Sebagai pengantar, saya harus mengatakannya diawal bahwa Menteri Pendidikan bukanlah ahli pendidikan. Sejak reformasi, jabatan ini selalu diisi oleh orang yang terdidik, tapi tidak punya latar belakang dunia pendidikan. Mereka duduk di pucuk pimpinan Kementerian Pendidikan, tanpa tahu banyak apa itu pendidikan. Karena mereka tidak tahu apa-apa tentang pendidikan, maka sejak reformasi, kebijakan pendidikan kerap jauh lebih banyak menuai kontroversi dibanding kesepakatan.
Tak tahu banyak soal regulasi. Oktober, 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengundang sejumlah tokoh, pakar, serta penggiat pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Pada tahun pertama, Mendikbud beri keterangan terhadap media bahwa dirinya tak punya Inovasi soal pendidikan. Sontak ini membawa gelak bagi saya. Tentu tidak dalam rangka mengadili, namun ini tentang miskonspesi yang sering kita dengar tentang Link and Match. Paradigma ini mensyaratkan lembaga pendidikan untuk melakukan penyesuaian dengan industri. Ya, sekolah-sekolah harus didesain agar lulusannya memiliki kemampuan yang dibutuhkan industri. Saya lebih senang mengatakan ; “sekolah sebagai pabrik manusia yang siap kerja”. Itu artinya selamat datang neoliberalisme pendidikan di Indonesia. Maka, secara harfiah pendidikan di ruang-ruang kelas sebagai pengemangan bakat dan potensi masing-masing, dan memberikan kebebasan setiap individu untuk menjadi dirinya sendiri, tidak akan pernah berlaku di Indonesia.
Jelas pendidikan saat ini tidak kritis. Hal lainnya, kita bisa lihat pada Ujian Nasional, mungkin tak ada satu pun ahli pendidikan yang sepakat bahwa harus ada Ujian Nasional (UN) dalam secuil bidang saja, yang menjadi standar utama kelulusan siswa setelah tiga tahun belajar di sekolah menengah. Logika yang paling sederhana pun pasti menyangkal bahwa kebijakan itu tepat, baik dalam tataran ide maupun praksis. Jika mau jujur, semua guru sekolah menengah pun menolak ujian aneh semacam itu. Tapi berhubung memang Menteri Pendidikan-nya kerap merupakan orang yang tidak paham tentang pendidikan dan/atau ada sekian tangan yang bermain di belakangnya, maka kebijakan itu tetap dipertahankan.
Kita dituntut melakoni pendidikan sesuai kurikulum yang telah diatur oleh pemerintah, tanpa melihat bakat dan potensi yang berbeda-beda dari tiap individu, hanya melahirkan budaya kompetitif melalui sistem nilai. Hal itu berdampak pada hajat hidup kita yang menempuh pendidikan. Pada akhirnya, kita pun turut terjerumuskan pada sistem yang menindas; menjadi tenaga kerja, memenuhi kebutuhan industri.
Sebenarnya bisa, lihat Pada 17 November 1939, merupakan momen di mana sekolah menjadi tempat para individu menumbuhkan rasa empati pada keadaan sosial dan kepekaan untuk melakukan perubahan. Sekaligus kilas balik penetapan International Student’s Day (ISD) yang dilakukan oleh International Student’s Union, yang bermarkas di Praha, atas peristiwa tragis yang terjadi di Cekoslovakia; yaitu eksekusi mati tanpa pengadilan terhadap sembilan mahasiswa dan dosen. Sebelumnya, penyerbuan besar-besaran dilakukan oleh Reichprotector Ceko (perwakilan Nazi di negara boneka; Bohemia & Moravia), melalui penutupan lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Cekoslovakia dan melakukan penangkapan terhadap lebih dari 1200 pelajar-mahasiswa-pemuda untuk dikirim ke kamp konsentrasi.
Peristiwa tragis tersebut merupakan respon balik Nazi terhadap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh pelajar-mahasiswa-pemuda pada 15 November 1939, untuk menuntut matinya dua orang demonstran karena menolak fasisme yang dilakukan oleh Nazi dan ketakutan elit pemerintahan Ceko untuk melawan tindak-tanduk fasisme tersebut, pada tanggal 28 Oktober 1939.
Melalui peristiwa tersebut, tergambarkan secara eksplisit bahwa sekolah pun pernah menjadi wadah individu-individu yang siap mengubah dunia. Namun saat mereka ingin melakukannya, kekuasaan membungkam itu semua. Sekolah kembali dijadikan tempat kosong, lumbung percetakan tenaga kerja di saat perkembangan individu mulai terasa. Sekolah tidak memberikan pilihan untuk menjadi lebih baik.
Gerakan ISD merupakan sebuah perlawanan yang dilakukan oleh pelajar seluruh penjuru dunia terhadap neliberal yang menyusup masuk dalam sistem pendidikan. Gerakan tersebut dipelihara hingga saat ini oleh pelajar internasional, salah satunya adalah Chile. Sejak Mei 2006, Chile secara masif melakukan perlawanan terhadap neoliberalisme pendidikan, yang diorganisir oleh pelajar sekolah formal tingkat akhir (di Indonesia kita menyebutnya dengan SMA).
Saatnya siswa diajarkan bagaimana berpikir kritis dan jauh dari kata kompetisi. Ya pedagogi semacam itu berupaya menyediakan wawasan yang luas sekaligus kepekaan moral untuk mendorong siswa terlibat di dalam perubahan sosial, guna menciptakan masyarakat yang lebih bebas dan adil. Pedagogi kritis hendak mempertanyakan pola pikir neoliberalisme yang kini merasuki berbagai bidang kehidupan manusia. Tulisan ini juga melihat kemungkinan menerapkan konsep pedagogi kritis dari Henry Giroux untuk konteks Indonesia. Bagiaman mempertanyakan dan mengungkap hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat yang menciptakan penindasan dan ketidakadilan sosial.
Ketika Freire menulis Pedagogia do Oprimido, ia berangkat dari kenyataan faktual dengan pendekatan historis terkait kondisi pendidikan di Brazil dan Amerika Latin yang miskin secara akses dan kualitas. Tujuan pamflet Khayati yang berjudul De la misère en milieu étudiant, adalah kritik yang dialamatkan terhadap mahasiswa Prancis. Saat Giroux mulai menulis Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Oppressed hingga kemudian menyelesaikan On Critical Pedagogy: Critical Pedagogy Today, ia mendasarkan kritiknya pada kondisi pendidikan di USA yang selalu dianggap jauh lebih maju, lebih terkemuka dan menjadi mercusuar bagi negara-negara di dunia ketiga. Atau ketika Callinicos merumuskan kritiknya dalam Universities in a Neoliberal World, ia sedang melihat kenyataan faktual secara radikal dan holistik dari perguruan-perguruan tinggi di negara-negara maju dan relasi eksploitatifnya dengan perguruan-perguruan tinggi di negara-negara dunia ketiga.
Artinya adalah, kita perlu berhenti untuk memakai kacamata orang lain untuk melihat pendidikan kita sendiri! Hari ini kita membutuhkan sebuah rumusan kritis tentang bagaimana dan apa yang dimaksudkan dengan pedagogi kritis dalam konteks Indonesia. Yang sejarah panjang pendidikannya terentang jauh sebelum Islam datang, seperti bagaimana Karsyan berdiri dan kemudian menjadi basis awal berdirinya pesantren di masyarakat Islam pra-Indonesia. Bagaimana juga ke-Kristen-an yang dibawa oleh bangsa Eropa memberi warna dominan terhadap pendidikan di Indonesia. Bagaimana kekayaan pengetahuan masyarakat adat menjadi hal yang secara unik namun diacuhkan karena dianggap sebagai ancaman laten bagi penguasa. Bagaimana negara ini mendiamkan begitu saja ketika lebih dari 500.000 orang jadi korban pembantaian di akhir dekade 1960-an. Ini belum termasuk soal-soal kontemporer yang kita hadapi seperti Aceh, Papua, Alifuru dan ribuan kasus tanah yang merupakan konflik asimetris namun menjadi seperti pemandangan harian.
Dan, apakah itu tanggung jawab pemerintah? Semoga saja iya. Sebab kini, saya sedang meletakkan harapan lebih, pada Menteri Pendidikan, yang meski tidak link and match berlatarkan dunia pendidikan, tapi nampaknya punya passion yang cukup terhadap ruang yang kerap jadi objek pengabaian ini. Di tengah budaya penunjukkan menteri yang kerap sarat akan kepentingan politik praktis tadi, saya melihat beliau sebagai sebuah anomali, ditunjuk karena kompetensi.
Oleh : Yosua Abib Mula Sinurat
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UI/Sekretaris Fungsi Medkominfo PP GMKI