Covid Mengajarkan Penjarangan

Mohammad Jamil
Mohammad Jamil

Coronavirus Disiase 19 (covid) terus menyerang, ratusan ribu nyawa meregang. Amuknya tak terbendung, dunia menjadi panik. Ribuan dokter bekerja, melayani tanpa lelah. Harapkan kesembuhan pasien, dengan resiko tertular.

Seolah tak mengenal statistic, covid tetap saja mencari korban. Ia mengelana hingga sisi terjauh bumi. Tak satupun negara yang luput dari jangkauannya. Iklim tak membatasinya.
dingin, panas maupun tropis, covid tetap eksis.

Para expert dibuat sibuk-mencari penawarnya. Formulasi kimia hingga herbal pun diracik, guna jinak dan matikan covid. Jikapun ditemukan vaksinya, para ahli menyatakan efektif penggunaan vaksin dalam tempo 12 bulan kedepan (paling cepat tahun 2021), setelah lulus uji coba dalam masa tertentu.

Sembari mencari vaksin, yang bisa dilakukan hanya mencegahnya. Sosial dan psycal
distance menjadi satu pilihan. Semua warga dibuat berjarak, tak boleh rapat. Antrian di
Restoran, Bandara dan area public lainnya dibuat jarak.

Dahulu mereka yang sering berbaur, berkelompok, bekerja bersama dibuat berjarak.
Tak bisa lagi kumpul atau sekadar kongkow. Semua dibuat berjarak, tak boleh berdekatan,
apalagi menggelar rapat.

Kini, kita memasuki triwulan kedua penyebaran covid di Indonesia. Pemerintah mencanangkan “new normal”. Pilihan ini diambil pemerintah. musababnya karena hingga kini tak ditemukan antivirus sebagai penangkal covid.

Dengan new normal, masyarakat Indonesia dipaksa untuk mengingkatkan sistem
imunnya sendiri. Sembari menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Rajin cuci tangan, mulut dibalut masker hingga menjaga jarak. Berdamai dengan covid.

Kehidupan baru yang digaungkan pemerintah juga menitikberatkan pada penjagaan
jarak. Dengan mengatur rentan jarak, penyebaran covid diharapkan tak dapat menjangkau
manusia lainnya. Penularannya dapat diputus.

Penjarangan

Nun jauh sebelumnya, konsep jaga jarak atau psycal dan social distante telah dikenal
dalam menjaga dan merawat ekosistem, khususnya pada tanaman. Metodenya disebut
penjarangan. Tanaman super semisal tectona grandis (pohon jati), vitis (buah anggur), durio zibethinus (buah durian) hingga rosa (bunga mawar) mengalaminya.

Jenis tumbuhan, buah dan bunga dirawat dengan metode penjarangan. Tujuannya
menjaga keseimbangan. Kualitas tumbuhan bersumper pada keseimbangan.

Pohon jati menjadi lurus dengan kayu yang kuat. Anggur berasa manis dengan kulit
yang merakah. Durian menjadi legit, manis dan empuk begitupula bunga mawar dengan
kelopak yang mekar dan warna yang menarik. Kesemuanya didapatkan dengan metode
penjarangan.

Sayangnya penjarangan berarti mengorbankan jenisnya sendiri. Pohon jati ditebang,
agar pohon disebelahnya menjadi lurus dan kuat. Durian dipangkas agar pohon durian lainnya mendapatkan cahaya dan nutrisi yang lebih banyak hingga buahnya menjadi manis dan empuk.

Mawar mengalami hal yang sama, kelopaknya dikanibal agar kelopak yang lain menjadi indah dan semerbak.

Serupa dengan manusia saat ini. Sebagai bagian dari ekosistem dunia yang sudah
semakin padat dan riuh, maka penjarangan menjadi pilihan. Sayangnya alam memilih covid sebagai alat penjarangan. Dus, covid menjadi alat manusia untuk memakan saudaranya sendiri.

Keseimbangan

Di Sulawesi Tenggara, terdapat daerah penghasil jati terbaik. Ialah kabupaten Muna.
Menariknya, para petani penanam Jati, pada usia tertentu kebun-kebun mereka yang telah
ditanami jadi akan dilakukan penebangan. Tujuannya penjarangan. Metode ini disebut tugho.

Tugho berarti menebang pohon jati yang sudah ditanam sebelumnya. Bibit-bibit jati
yang sebelumnya ditanam dengan berjarak sekira 2 (dua) meter dibuat berjarak menjadi sekira 5 (lima) meter.

Tanaman jati yang tumbuh diantara jarak 5 (lima) meter dengan pohon jati lainnya akan
menjadi tumbal penjarangan.Tujuannya agar akses cahaya dan nutrisi bagi pohon jati lebih
berkepastian.

Telah menjadi fitrahnya, pohon-pohon jati akan melakukan persaingan untuk
mendapatkan cahaya, air dan nutrisi. Konsekuensinya, kompetisi itu mengakibatkan
kekerdilan, tumbuk kembang jati menjadi lambat, cenderung tinggi namun kurus serta tidak tegak. Penjarangan menjadi solusi.

Bahkan secara teori, penjarangan Jati dilakukan dengan banyak model. Sekurangnya
ada 6 (enam) pilihan model penjarangan, yakni penjarangan rendah, penjarangan tajuk,
penjarangan seleksi penjarangan mekanis, penjarangan bebas dan penjarangan jumlah batang.

Semua model penjarangan tersebut nyaris mengorbankan dahan, ranting hingga pohon.
Penjarangan berlaku sama dengan bunga mawar. Untuk mendapatkan kualitas yang
maksimal, dengan warna yang mencolok serta kelopak besar, maka sebagian kelopak mawar harus dibuang. Bunga kuncup yang berukuran kecil harus dipotong. Dengan begitu anda akan mendapatkan mawar dengan kualitas sebegai bunga potong terbaik.

Baik Jati, Bunga Mawar yang mengalami penjarangan agar mendapatkan “keseimbangan” bagi dirinya. Keseimbangan nutrisi, keseimbangan cahaya dan keseimbangan udara agar tumbuh kembang menjadi kualitas super.

Penjarangan berarti keseimbangan, dan keseimbangan menjamin tercukupinya secara
proporsional kebutuhan nutrisi, cahaya dan air bagi Jati dan Bunga Mawar untuk sampai pada kata “jati super” dan “bunga mawar yang cantik dan indah”. Penjarangan dilakukan untuk sampai pada titik “keseimbangan”.

Manusia pilihan

Hingga tahun 2018, jumlah populasi manusia yang menghuni bumi mencapai 7,6 miliar, dan diprediksi akan mencapai 8 miliar ditahun 2023. Bahkan, jika tidak terjadi hal yang
terduga akan mencapai 10-12 miliar ditahun 2100 (Andrew D Hwang,2018).

Padahal, jika membandingkan dengan kapasitas bumi 510,1 juta km, hal ini tidak compotiable dengan jumlah penduduk yang mendiami bumi. Bak bom waktu, jika populasi
terus bertambah tanpa ketersediaan ruang yang cukup, maka bumi tinggal menunggu
waktunya, mengalami kepunahan-kiamat.

Wordwatch Institute (sebuah think tank lingkungan) telah mengkalkulasi bahwa
kapasitas bumi mencover kebutuhan manusia yakni 1,9 hektar lahan per-orang untuk
menumbuhkan makanan, tekstil untuk pakaian, memasok kayu dan menyerap limbah.

Data Wordwatch Institute menyatakan bumi hanya dapat menyokong setidaknya
seperlima populasi saat ini yakni 1,5 miliar. Itupun dengan standar hidup orang Amerika, yang rata-ratanya menggunakan 9,7 hektaare.

Bahkan untuk kebutuhan air, data WHO menyatakan 2,1 miliar manusia kekurangan
akses terhadap air minum yang aman dan 4,5 miliar kekurangan sanitasi terkelola. Parahnya, dinegara-negara industri sumber air terkontaminasi oleh patoge, semportan pupuk dan insektisida, logam berat dan limbah yang merusak.

Dengan jumlah penduduk bumi demikian, maka tak heran jika monyet, babi, bahkan
harimau telah masuk ke kota mencari makan. Populasi penduduk yang berlimpah melebihi
kapasitas bumi memaksa hewan berebut sumber makanan dengan manusia.

Tak ada pilihan lain. Populasi penduduk bumi harus terkurangi secara massif, agar alam
menemukan keseimbangannya. Jumlah penduduk wajib dipangkas, untuk menjamin alam
memenuhi kebutuhan mereka.

Mungkin saja, dalam konfisi demikian, covid 19 menjadi alatnya. Meski ekstrim, alam
memilihnya. Ia menjadi solusi jangka pendek, merenggut kehidupan manusia secara massif, menjarangkan populasi untuk menjamin ketersediaan ruang, agar nutrisi, cahaya dan air cukup dan seimbang untuk setiap orangnya.

Sebab, dalam kehidupan normal sebelumnya, manusia bertumbuh dan merengguk
kandungan alam seolah tak terbatas. Keseimbangan ketersediaan sumber daya alam dalam
menopang kebutuhan manusia terkoyak.

Namun kali ini berbeda, dikehidupan new normal, manusia diwajibkan menjaga jarak.
Membuat penjarangan dalam hubungan interaksi sosial. Dan akhirnya, manusia pilihan hanya mampu bertahan atas mereka yang menerapkan penjarangan, sebab penjarangan substansinya adalah membuat jarak-untuk menjamin keseimbangan.

 

Oleh : Mohammad Jamil
Penulis Merupakan ASN Pemda Muna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini