Wartawan, yang berstatus reporter adalah kalangan yang sangat rentan terdampak wabah Covid-19. Resiko mereka hanya setingkat di bawah petugas medis.
Resiko mereka setara dengan pegawai yang melayani orang banyak, semisal karyawan bank. Sama beresikonya dengan polisi dan tentara yang ditugaskan di lapangan, mengatur lalu lintas atau berjaga di perbatasan daerah.
Bedanya, terutama untuk konteks Kendari dan Sulawesi Tenggara (bahkan hampir di seluruh wilayah Indonesia), gaji mereka relatif kecil karena sangat tergantung pada kemampuan perusahaan, terutama bagi wartawan yang bekerja pada media-media lokal. Tidak berafiliasi atau bernaung pada media nasional, baik pemerintah maupun swasta.
Bahkan yang bernaung pada media swasta nasional sekalipun, namun tidak berstatus karyawan tetap, dan hanya mengandalkan penghasilannya dari produktifitas berita, termasuk kelompok yang rawan dan rentan.
Hanya beberapa kesyukurannya, para wartawan ini pandai mencari pasangan. Bukan pacar ya. Istri atau suami maksudnya. Umumnya, pasangan mereka adalah pegawai pemerintah atau pegawai swasta mapan, bahkan ada yang pengusaha. Jadi, sedikit banyaknya sebagai satu kesatuan, keluargawartawan yang seperti ini relatif aman.
Tapi di luar kelompok yang “pandai” mencari pasangan, wartawan tetaplah kelompok yang rentan. Termasuk yang masih jomblo. Apalagi yang sering diputuskan pacarnya…hehehe
Kabar buruknya, kelompok inilah yang persentasenya terbesar. Sebab, wartawan yang beratatus sebagai reporter umumnya pekerja pemula, yang baru meretas karier, dan belum memiliki jabatan di kantornya. Mereka anak-anak muda. Jomblo. Belum menikah. Namun, sudah malu minta uang ke orangtua.
Wartawan adalah ujung tombak informasi yang kredibel. Informasi yang bertanggungjawab. Pekerja yang mengemban empat fungsi pers. Memberi informasi, mengedukasi, menghibur, dan melakulan kontrol sosial.
Negara atau daerah perlu memprioritaskan perlindungan terhadap mereka setelah tenaga medis. Terutama perlindungan kesehatan dan ekonomi. Mereka turun ke lapangan tidak boleh diliputi rasa waswas mau beli beras pakai uang darimana nanti. Periksa kondisi kesehatan mereka secara rutin.
Karena tulisan ini berlatarbelakang Kota Kendari dan Sulawesi Tenggara secara umum, pemerintah daerah terkait perlu menyegerakan langkah-langkah perlindungan bagi para wartawan.
Syukurlah, beberapa waktu lalu sudah ada rapid test untuk mereka. Tapi bantuan untuk penguatan ekonomi belum ada. Setahu saya. Ini perlu disegerakan. Demi terjaminnya publik dari paparan informasi hoax.
Apakah semua (yang mengaku) wartawan dapat fasilitasi “perlindungan jurnalis”? Tidak. Hanya mereka yang memiliki media kredibel. Yang diakui entitas dan eksistensinya oleh lembaga resmi.
Sebab, banyak “wartawan” yang sesungguhnya parasit informasi. Media mereka tidak terkelola dengan baik. Informasinya tidak berstandar kode etik jurnalistik. Tidak bergabung dalam organisasi pers manapun sehingga lepas dari pembinaan. Tidak tercatat sebagai lembaga pers resmi yang mendapat legalitas.
Keluar masuk kantor menebar ancaman beserta proposal. Lembaga media seperti ini sangat rentan memproduksi informasi hoax. Ini justru harus dikikis.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial