat Kendari dengan sebutan sarampa. Nur terinfeksi virus rubella ketika bulan pertama kehamilan, yang akibatnya terdapat sindrom rubella kongenital atau congenital rubella syndrome (CRS) pada anak yang dilahirkannya.
Ditemui di Puskesmas Benubenua, pada Jumat (20/12/2019) Nuridahwati mau berbagi cerita, setelah bertugas melayani pasien di poli gigi puskesmas itu. Siang itu, Nur memulai ceritanya di ruang pertemuan lantai 2 puskesmas itu, ruangan yang bebas dari hiruk pikuk pasien.
Pada awal September 2017, ada bercak-bercak merah di kulitnya, seperti ciri-ciri orang yang terkena campak. Karena tahu dampak dari campak, Nur yang merasa ada tanda kehamilan, langsung melakukan tes kehamilan dengan tespek, yang hasilnya positif.
Seingatnya, saat itu aktivitasnya banyak melakukan penyuluhan kesehatan gigi di sekolah-sekolah, yang mengharuskan banyak berinteraksi dengan anak-anak. Pernah juga ia membesuk keluarga yang terkena campak. Soal imunisasi rubela pun di tahun itu belum digalakan di Provinsi Sultra.
Untuk lebih memastikannya dia langsung melakukan pemeriksaan di salah satu klinik di Kendari. Pemeriksaan awal dari dokter masih belum dapat dipastikan bahwa itu adalah campak. Tidak lama kemudian, Nur melakukan tes laboratorium lewat salah satu klinik terkemuka di Kendari. Mendapat hasil positif rubela, Nur langsung stres dan takut, sebagai orang kesehatan ia tahu apa yang akan terjadi.
Ia lalu berkonsultasi dengan beberapa rekan dan dokter ahli yang menjelaskan apa yang akan terjadi terhadap bayi yang dilahirkannya nanti. Temannya bahkan manyarankan agar digugurkan saja menimbang anak yang akan dilahirkan cacat, bukan sekedar cacat biasa. Beberapa sumber lewat google, juga tak luput dari bacaan Nur yang justru malah memperkuat prediksi bahwa anaknya akan terlahir cacat.
“Ada yang tanya kamu mau berniat gugurkan? Tapi saya bilang ih kayaknya saya tidak sanggup mau gugurkan mau bunuh anakku, baru saya pikir siapa tahu ini kesempatan terakhir saya untuk hamil,” kenang Nur dengan suara bergetar, dan tiba-tiba meneteskan air mata.
Tekadnya semakin kuat untuk tak menggugurkan kandungannya manakala terbayang dua anaknya yang meninggal dunia, anak pertama dan anak ketiga. Keduanya tidak berumur panjang di dunia ini, anak pertama meninggal hanya dalam hitungan jam setelah dilahirkan dan anak ketiga meninggal pada usia hampir satu tahun.
Ditambah lagi ada kenalan Nur seorang tokoh agama, mengatakan bahwa soal masa depan masihlah sebatas dugaan manusia yang belum pasti, bisa saja Tuhan berkehendak lain. Nur pun memantapkan keputusannya untuk tak menggugurkan kandungannya.
Atas keputusannya, Nur diingatkan oleh dokter agar apapun nanti yang terjadi harus bertanggung jawab mulai dari mengurus, pengobatan, hingga hal-hal lain yang dipastikan butuh perhatian khusus. Nur kemudian membicarakan dengan sang suami, yang juga setuju agar anak dalam kandungannya tetap dipertahankan.
Selang seberapa lama usia kehamilan, Nur pun melahirkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas Provinsi Sultra pada 25 April 2018. Bayinya berjenis kelamin perempuan. Jadinya sepasang, dengan anak kedua mereka yang laki-laki.
Putri mungil mereka diberi nama Aafiyah, berasal dari bahasa Arab, yang artinya ‘sehat’ atau ‘bugar’. Nama ini merupakan wujud harapan sekaligus doa Nur dan suami agar putri mereka ini kuat dan sehat.
Selama dua minggu pertama, Aafiyah belum begitu menampakkan tanda-tanda. Pas ketika akikah di usia 14 hari, Aafiyah mulai batuk secara terus menerus, hingga suatu malam bayi mungil itu sesak napas. Mereka pun langsung membawanya ke UGD RSUD Kota Kendari saat tengah malam. Setelah dipasang infus dan oksigen langsung dirujuk ke RSUD Bahteramas.
Setelah menjalani beberapa hari perawatan, hasil pemeriksaan menunjukkan ada dua kebocoran jantung yakni Persisten Duktus Arteriosus Persisten (PDA) dan Atrial Septal Defect (ASD). PDA adalah kebocoran karena ada saluran antara jantung dan paru-paru yang seharusnya manutup pada 2-3 hari setelah kelahiran sedangkan ASD adalah kebocoran pada bilik jantung.
Untuk tindakan operasi pun RSUD Bahteramas belum mampu sehingga bisa dirujuk ke Jakarta. Nur pun mencari uang hingga berusaha jual tanah untuk tambahan biaya perjalanan dan keperluan selama di Jakarta. Untungnya, untuk penanganan medis bayi itu dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sehingga Nur hanya menyiapkan biaya lainnya.
“Ada juga teman yang sempat besuk ke rumah ‘kecilnya anakmu ko mau bawa ke sana, mau dioperasi itu, tegakah kasi begitu anakmu’. Ipar juga bilang, ‘ini masih kecil sekali, pelihara-pelihara me dulu, nantimi kalau sudah besar’. Saya bilang yakin, saya niat kalau laku tanahku berarti Allah izinkan saya pergi, dan alhamdulillah laku,” ucapnya.
Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, jantung bayi mungil itu dioperasi pada bulan Juli 2018. Satu kebocoran (Persisten Duktus Arteriosus) berhasil diatasi sedangkan satunya lagi belum memerlukan operasi.
Namun tak sampai di situ, karena memang diakibatkan oleh rubela, bayi itu tak hanya mengalami kelainan pada jantung. Ada bagian-bagian tubuh lainnya yang juga tidak normal, seperti munculnya katarak pada mata dan masalah pendengaran. Terkait kepastian terkena sindrom rubela kongenital ini juga sudah dua kali dilakukan tes laboratorium.
Setelah hampir sebulan usai operasi jantung, Nur pun sekalian mengupayakan bayi mungilnya itu untuk operasi katarak, sebab bila dibiarkan bisa mengakibatkan kebutaan. Untuk operasi selanjutnya dirujuk di Rumah Sakit Anak dan Bunda. Lalu dirujuk lagi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk operasi katarak pada kedua matanya.
Dalam operasi katarak itu bukan sekaligus dua mata dioperasi, tapi satu-satu dijadwalkan. Lensa matanya yang keruh dilepas. Jadi mata bayi itu saat ini tidak ada lensanya, sehingga nanti bila sudah berumur dua atau tiga tahun dapat dipasangkan lensa kontak atau kacamata.
“Saat rangkaian operasi mata itu dia sempat alergi, panas demam ternyata alergi dari obat tetes mata yang memang wajib dikasi,” ujarnya.
Serangkaian operasi dapat dilewati dengan baik. Setelah beberapa bulan berada di Jakarta, pada akhir September 2018 mereka pun kembali di Kota Kendari.
*Melihat Perkembangan Aafiyah
Seminggu lebih setelah pertemuan di Puskesmas itu, pada Minggu (29/12/2019), penulis berkesempatan melihat langsung, Nuridahwati dan putrinya. Keluarga ini tinggal di Kelurahan Anduonohu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari.
Di gendongan ibunya, Aafiyah aktif bergerak mulai dari menggerakkan mata, kepala, tangan, hingga kaki. Sesekali anak dengan potongan rambut pendek dan berkulit cerah itu bersuara “wawa…wawau…”. Gigi-giginya bagian depan tampak sudah tumbuh. Karena aktif bergerak, ibunya harus sesekali duduk dan sesekali berdiri, sembari melanjutkan cerita.
Di usianya yang kini 1 tahun 8 bulan, Aafiyah tidak seperti anak-anak normal pada umumnya mulai dari berat badan hingga kemampuan bergerak (motorik). Padahal untuk anak seusianya seharusnya sudah bisa berlari.
Nur dan suaminya rutin melakukan terapi okupasi 3 kali seminggu supaya putri mereka itu bisa duduk dan bisa jalan. Terapi ini dilakukan sejak Desember 2018, yang sudah di tiga tempat, pertama di klinik, lalu di RSUD Bahteramas, dan kini di RSUD Kendari.
Dengan rutin terapi ini, Aafiyah menunjukkan perkembangan dari yang tadinya tidak bisa menginjakkan kaki, kini sudah bisa kalau dipapah, juga sudah bisa guling-guling.
“Baru satu minggu ini sudah bisa duduk. Dulu juga hanya saya dan ayahnya yang bisa gendong, kakaknya masih takut gendong. Sekarang kadang kakaknya yang gendong, kalau dulu tidak bisa sama sekali,” ucap Nur di ruang tamu rumahnya.
Terkait masalah pendengaran, berdasarkan pemeriksaan di RSCM 2018 lalu, ia bisa mendengar intensitas suara 60 desibel, padahal normalnya adalah 20 sampai 30 desibel. Karena masalah pendengaran ini, ia terlambat mampu berbicara.
Pada April 2019 lalu, Nur membawa anaknya cek di Makassar, saat diperiksa kedua telinganya bisa mendengar tapi hanya untuk suara yang keras sehingga perlu dipasangkan alat bantu dengar agar merangsang kemampuan berbicara. Dokter menyarankan kepada Nur bahwa lebih baik untuk operasi implan, tapi biayanya tinggi yang belum dimampui keluarga Nur, hanya untuk satu telinga sekitar Rp90 juta.
Nur pun sudah membelikan sepasang alat bantu dengar yang harganya Rp12 juta. Harga ini sudah terhitung murah bila dibandingkan yang berharga Rp30 juta sepasang. Alat bantu dengar ini pun jarang dipasangkan ke putrinya itu karena bentuknya yang kecil, Nur khawatir akan dimakan atau digigitnya bila tak diawasi.
Soal biaya yang dikeluarkan selama ini, Nur terbantu dengan adanya BPJS Kesehatan. Kendati demikian, biaya tambahan dari kantongnya sendiri juga tak sedikit seperti biaya perjalanan dan lain-lain.
Bila tanpa BPJS Kesehatan, Nur belum tentu mampu membiayai serangkaian operasi untuk anaknya itu. Misalnya saja, Nur juga menanyai keluarga pasien dari provinsi lain yang datang melakukan operasi jantung untuk anak mereka, bila biaya sendiri bisa mencapai Rp150 juta, tidak ada di bawah Rp100 juta.
Kini, Nur dan suami tetap semangat untuk membesarkan putri mereka itu. Mereka berdua bahu-membahu mengurus kedua anak mereka, tentu sang putri lebih diberi perhatian khusus. Saling membagi waktu adalah kuncinya, Nur yang merupakan PNS biasanya disibukkan dengan urusan puskesmas sehingga sang suami yang pekerjaannya berjualan di warung lebih banyak waktu mengurus anak mereka.
“Banyak hikmahnya, jadi lebih tahu bagaimana bersyukur. Kalau ada yang tanya bagaimana mi anaknya, pasti saya kasi kata alhamdulillah, alhamdulillah dia sudah bisa guling-guling, alhamdulillah matanya merespon. Dia bernafas saja kita punya anak sudah syukur, apalagi kalau dia bisa yang lain-lain, huuh, alhamdulillah sekali,” ucapnya.
Saat ini Nur juga bergabung dengan beberapa komunitas, di antaranya komunitas ibu yang anaknya kelainan jantung, dan komunitas ibu-ibu yang anaknya terlahir dengan sindrom rubela kongenital. Lewat komunitas itu, Nur dan ibu-ibu lainnya aktif bertukar informasi tentang pengalaman hingga cara perawatan anak masing-masing dalam sebuah grup media sosial.
Nur berharap kejadian yang dialaminya tidak terulang pada ibu dan anak-anak lainnya, olehnya menurut dia sebaiknya masyarakat tidak ragu untuk melakukan imunisasi sebagai salah satu cara memutus mata rantai penyakit menular.
“Supaya kita nda tertular, dan kita nda menularkan ke orang lain. Anak saya imunisasi semua,” katanya.
*Mengenal Rubela
Campak dan rubela rentan pada anak-anak dengan gejala yang mirip, bercak-bercak merah di kulit. Secara klinis, dampaknya pun tidak begitu parah pada anak-anak, karenanya kadang orang tua tidak membawa anaknya berobat.
Dokter Spesialis Anak di RSUD Kendari, Nilam Sartika Putri menjelaskan virus rubella yang menginfeksi anak-anak, gejalanya ringan berupa demam, batuk, pilek, muncul bercak-bercak merah, dan ada pembesaran kelenjar. Bahkan anak bisa sembuh hanya dalam waktu satu minggu.
Namun dampaknya tidak demikian, apabila ibu hamil tertular virus rubela terutama pada usia kehamilan trimester 1 (1-13 minggu), dapat menyebabkan penyakit sindrom rubela kongenital terhadap anak yang dikandung. Usia ini adalah saat proses pembentukan organ-organ tubuh, sehingga tidak sempurna pembentukannya karena virus rubella.
“Itu ibu hamilnya bisa menularkan ke bayinya, efeknya ke bayi yang akan dilahirkan nanti bisa kena mata katarak, kelainan jantung, dan tuli, sampai akhirnya gangguan pertumbuhan. Itu yang biasa kita temukan pada bayi-bayi yang kena (dalam kandungan),” ucap Nilam, Selasa (26/12/2019).
Nilam menjelaskan penularan virus rubella lewat air liur. Misalnya satu balita terinfeksi virus rubella maka virus akan menyebar dari batuk maupun ketika bersin atau memegang sesuatu. Sementara bila ibu hamil yang kena, penularan terhadap bayi yang dikandungnya lewat darah, masuk ke tubuh bayi melalui plasenta.
Terkait yang dialami anak Nuridahwati, Nilam mengatakan perlu memastikannya terlebih dahulu, sebab sepertinya anak itu pernah diperiksanya di RSUD Kota Kendari tapi dia kurang mengingatnya lagi. Hanya memang, katanya, anak dengan sindrom rubela kongenital maka kelainan pada jantung, mata, dan telinga sudah biasa terjadi.
Lebih lanjut dijelaskannya anak dengan sindrom itu membutuhkan upaya keras orang tua, mulai dari pengobatan hingga perjuangan untuk membesarkannya. Misalnya, untuk mendorong kemampuan bergerak dengan rutin terapi okupasi, tentu akan menghabiskan banyak waktu.
Karena campak dan rubela adalah penyakit yang dapat dicegah, maka kata Nilam, solusi satu-satunya yang tepat saat ini adalah dengan jalan imunisasi, apalagi didukung program pemerintah dengan adanya imunisasi campak-rubela (MR). Melalui imunisasi, anak akan mendapatkan kekebalan tubuh. Pencegahan tanpa imunisasi sangat sulit, sebab kata Nilam untuk menghindari kontak dengan anak-anak itu susah.
Dijelaskannya, anak yang telah diimunisasi dengan vaksin rubela memiliki anti bodi dalam tubuhnya. Begitu pula bagi perempuan yang telah diimunisasi sebelum hamil, bila terinfeksi maka biasanya tidak akan menular ke bayi yang dikandungnya karena sudah terproteksi oleh anti bodi ibunya. Namun vaksinasi untuk perempuan ini hanya dibolehkan sebelum hamil, kalau dalam keadaan hamil tidak dibolehkan.
Anak yang diimunisasi dapat terinfeksi virus rubela tapi dampaknya ringan, dapat menghentikan penularan virus, dan dapat terhindar dari komplikasi. Kata Nilam, yang dikhawatirkan dari anak-anak yang tidak diimunisasi adalah bila terjadi komplikasi.
“Kadang-kadang pada anak yang tidak diimunisasi itu mengalami komplikasi berat. Komplikasinya ini yang kita takutkan karena bisa pneumonia (infeksi penyerta pada paru), radang otak. Makanya anak yang tidak diimunisasi risiko komplikasinya ini yang kita takutkan,” ujar Nilam.
Nilam menjelaskan imunisasi campak-rubela tidak hanya untuk melindungi diri masing-masing anak yang disuntik vaksin, tapi juga turut melindungi orang-orang di sekitarnya. Misalnya dalam suatu komunitas, 80 persen yang diimunisasi akan turut melindungi sebagian lagi yang tak diimunisasi.
“Tapi kalau sudah banyak yang tidak peduli, tidak mau, tidak mau, dan di sana juga tidak mau imunisasi, akhirnya satu komunitas tidak ada yang diimunisasi maka dari sinilah mulai menyebar (wabah) penyakit yang dapat dicegah sebenarnya,” kata Nilam.
Artikel Selanjutnya : Mengenal Rubela, Belajar dari Perjuangan Perawat yang Putrinya Lahir Cacat (Bagian II)