Indonesia Dalam Bayang-Bayang Resesi Ekonomi

Indonesia Dalam Bayang-Bayang Resesi Ekonomi
Asrul Ashar Alimuddin

Pandemi Covid-19 belum berakhir dimana jumlah kasus positif di Negeri ini masih terus bertambah dari hari ke hari. Jumlah pasien terkonfirmasi pertanggal 20 juli 2020 adalah sebanyak 88.214 kasus, dengan jumlah yang sembuh sebanyak 46.977 serta yang meninggal sebanyak 4.239 jiwa. Pemerintah terus mengibarkan bendera perang terhadap virus itu melalui pendekatan kesehatan. Namun tak hanya di satu sisi, Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang bersifat kontingensial untuk mengantisipasi dampak pandemi. Indonesia, seperti banyak negara lain di kawasan, sedang dibayang-bayangi resesi ekonomi. Situasi dapat memburuk bila Indonesia tidak waspada menghadapi pelemahan dan ketidaksbalian perekonomian global. Resesi bisa saja menghantui semua negara, bahkan negara-negara maju sekalipun. Setelah mencatatkan kontraksi kuartalan dua kali berturut-turut, Singapura resmi mengalami resesi teknis, dengan penurunan PDB sebesar 41,2 % dibandingkan kuartal pertama 2020. Sedangkan secara tahunan, PDB kuartal kedua terkontraksi 12,6 %. Dalam kondisi tersebut negara kita berada dalam bayang bayang resesi yang dialami oleh singapura. Secara sederhana resesi ekonomi dapat dipahami sebagai kelesuan ekonomi. Mengutip dari Wikipedia, resesi diartikan sebagai kondisi di mana produk domestik bruto (GDP) mengalami penurunan atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal secara berturut-turut atau lebih dari satu tahun. Sesuai dengan namanya yang berarti kelesuan atau kemerosotan, resesi mengakibatkan penurunan secara simultan pada setiap aktivitas di sektor ekonomi. Sebut saja lapangan kerja, investasi, dan juga keuntungan perusahaan. Terjadinya resesi ekonomi menimbulkan efek domino pada masing-masing kegiatan ekonomi tersebut. Ketika investasi mengalami penurunan, maka tingkat produksi atas produk atau komoditas juga akan menurun. Dampaknya akan terjadi banyak pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Angka pengangguran di Indonesia kembali bertambah, Dalam data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di Indonesia bertambah menjadi 6,88 juta orang pada Februari 2020. Angka ini naik 60.000 orang 0,06 juta orang dibanding periode yang sama tahun lalu. Terjadinya resesi ekonomi sering kali diindikasikan dengan menurunnya harga-harga yang disebut dengan deflasi atau sebaliknya inflasi di mana harga-harga produk atau komoditas dalam negeri mengalami peningkatan secara tajam. Secara lebih lanjut, kondisi tersebut mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada turunnya keuntungan perusahaan.

Bahkan melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, banyak pengamat ekonomi yang memprediksi bahwa Indonesia juga sedang mengarah pada resesi. Nilai impor yang lebih besar dibandingkan ekspor, harga-harga barang komoditas yang semakin mahal, biaya listrik, bahan bakar minyak, dan pajak yang juga tak mau kalah melonjak tajam. Indikator-indikator inilah yang dijadikan sebagai dasar prediksi bahwa Indonesia telah mulai memasuki gerbang resesi ekonomi.

Selain itu, tingkat daya beli masyarakat Indonesia saat ini juga menurun, Hal ini berimbas pada banyaknya perusahaan retail yang mengambil keputusan untuk menutup sejumlah gerainya. Tutupnya beberapa gerai retail yang ada di Indonesia dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat rendah sehingga kegiatan ekonomi menjadi lesu. Akibat lebih lanjut atas penutupan gerai retail yang ada tentu saja tingkat pengangguran semakin tinggi. Meski resesi di Indonesia ini masih sebatas prediksi dan menjadi kontroversi. Pada Kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 2,97 %. Nilai itu mendarat jauh dari target kuartal I yang diharapkan mencapai kisaran 4,5 %. Data ini merupakan gambaran ukuran pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I turun sekitar 2 % dari tahun lalu,sehingga kekahwatiran kita dengan nilai pertumbuhan ekonomi Indonesia padakuartal II berada di posisi negatif. Dampak resesi ekonomi dapat berimbas pada neraca pembayaran dari sisi ekspor maupun impor, serta pengaruh pada pasar saham dan pasar uang. Akan tetapi, dari beberapa dampak yang sudah bisa diidentifikasi, pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan fiskal. Kebijakan tersebut diantaranya yaitu penurunan bea masuk, pemberian subsidi dan menciptakan insentif agar perusahaan atau sektor usahanya tidak terbebani terlalu besar. Sedangkan di bidang moneter keputusan yang diambil Bank Indonesia (BI) yaitu mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 9,5. Hal tersebut dilakukan BI agar dapat mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya menjaga stabilitas moneter.

Di Indonesia, tekanan inflasi mulai mereda, walaupun laju inflasi masih cukup tinggi mencapai 11,77% year on year. Jika tak segera diatasi, resesi akan berlangsung dalam jangka waktu lama sehingga menjadi depresi ekonomi yang bisa berakibat pada kebangkrutan ekonomi atau ekonomi kolaps. Jika ekonomi suatu negara sudah sampai pada tahap ini, maka pemulihan ekonomi akan lebih sulit dilakukan.

Di tengah situasi yang sangat sulit seperti ini, belanja fiskal memang harus menjadi tumpuan untuk menggerakkan permintaan. Investasi ataupun belanja swasta sulit diharapkan mendorong perekonomian karena minimnya faktor permintaan. Oleh karena itu pemerintah secara terbuka mengakui investasi dan kredit perbankan sudah tak bisa lagi diharapkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Saat ini belanja pemerintah merupakan satu-satunya tumpuan untuk mendorong perekonomian. Pemerintah pusat sudah berulang kali mengingatkan pemerintah daerah untuk bekerja luar biasa, karena saat ini Tanah Air tengah menghadapi krisis ekonomi dan kesehatan. Ada beberapa strategi yang dapat diambil untuk mengantisipasi resesi ekonomi diantaranya yang pertama menghilangkan hambatan bisnis untuk investasi lebih besar, Jika Indonesia memperbaiki kerangka regulasi dan tata laksana investasi, akan memberikan sinyal positif bagi investor dan dunia usaha, kedua mereformasi BUMN untuk mendorong investasi, terutama untuk membangun infrastruktur secara massif. Mendorong belanja pemerintah termasuk pencairan gaji ke-13, pada saat ini serapan anggaran pemerintah daerah masih cukup kecil dan masih belum mencapai 50 % dan yang ketiga adalah kebijakan perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara. Tak ada satu pun negara berpendapatan tinggi yang memiliki rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) satu digit. Saat ini rasio pajak Indonesia terhadap PDB masih di bawah 10 %. Peningkatan rasio pajak dibutuhkan karena pemulihan ekonomi berkelanjutan membutuhkan biaya tinggi.

Tentu keseimbangan tidak dapat tercapai jika hanya ditopang dari kebijakan pemerintah. Turut diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan pencegahan penularan Virus Corona tipe baru dalam kegiatan sehari-hari. Kepatuhan terhadap protokol kesehatan dengan menggunakan masker, sering cuci tangan , menjaga jarak serta menghindari kerumunan menjadi teramat penting. Tanpa itu, pembukaan kegiatan ekonomi akan menjadi percuma. Absennya kedisplinan masyarakat juga akan membuat dampak pandemi berkepanjangan dan ancaman resesi ekonomi kian nyata.

 


Oleh : Asrul Ashar Alimuddin
Penulis adalah Statistisi Pertama BPS Kota Kendari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini