“Tak ada rotan akarpun jadi” ataukah “tak ada akar rotanpun jadi” Manakah yang bisa menggambarkan kondisi pembelajaran kini di tengah arus corona yang menghantui?. Peribahasa “Tak ada rotan akarpun jadi” bermaksud menegaskan bahwa jika tidak ada primer-bisa sekunder, jika tidak ada modern-cukup kovensional, jika tidak ada yang utama-pendukungpun bisa dipahami.
Kita bermufakat saja bahwa, dalam masyarakat milenial istilah rotan adalah “teknologi”, dan istilah akar adalah “konvensional/klasik”. Maka sudah sepatutnya masyarakat modern kini memaksimalkan unsur teknologi dalam dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya dimensi pendidikan, pembelajaran/kuliah. Hal itu disandarkan pada kondisi bahwa teknologi telah menjadi kebutuhan “magna”dan utama.
Fenomena covid-19 telah memaksa setiap dimensi kehidupan untuk melakukan kegiatan based online; pelayanan online, administrasi online, evaluasi online, termaksud di dalamnya kegiatan pendidikan yaitu perkuliahan online. Bukankah ini semua harus diaparesiasi oleh masyarakat milineal? Bahwa pelaksanaan pembelajaran telah diarahkan kepada fitrah ke-milenial-an mereka yang bercirikan teknologi dan jaringan berbasis online?
Namun, paradox dengan fakta, kuliah online menjadi momok yang menakutkan, layaknya virus corona (covid-19) yang sedang mewabah. “Rotan” yang yang telah mereka peroleh, malah mereka milineal kini, meminta hijrah kembali ke “akar”, dengan dalih perkuliahan online: memberatkan, dan menakutkan. Fenomena Corona-Covid 19 menyebabkan ketakutan, ketidak senangan, ketidak nyamanan. Begitupun kuliah online menyebabkan protes, ketakutan, ketidak senangan, ketidak nyamanan.
Banyak rintihan psikologis yang didemonstrasikan mahasiswa, misalnya: “Ya Tuhan banyak tugas, menjengkelkan sekali kuliah online, biaya paket mahal, tolong mengerti kami bapak/ibu dosen, jangan pikulkan tugas-tugas yang banyak, karena setiap dosen juga memberikan tugas lainnya, kuliah online banyak kelemahan dan kekurangannya, kami kurang mendapat ilmu”. Muncul ragam meme misalnya “kampus lockdown, tugas smackdown, aku down, serta kalimat-kalimat yang senada lainnya. Pernyataan di atas jelas ingin menunjukan demonstrasi psikologis warga belajar dalam bentuk keberatan dengan kebijakan, model, metode, atau alur pembelajaran online yang sedang marak dilakukan lembaga pendidikan diseluruh penjuru negeri. Curhatan akademis tersebut seperti ingin menyuarakan “kami mau kuliah seperti dahulu lagi, kami mau kuliah dengan perasaan aman, nyaman tak ada tekanan, kami mau negeri kami segera bebas dari rongrongan makhluk kecil tak terjamah mata, dia covid-19”, mungkin seperti demikian demonstrasi itu.
Peristiwa-peristiwa kecemasan dan ketakutan yang dialami warga belajar di atas seolah memerintahkan kepada “pendidikan” untuk munggungkap kata begitulah “aku”. Aku bukan sekedar transfer of knowledge, tapi kompleks dari itu, transfer of value, transfer of meaning, guidance, give attention, dan motivation. Pembelajaran butuh tatap muka karena disitu ada kerinduan, butuh penguatan karena disitu hadir harapan, butuh motivasi karena disitu ada sandaran, butuh bimbingan karena disitu hadir cinta. Memang manusia bisa dipandaikan oleh teknologi, tapi tidak untuk kedewasaannya. Kedewasaan manusia hanya bisa dilakukan bilamana kerinduan, harapan, sandaran dan cinta bersatu dalam setting pembelajaran.
Diperlukan kolaborasi antara sentuhan teknologi dan sentuhan harapan, sandaran dan cinta dalam kuliah. Pembelajaran butuh penguatan psikologis secara langsung dari sosok “idola”. Penguatan psikologis tidak bisa diwakilkan oleh jaringan/online, penguatan itu butuh kehadiran sosok “mereka” di depan mata. Karena, pendidikan bukan sekedar belajar, pendidikan butuh perhatian, kasih sayang dan cinta, begitulah mahasiswa kini “berfatwa”.
Penulis berhipotesa, untuk mewujudkan pendidikan berbasis teknologi, perlu dukungan seluruh sumber daya; sumber daya financial, sumber daya material dan sumber daya manusia. Kini negara sedang mengarah kesana. Pendidikan butuh ketersediaan sebuah sistem dan komponen pembelajaran milineal 4.0 yang merata. Misalnya tersedianya hardware atau perangkat keras pembelajaran online oleh semua warga, desain kebijakan tersedianya jaringan yang aksesibilitas, yang bisa diakses oleh pendidik dan peserta didik dimanapun dan kapanpun secara mudah dan lainnya. Komponen tersebut harus menjadi barang nyata agar pembelajaran, terstruktur, tidak keluar medan, tidak ada yang terlantara dan terarah.
Situasi kini, lembaga pendidikan misalnya harus mendesain strategi kebijakan, layanan akademik dan nonakademik di tengah covid-19 atau “semacam protocol pelayanan akademik, nonakademik, dan layanan administrasi”. Bagaimana desain perkuliahan, meliputi: absensi, metode pembelajaran online, penyampaian materi, system penugasan, umpan-balik dan system penilaian. Misalnya pula satuan pendidikan merumuskan kebijakan, bimbingan online, pelaksanaan magang, pelaksanaan ujian online dan layanan administrasi yang bisa memudahkan peserta didik ditengah kecaman covid-19. Dalam aspek aksesibilitas misalnya bagaimana kebijakan dan model penyediaan akses internet, sarana dan prasarana belajar online. Strategi-strategi tersebut harus direalisasikan agar semua pelaku pendidikan merasakan secercah kenyamanan disela-sela ketidaknyamanan yang dirasakan kini. Fenomena corona (covid-19), memberi pelajaran penting pada setiap insan di negeri ini, agar kita selalu cepat berinovasi, tanggap terhadap situasi, melakukan kegiatan-kegiatan positif, dan selalu berusaha melakukan evaluasi.(*)
Oleh: Dr. Aris Try Andreas Putra
Penulis Merupakan Dosen IAIN Kendari