Belakangan ini covid menjadi konsen besar bangsa Indonesia karena permasalahan yang terus ditimbulkannya, Ada banyak kerugian yang disebabkan oleh covid-19 yang berdampak bagi Perekonomian Indonesia.
Pembangunan ekonomi sebuah negara pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata. hal ini bertolak belakang dengan keadaan Indonesia pada tahun 1997/1998 dimana krisis yang pada awalnya adalah nilai tukar kemudian berkembang menjadi krisis perbankan, hingga menjalar kepada krisis sosial dan politik yang berakibat besar pada bangsa indonesia.
Tingginya laju inflasi pada waktu itu menyebabkan menurunya daya beli masyarakat, khusus golongan berpendapatan rendah. Hal inilah menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis yang berkepanjangan, selain itu yang menjadi penyebab terjadinya krisis adalah lemahnya sistem perbankan di Indonesia.
Mengenai hal tersebut ada beberapa hal penting dilihat dari perekonomian Indonesia tahun 1997- 2000 pertama, kelompok yang mengatakan bahwa krisis di sebabkan oleh faktor eksternal yaitu perubahan sentimen pasar uang secara cepat yang menimbulkan kepanikan finansial. kelompok yang mengatakan bahwa krisis timbul karena adanya kelemahan struktur didalam perekonomian nasional, dalam sistem keuangan maupun perbankan.menamakan kelompok pertama sebagai internationalists, sedangkan kelompok kedua sebagai fundamentalists, selain itu diidentifikasikan juga kelompok ketiga new fundamentalists yaitu yang melihat pengaturan dan masalah struktur pada sektor finansial sebagai penyebab krisis.
Pada kasus Indonesia merupakan kombinasi dua unsur yang terjadi secara bersamaan, dimana unsur eksternal berupa kepanikan keuangan dan lemahnya ekonomi nasional baik sektor perbankan maupun riil. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dimana ketika gejolak eksternal timbul, perekonomian nasional yang lemah sangat mudah terkena dampak negatif sehingga gejolak yang terjadi dalam waktu yang singkat berubah menjadi krisis ekonomi yang terjadi saat ini yang dirasakan oleh negara kita.
Kondisi perekonomian global pasca pandemi Covid-19 masih menjadi tanda tanya besar banyak pihak. Kekhawatiran akan lambatnya pemulihan ekonomi setelah terpukul telak oleh pandemi masih membayang-bayangi pelaku usaha dan juga pemerintah di berbagai negara.
Persoalan ekonomi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok/pangan, obat obatan, bahan baku obat, bahan baku barang barang produksi yang karena kebutuhan berbagai komoditi pangan jumlah produksi/barang/ jenis bahan makan yang tidak tercover dari produksi dalam negeri, telah menimbulkan beban bagi rakyat, produsen/industri karena untuk memenuhi kebutuhan pangan, bahan baku dengan mengimpor.
Dilain pihak karena kondisi fundamental ekonomi Indonesia mengalami tekanan/pelemahan, yang mengakibatkan terjadi capital flight sebesar Rp.169 Triliun posisi Akhir Maret 2020 di pasar uang/modal, sehingga IHSG mengalami penurunan drastis dari semula dalam level 6.500 an dalam bulan Januari 2020, pertengahan Maret 2020 terkoreksi menjadi dibawah 4.000.
Covid 19 yang telah menyebar keseluruh dunia, termasuk Indonesia terdampak Covid 19 sampai dengan 8 Agustus 2020 sesuai informasi data Gugus Tugas Penanganan Covid 19, telah mencapai jumlah kasus pandemik sebanyak 123.505 kasus positif Covid 19, dari jumlah itu 79.306 pasien sembuh, dan meninggal dunia sebanyak 5.658 orang.
Pemerintah dihadapakan dalam dua hal terkait virus covid 19 ini dimana pemerintah berusaha unuk menekan laju penambahan jumlah pasien positif covid 19 ini yang sudah melampaui jumlah dari negara Perancis dan Italia serta mencoba memulihkan perekonomian yang sedang terpuruk.
Memang sangat sulit untuk melakukan hal tersebut tanpa ada rasa kesadaran dari masyarakat untuk disiplin dalam menjaga protokol kesehatan dengan memakai masker, rajin cuci tangan serta menjaga jarak. Covid 19 diIndonesia sudah memasuki bulan ke enam dimana kondisi perkeonomian dinegeri kita ini sudah dalam kondisi yang waspada, baru saja Badan Pusat Statistik (BPS) Merilis
pertumbuhan ekonomi indonesia untuk kuartal kedua minus hingga 5,32 %. Secara kuartalan, ekonomi terkontraksi 4,19 % dan secara kumulatif terkontraksi 1,26 %. Kontraksi ini lebih dalam dari konsensus pasar maupun ekspektasi pemerintah dan Bank Indonesia di kisaran 4,3 % hingga 4,8 %. Dari data tersebut BPS mengatakan, ekonomi Indonesia berdasarkan PDB triwulan II atas dasar harga berlaku Rp 3.687,7 triliun.
Sementara itu, berdasarkan harga dasar konstan dengan tahun dasar 2010 adalah Rp 2.589,6 triliun. Terkait dengan pandemik Covid 19, pemerintah telah melakukan langkah-langkah penanganan dampak pandemi Covid 19 menyangkut bidang ekonomi, sosial dan kesehatan.
Langkah-langkah tersebut antara lain dengan mengeluarkan paket untuk menghadapi dampak Covid 19 dengan mengeluarkan anggaran terdampak berupa stimulus sebesar Rp.405,1 triliun yang terdiri untuk: program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp.150 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp.110. triliun, bidang Kesehatan sebesar Rp.75.triliun, insentif perpanjakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat Rp.70,1 triliun. Covid 19 telah menimbulkan dampak sosial, ekonomi yang cukup berat di berbagai sektor ekonomi antara lain, di bidang pariwisata, hotel hotel dengan tingkat hunian/Load Factor yang sangat rendah, restoran-restoran, industri/toko souvenir, jasa transportasi mengalami kelesuan. Pabrik – pabrik/ industri mengalami kelesuan usaha, akibatnya banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja karyawan, sehingga pengangguran dan kemiskinan bertambah.
Angka kemiskinan pada per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Dengan posisi ini, persenstase penduduk miskin per Maret 2020 juga ikut naik menjadi 9,78 %. Dibanding Maret 2019 peningkatannya mencapai 1,28 juta orang dari sebelumnya 25,14 juta orang.
Persentase penduduk miskin juga naik 0,37 % poin dari Maret 2019 yang hanya 9,41 %. Terkait dengan program stimulus terdampak Covid 19 sebesar Rp.405,1 triliun, untuk mengcover pengeluaran dana tersebut, yang mengakibatkan defisit APBN 2020 diprediksi akan membengkak dari proyeksi defisit sebesar Rp.307,2triliun atau sekitar 1,76% dari Produk Domestik Bruto.
Dengan membengkaknya pengeluaran negara untuk mengatasi dampak Covid 19 tersebut hampir seluruh negara di dunia mengeluarkan anggaran stimulus ekonomi, atau pengucuran likuiditas oleh Bank Sentral dengan membeli surat berharga/ utang yang diterbitkan oleh perusahaan swasta atau negara.
Dampak ekonomi akibat Covid 19, rantai pasokan barang/jasa terganggu baik untuk barang hasil produksi dalam negeri atau impor, kebutuhan bahan baku, pangan, obat obatan, peralatan medis, alat pelindung diri bagi tim medis mengalami kelangkaan, sehingga harga mengalami kenaikan, termasuk untuk barang impor harga nya mengalami kenaikan karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$.
Akibat pandemik Covid 19, Indonesia pada tahun 2020 membutuhkan dana untuk pembiayaan defisit APBN sebesar Rp.1.439,8 triliun yang terdiri untuk pembiayaan defisit APBN sebesar Rp.852,9 triliun, pembiayaan investasi untuk pemulihan ekonomi sebesar Rp.153,5 triliun, pembayaran hutang jatuh tempo Rp.433,4 triliun.
Dalam memenuhi kebutuhan pangan dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sekitar 1,2% per tahun, maka apabila hanya bertumpu dari produksi dalam negeri, baik untuk kebutuhan pangan/ bahan pangan, produksi/hasil panen dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan/konsumsi, maka dipenuhi dengan impor, misalnya beras, daging, bawang merah, bawang putih, cabe, berbagai jenis buah buahan/hortikultura, bahkan bawang bombai sebagian besar diimpor. Untuk obatobatan Sebagian besar di impor, atau kalau obat-obatan tersebut diproduksi di dalam negeri, bahan baku obat hampir 90% juga diimpor, belum peralatan medis (farmasi & kedokteran) juga diimpor.
Apapun yang dilakukan oleh tim pemulihan ekonomi nasional hanya menjadi ganjalan sampai rasa aman terbangun kembali dan mereka (tenaga kerja) berani keluar dan melakukan kontak fisik. Jika tidak, selama itu roda ekonomi tidak akan berputar dan selama itulah ekonomi ditopang oleh anggaran negara sebelum akhirnya tiba masa upaya itu tidak lagi sanggup menjadi penopang.
Oleh : Erra Septy Vibriane
Penulis Merupakan Pegawai BPS Kota Kendari