*Rubela di Kota Kendari
Pencegahan dan pengendalian campak dan rubela saat ini dilakukan dengan jalan imunisasi. Sejak vaksin rubela yang dipaketkan dengan vaksin campak, dikampanyekan pada Agustus 2018 di Kota Kendari, data menunjukkan ada penurunan suspect maupun yang terbukti positif.
Berdasarkan data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Kendari dari tahun 2017 hingga 2019, campak dan rubela di Kota Kendari kebanyakan terjadi pada balita, lalu anak sekolah usia remaja. Tertinggi pada 2017 jumlah suspect (yang diduga) mengalami campak-rubela terdapat 97 kasus. Setelah dilakukan tes laboratorium di Surabaya, yang positif 59 kasus terdiri dari 44 orang positif campak dan 15 positif rubela. Setelah itu pada tahun 2018, suspect campak-rubela 49 kasus. Hasil tes menunjukkan 2 positif campak dan 1 rubela.
Data pada tahun 2019 dari Januari hingga awal Desember 2019 terdapat suspect campak 18 orang sedangkan suspect rubela 0. Yang suspect ini masih akan dilakukan tes laboratorium untuk menunjukkan berapa yang positif.
Setelah masa kampanye imunisasi measles dan rubella (MR) itu di sekolah-sekolah usai, sejak awal tahun 2019 imunisasi MR dilaksanakan secara rutin. Sebanyak 15 puskesmas di Kota Kendari kini menyediakan vaksin, dan kalau ada rumah sakit atau klinik yang mangajukan permintaan vaksin juga diberikan.
Kendati terlihat berdampak pada penurunan penyebaran penyakit menular itu, pada 2018 lalu, kampanye imunisasi MR di Kota Kendari sempat mendapat penolakan dari masyarakat sehingga imunisasi di sekolah-sekolah tidak berjalan maksimal. Penyebab penolakan adalah adanya isu vaksin haram dan juga beredar isu tentang efek samping dari penggunaan vaksin.
“Waktu kampanye imunisasi itu sampai yang kelas 1 SMA kita berikan, tapi karena ada isu haram seperti pesantren, tsanawiyah, ibtidayah, begitu ada isu sudah nda mau lagi, tapi kita laksanakan sosialisasi terus baik di sekolah, kelurahan, posyandu, instansi,” jelas Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Kendari, Samsul Bahri di ruang kerjanya, Rabu (18/12/2019).
Karena adanya berbagai penolakan itu, jadwal kampanye imunisasi MR pun sempat diperpanjang dari yang awalnya Agustus sampai September, diperpanjang hingga Desember 2018. Keberhasilan imunisasi MR di Kota Kendari selama kampanye imunisasi MR 2018 hanya sekitar 70 persen, padahal targetnya adalah di atas 90 persen (ditarget sebanyak 102.993 anak bisa diimunisasi).
Samsul melihat fenomena penolakan imunisasi itu masih ada hingga tahun 2019. Namun jumlahnya tidak banyak. Imunisasi untuk bayi pun dipastikan akan mencapai target. Misalnya untuk imunisasi MR yang rutin, khusus bayi berusia 1 sampai 9 bulan dengan jumlah sasaran 8.698 bayi selama 2019, data pencapaiannya bergerak di angka 90 persen ke atas (rekap keseluruhan di awal Januari 2020).
Tentang penolakan imunisasi MR pada 2018, salah satunya terjadi di wilayah kerja Puskesmas Benubenua, meliputi wilayah Kecamatan Kendari Barat. Saat adanya isu haram, orang tua maupun pihak sekolah menyatakan penolakan, khususnya sekolah-sekolah yang berbasis agama. Penolakan juga muncul dengan alasan meragukan kerja pihak Dinkes dan Puskesmas dalam melakukan vaksinasi.
“Penolakan itu tidak dilakukan secara frontal, dan ada pula masyarakat yang tahu pentingnya imunisasi MR, sehingga meski sekolah anaknya menolak, orang tua datang membawa sendiri anaknya di sini untuk disuntik vaksin,” ujar Kepala Puskesmas Benu-benua, dokter Rahmawati, Jumat (20/12/2019).
Dengan begitu, ketika masyarakat diberikan sosialisasi dengan melibatkan Kementerian Agama (Kemenag) Kota Kendari, pihak sekolah, dan Dinkes, barulah ada kesadaran tentang pentingnya imunisasi.
Sekolah-sekolah kemudian bersurat agar petugas imunisasi turun kembali ke sekolah. Vaksinasi MR pun kembali dilanjutkan. Bahkan ketika masa kampanye imuniasasi MR selesai dan vaksin sempat ditarik, masih ada orang tua yang membawa anaknya ke puskesmas Benubenua.
Salah satu sekolah berbasis Islam di Kota Kendari yang ketika kampanye imuniasi MR 2018 lalu tidak maksimal adalah Pesantren Ummushabri Kendari. Di pesantren ini, terdapat sejumlah orang tua siswa yang menolak anaknya diimunisasi MR karena alasan syariat.
Ketua Yayasan Ummushabri Kendari, Supriyanto mengatakan saat itu pihaknya memberikan ruang kepada orang tua siswa yang menolak anak mereka diimunisasi MR. Namun demikian, menurut dia, secara umum imunisasi MR di pesantren ini dapat dikatakan berjalan baik dan tidak ada masalah.
“Ada masyarakat atau orang tua siswa yang tidak mau karena alasan syar’i. Nah kita menghargai itu karena kita kan nda boleh memaksakan orang tua siswa yang memiliki alasan syar’i,” ucapnya, Selasa (26/12/2019).
Dengan adanya penolakan itu, maka siswa Ummushabri yang tidak divaksin MR sekitar 20 persen dari sasaran imunisasi sekitar 2.000 anak (TK sampai Kelas 1 Aliyah). Pesantren ini memang memiliki banyak siswa karena di dalamnya ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Madrasah Ibtidayah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
*MUI Wajibkan Imunisasi MR Tapi Tak Memaksa
Supriyanto yang juga Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sultra, mengatakan pada 2018 di Kota Kendari imunisasi MR sempat berpolemik karena tidak adanya sertifikat halal dari MUI. Imunisasi kembali berjalan lancar setelah adanya fatwa MUI pusat bahwa imunisasi MR dibolehkan karena Indonesia dalam keadaan darurat campak dan belum ditemukan vaksin yang berbahan halal.
“Kami MUI Sultra mengeluarkan surat untuk meneruskan surat dari MUI pusat, imunisasi itu hukumnya wajib. Itu ada surat edaran kami yang terkait dengan imunisasi MR, vaksinnya itu yang bahannya tidak halal maka masyarakat dibolehkan tidak mengikuti imunisasi jika alasan syar’i,” tutur Supriyanto.
Untuk mensukseskan kampanye imunisasi MR ketika itu MUI Sultra turut mengutus Wakil Ketua Umum MUI Sultra Aang Anwar Mujahid ikut sosialisasi imunisasi MR ke beberapa daerah. Aang mewakili MUI Sultra turun sosialisasi pentingnya imunisasi bersama pihak Dinkes Provinsi Sultra. Dalam sosialisasi itu MUI tidak memaksa jika alasan penolakan adalah syariat, tapi tetap ditekankan bahwa imunisasi MR adalah wajib.
Secara terpisah, Ketua MUI Sultra KH Mursyidin menjelaskan karena ada penelitian bahwa bila tidak diimunisasi bisa menjadi mudarat maka dianjurkan untuk imunisasi MR sekalipun belum terjamin kehalalannya. Namun, MUI juga tidak memaksa.
“Yang dipermasalahkan itu pembuatan vaksinnya, yah selama hanya ada itu (vaksin MR) dan tidak ada yang lain maka itu dibolehkan. Jangankan itu, misalnya dalam Islam dilarang makan babi, tapi ketika darurat tidak ada makanan lain, mati kalau tidak makan, maka itu dibolehkan,” jelasnya, Sabtu (28/12/2019).
MUI Sultra mengajak masyarakat agar senantiasa berobat, imunisasi adalah proses dari berobat itu sendiri. Selama tidak mengarah pada kemusyrikan maka tidak ada salahnya untuk berobat. Mursyidin menuturkan dalam agama pun diperintakan untuk berobat selama masih ada obatnya dan dilarang berpangku tangan, berbeda dengan kematian yang memang tidak ada obatnya.
*Target Eliminasi 2023
Dalam rangka menekan angka kesakitan dan kematian akibat campak dan rubella, Dinkes Provinsi Sultra menargetkan untuk mencapai eliminasi campak dan pengendalian congenital rubella syndrome pada tahun 2023.
Target eliminasi itu bukan hanya untuk Sultra, tapi juga di seluruh Indonesia yakni tidak adanya wilayah endemis selama lebih dari 12 bulan dan “zero” penularan melalui pelaksanaan surveilans (suatu proses pendataan yang akurat dan tersistem).
Kepala Dinkes Provinsi Sultra Andi Hasnah melalui Kepala Seksi Surveilans Imunisasi, Kartina menjelaskan untuk mencapai target itu strategi yang dilakukan di antaranya penguatan imunisasi rutin untuk mencapai cakupan imunisasi campak rubela 95 persen atau lebih. Bahkan bila ada kejadian luar biasa akan diinvestigasi secara penuh. Kemudian juga surveilans campak rubela berbasis kasus individu.
Meski sempat berpolemik pada tahun 2018 lalu dengan adanya penolakan imunisasi MR, seiring dengan adanya penerapan strategi itu maka Dinkes optimis target eliminasi akan tercapai. Selain itu kesadaran masyarakat untuk imunisasi juga sangat diharapkan.
Data terakhir di Dinkes Sultra yakni 2018, di Sultra dilaporkan 104 kasus campak dan sesuai prosedur yang diperiksa spesimennya sebanyak 35 orang. Hasil laboratorium menunjukkan 4 positif campak, 5 positif rubela, dan 26 negatif campak dan rubela.
104 kasus yang dilaporkan itu dari daerah kabupaten/kota yakni Kolaka, Muna, Buton, Kota Kendari, Wakatobi, dan Bombana. Sebanyak 9 kasus yang positif itu dari Kolaka 2 positif rubela dan 0 campak; Muna 1 rubela dan 2 campak; Buton 1 rubela dan 0 campak; Kota Kendari 1 rubela dan 2 campak. Sementara Wakatobi dan Bombana negatif.
“Untuk membuat zero transmisi campak rubela ke depan maka jalan satu-satunya adalah mengoptimalkan imunisasi. Sebab penyakit campak rubela berpotensi menjadi wabah apabila cakupan imunisasi rendah dan kekebalan kelompok (herd immunity) tidak terbentuk,” ucap Kartina di ruang kerjanya, Senin (30/12/2019).
Imunisasi MR di Provinsi Sultra pada anak usia 9 bulan sampai 15 tahun dalam masa kampanye 2018 lalu (Agustus hingga Desember), mencapai 86,57 persen yaitu jumlah yang diimunisasi MR sebanyak 714.652, dari jumlah sasaran Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes sebanyak 825.562 anak di Provinsi Sultra (17 kabupaten/kota).
Dijelaskannya hukum pemberian imunisasi di Indonesia adalah wajib. Landasan hukumnya adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014, UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009, dan UU Pemerintah Daerah nomor 23 tahun 2014.
Dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 2 berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selain itu juga ada dalam pasal 28H ayat 1 UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 secara gamblang disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi. Selain itu pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
“Lewat imunisasi diharapkan hak-hak anak untuk hidup sehat dapat terpenuhi. Di tahun-tahun berikutnya kita inginkan anak-anak di Sulawesi Tenggara menjadi generasi yang unggul, misalnya dengan tidak terkena sindrom rubela kongenital,” ujar Kartina. (***)
Artikel Sebelumnya : Mengenal Rubela, Belajar dari Perjuangan Perawat yang Putrinya Lahir Cacat (Bagian I)