RUU Minerba yang menjadi polemik, merupakan salah satu diantara banyak permasalahan
di dunia tambang yang booming akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, pertambangan merupakan salah satu sektor primer yang masih sangat diandalkan oleh Indonesia. Kontribusinya dalam PDB masih cukup tinggi. Tercatat pada Triwulan I 2020 mencapai 6,82%.
Namun, kontribusi pada Triwulan I 2020 tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan
kontribusinya selama empat triwulan pada tahun 2019. Artinya, kontribusi sektor
pertambangan terhadap PDB semakin mengalami penurunan. Hal tersebut bisa disebabkan
berbagai alasan. Diantaranya jumlah produksi yang berkurang (penyebab I) dan kurs mata
uang yang anjlok (penyebab II).
Selama pandemi Covid-19, banyak perusahaan tambang yang mengurangi aktivitas
pertambangan. Bahkan ada beberapa perusahaan yang memberikan cuti sementara
(dirumahkan) kepada para buruhnya yang memiliki riwayat penyakit. Hal tersebut dengan
harapan mengurangi terjangkitnya pegawai dari Covid-19.
Dengan berkurangnya aktivitas pertambangan. Sudah dapat dipastikan bahwa produksi juga akan mengalami penurunan, ekspor pun kemungkinan juga akan turun pada bulan depan. Sehingga penyebab I turunnya kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB kemungkinan besar akan berlaku pada triwulan berikutnya.
Anjloknya Ekspor Tambang April 2020
Nilai ekspor Indonesia April 2020 mencapai US$12,19 miliar atau menurun 13,33%
dibanding ekspor Maret 2020 yang mencapai US$14,07 miliar. Anjloknya ekspor Indonesia
pada April 2020 salah satunya disebabkan oleh anjloknya ekspor komoditas tambang.
Tercatat nilai ekspor dari sektor pertambangan pada April sebesar US$ 1,54 miliar. Atau
turun 22,11% dibanding Maret 2020 dan 29,47% dibanding April 2019. Penurunan ekspor
produk pertambangan secara bulanan disebabkan oleh menurunnya ekspor batubara, lignit, bijih tembaga, dan bijih besi.
Ekspor pertambangan minyak mentah pada April 2020 juga turun 100%, artinya memang
tidak ada ekspor minyak mentah pada bulan April 2020. Padahal bulan Maret 2020, ekspor
pertambangan minyak mentah sempat mencatatkan nilai ekspor sebesar US$51,8 juta.
Sedangkan nilai ekspor pertambangan gas mengalami kenaikan 2,15% dibandingkan Maret
2020.
Kemudian dari sisi volume ekspor, pertambangan minyak mentah jelas tidak menyumbang
sama sekali pada April 2020. Sedangkan volume ekspor pertambangan gas hanya
mencapai 1.528,1 ribu ton atau turun 3,11% dari Maret 2020 yang mencapai 1.577,1 ribu
ton. Dari volume ekspor ini, jelas bahwa kenaikan nilai ekspor pertambangan gas
dipengaruhi kurs dollar yang melambung terhadap rupiah.
Dilema Tenaga Kerja Tambang
Badan Pusat Statistik pada Februari 2020 mencatat, bahwa rata-rata upah buruh sektor
pertambangan dan penggalian merupakan upah buruh tertinggi dibandingkan sektor
lapangan usaha yang lain. Rata-rata upah buruh laki-laki mencapai Rp 5.078.571,- dan
rata-rata upah buruh perempuan mencapai Rp 5.625.999,- . Sehingga rata-rata upah buruh pertambangan dan penggalian mencapai Rp 5.099.655.
Rata-rata upah buruh yang tinggi tersebut memang sepadan dengan resiko pekerjaan yang
tinggi pula. Selain itu, dengan jumlah penduduk bekerja di lapangan pekerjaan
pertambangan dan penggalian mencapai 1,34 juta orang per Februari 2020, menjadikan
buruh pertambangan dan penggalian lebih eksklusif. Karena hanya diemban oleh 1,03%
penduduk bekerja.
Namun, sebelum adanya pandemi Covid-19 ini. Jumlah buruh pertambangan dan
penggalian di Indonesia selalu menunjukkan tren jumlah yang menurun tiap tahunnya.
Tercatat pada Februari 2019 jumlahnya mencapai 1,37 juta jiwa dan pada Februari 2018
jumlahnya mencapai 1,38 juta jiwa.
Dengan adanya pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir. Jumlah
tersebut kemungkinan besar diprediksi akan berkurang lagi pada tahun depan. Kebanyakan
dari mereka tidak di-PHK oleh perusahaan, hanya dirumahkan. Karena perusahaan juga
pasti kebingungan untuk menutupi pesangon para buruh jika di-PHK.
Dengan dirumahkannya para buruh, secara otomatis para buruh tidak mendapatkan upah.
Sehingga kebutuhan sehari-hari pun tidak bisa dipenuhi. Hal ini akan mengakibatkan tren
pengangguran naik kembali, setelah tiga tahun sebelumnya mengalami penurunan. Dimana pada Februari 2020 mencapai 4,99%.
Dengan kondisi seperti itu. Tentu buruh tambang mengalami dilema. Kalau masih mau
mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka yang dirumahkan harus mencari pekerjaan
sementara selama pandemi Covid-19. Dan ini yang harus dicarikan solusi bersama.
Saran Kebijakan
Pemerintah pusat tentu tidak diam saja dengan pengangguran yang melonjak di tengah
pandemi. Mereka berupaya melakukan bermacam kebijakan untuk membantu
masyarakatnya yang terdampak Covid-19.
Sebut saja bantuan sembako yang disalurkan melalui Dinas Sosial Kabupaten/Kota
setempat. Hal ini nampaknya cukup menarik untuk dilaksanakan. Tetapi, dari segi frekuensi bantuannya harus berkesinambungan, tidak cukup hanya sekali saja
Karena kita tahu, bahwa buruh tambang yang berhenti bekerja tidak bisa mencukupi
kebutuhan selama mereka belum bekerja dan mendapatkan upah. Kalau bantuan yang
diberikan hanya sekali saja, mungkin bantuan tersebut hanya akan bertahan untuk
mencukupi kebutuhan beberapa hari saja.
Kemudian kebijakan kartu prakerja yang muncul baru-baru ini. Kartu prakerja ini seharusnya juga menyasar ke mereka buruh yang tidak melek teknologi, termasuk para buruh tambang yang mungkin tidak mengetahui cara mengakses kartu prakerja.
Di dalam kartu prakerja, seharusnya juga dipikirkan solusi tercepat agar mereka (buruh
tambang) yang ter-PHK segera mendapatkan pekerjaan dan upah untuk menyambung
hidup. Mengingat jumlah lowongan pekerjaan yang mungkin terbatas. Dalam praktiknya
kebijakan kartu prakerja ini juga bisa menggunakan sistem promosi dan degradasi dalam
mencari tenaga kerja yang unggul.
Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.
Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi
Tenggara.