Pemerintah pusat terus menyampaikan imbauan kepada masyarakat agar mengurangi kegiatan di luar rumah. Menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, tidak berkerumun, mengenakan masker, dan rajin mencuci tangan menggunakan sabun. Pasien positif terinfeksi Covid-19 di Indonesia per Minggu 5 mei secara kumulatif berjumlah 11.192 orang. Sebanyak 845 orang meninggal dunia, dan 1.876 dinyatakan sembuh.
Ibarat sebuah kode alam, bila terjadi bencana di sebuah daerah, wilayah, atau negara
tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat memicu terjadinya inflasi di bidang ekonomi. Inflasi ini ditandai dengan naiknya beberapa bahan kebutuhan pokok masyarakat akibat kepanikan yang muncul tiba-tiba, sehingga direspons oleh masyarakat melalui aksi borong dan penaikan harga. Respons kenaikan harga oleh pedagang, sebenarnya merupakan faktor alamiah yang bisa terjadi kapan saja seiring pedagang juga butuh menjaga jarak bagi keamanan kelangsungan usahanya pasca terjadinya kondisi force majeure (darurat). Kadang, respons ini berlangsung cepat dan menekan, sehingga dirasakan menindas bagi kalangan umum masyarakat konsumen karena kaget dengan jurang perbedaan awal harga yang diketahuinya dibanding setelah terjadinya momen. Semua itu diawali dari tradisi panik yang berlangsung singkat. Panik mewujud menjadi aksi borong barang kebutuhan di toko-toko penyedia. Badan Pusat Statistik (BPS) Mencatat Pada April 2020 terjadi inflasi sebesar 0,08 %. Dengan komponen pengeluaran terbesar
adalah dari kelompok kesehatan sebesar 0,23%.
Inflasi sebenarnya terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena peran media sosial. Bagaimanapun juga, keberadaan media sosial menjadi penyumbang pertama bagi timbulnya kepanikan. Tidak ada bedanya antara valid dan tidaknya berita yang diinformasikan. Keduanya sama-sama menyumbang informasi yang bisa dianalisa oleh masyarakat, sehingga spontanitas muncul aksi respons borong, jual, dan penurunan atau penaikan harga Sebenarnya sumber informasi masyarakat ini, tidak hanya bergantung pada media mainstream saja, melainkan media sosial, di mana terjadi dialog personal antara satu komponen masyarakat dengan komponen masyarakat lainnya, juga dapat semakin memperparah kondisi sentimen negatif itu. Apalagi, bila kemudian terjadi keterbelahan opini publik, baik akibat ulah sebagian kaum politisi yang memanfaatkan momen untuk menekan pemerintah, atau akibat beberapa kebijakan pemerintah yang direspons oleh publik. Kedua, karena kebijakan pemerintah yang direspons oleh publik. Seperti misalnya, kebijakan social distancing dan lockdown. Akibat dari kebijakan lockdown, banyak pusat serta unit-unit kegiatan masyarakat menjadi ditutup dan berhenti. Akibatnya, beberapa roda perekonomian terganggu atau bahkan macet sama sekali. Tutupnya sejumlah pusat aktifitas publik ini secara tidak langsung memberi sinyalemen bahwa stok produk yang ada di pasar akan menjadi tertahan lama, sehingga beberapa di antaranya berpengaruh secara langsung terhadap omzet penjualan masyarakat dan perusahaan. Lain halnya dengan penerapan kebijakan social distancing, yang mana masih memungkinkan untuk terjadinya perputaran roda ekonomi.
Kendati dalam kondisi ini tetap ada kemungkinan inflasi, namun inflasi itu tidak sebesar bila sampai terjadi lockdown. Akan tetapi, baik social distancing maupun lockdown, keduanya samasama dapat mempengaruhi opini pasar bila dikaitkan dengan faktor resiko persebaran virus. Dengan penerapan social distancing, penyebaran virus dan wabah menular akan membutuhkan waktu yang semakin lama penanganannya oleh pemerintah. Lain halnya dengan kebijakan lockdown secara total, maka langkah penanganan persebaran virus itu menjadi semakin cepat dilakukan oleh pemerintah. Imbasnya, sentimen positif pasar terhadap pasar produksi dan penjualan juga semakin cepat bisa segera bisa di atasi karena tindakan restorasi ekonomi masyarakat menjadi semakin cepat dipulihkan. Jadi, kebijakan pemerintah dalam menerapkan social distancing dan lockdown, adalah sama-sama berpotensi menimbulkan inflasi khususnya dalam mempengaruhi pasar. Potensi ini berbanding lurus dengan langkah penanganan sumber utama wabah penularan penyakit. Ketiga, keterbelahan opini dalam merespons agen penyebar. Indonesia merupakan negara dengan penduduknya yang mayoritas Muslim. Berbagai praktik ibadah dan perayaan momen penting keagamaan yang dilakukan oleh individu seringkali dilakukan dengan melibatkan sejumlah kerumunan banyak orang. Tak urung, berbagai praktik ini kadang mengundang polemik di masyarakat, ditambah sikap para ulama yang beragam dalam memberikan respons terhadap tingkat kedaruratan penanganan wabah virus Corona.
Potensi inflasi saat bulan Ramadhan di tengah pandemi Covid-19 dapat diminimalisir
melalui pengendalian dari sisi ekspektasi. Ekspektasi inflasi merupakan pembentuk inflasi yang bersifat subyektif. Pembentukan inflasi dari sisi ekspektasi dipengaruhi oleh inflasi permintaan yang cenderung persisten di masa lalu. Berbelanja secara bijak mampu mempengaruhi inflasi dari sisi ekspektasi. Belanja bijak secara online dap at dilakukan dengan menghitung konsumsi kebutuhan pokok dan sanitasi secukupnya untuk jangka waktu tertentu, misalnya selama sepekan atau sebulan. Selanjutnya, konsumen dapat membandingkan penawaran antar penjual untuk mendapatkan harga terbaik dan memanfaatkan berbagai promosi serta potongan harga. Dengan berbelanja secara online kebutuhan konsumen dapat terpenuhi sekaligus mematuhi imbauan pemerintah daerah mengenai social distancing. Dengan demikian, perputaran ekonomi dapat terjaga. Dalam menyiasati tantangan potensi inflasi pada puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri
yang biasa muncul setiap tahunnya. Diperlukan peran pedagang untuk tidak melakukan moral hazard dalam mengambil keuntungan berlebihan pada saat kondisi sulit saat ini. Sinergi kolaborasi pentahelix yang melibatkan Pemerintah, pelaku usaha (pedagang/produsen), dan pakarekonomi yang mampu mencerahkan ekspektasi masyarakat perlu dilakukan. Selain itu, peran penting media massa dan masyarakat sebagai konsumen untuk turut serta berkolaborasi mengendalikan inflasi saat Ramadhan dan Idul Fitri. Meski kondisinya memang berbeda saat pandemi covid-19 yang membuat permintaan masyarakat secara umum akan menurun. Dengan demikian akan tercipta suatu kondisi bahwa pada saat Ramadhan dan Idul Fitri, perkembangan harga sejumlah komoditas khususnya pangan cenderung stabil. Namun demikian inflasi tetap harus diwaspadai sampai dengan pandemi covid-19 ini berakhir
Presiden Joko Widodo mengalokasikan beberapa pos keuangan di APBN 2020 sebagai dana
tambahan penanganan penyebaran pandemi virus corona lewat Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang ditanda tangani maret lalu. dengan regulasi tersebut pemerintah akan melakukan penyesuaian besaran belanja wajib sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan serta melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi, antar program di APBN 2020. Selain itu sumber dana tambahan penanganan virus corona juga akan berasal dari penerbitan surat utang , pertumbuhan investasi akan melambat akibat adanya fluktuasi pada perdagangan yang menyebabkan kepercayaan investor menjadi lebih rendah. Namun kendati demikian, ongkos kredit yang lebih murah serta usulan reformasi ekonomi diharapkan bisa mendukung proses pemulihan dalam beberapa waktu ke depan.
Oleh karena itu penangan wabah Covid 19 ini bukan hanya berada ditangan pemerintah
tapi seluruh masyarakat Indonesia sehingga Negara kita dapat terbebas dari wabah ini. Diharapkan kepada masyarakat untuk dapat membatasi pembeliannya yang dapat menekan terjadinya inflasi dimana kita dapat berbelanja sesuai kebutuhan yang dibutuhkan saja pada waktu tertentu sehingga tidak menimbulkan kelangkaan barang yang ada dipasar.
Oleh : Asrul Ashar Alimuddin, SE
Penulis Merupakan Statistisi Pertama BPS Kota Kendari