Suka tidak suka, wajah demokrasi negeri ini kerap kali dinodai politik transaksional dan pragmatisme. Ia belum bisa entas dan kerap muncul di tiap ajang kontestasi politik elektoral. Ia seolah terawat untuk terus tumbuh dan menjadi noda bagi sistem luhur ini. Pemilih dan para kandidat cum partai politik membangun mutualisme. Sekali dua, penyelenggara terdengar ikut masuk di pusaran ini.
Tapi selalu ada pelangi setelah guyuran hujan. Harapan untuk membangun peradaban demokrasi yang bermartabat salah satunya bisa dititiskan pada generasi baru, mereka yang oleh sistem Pemilu dilabeli sebagai Pemilih Pemula. Anak putih abu-abu hingga mahawasiswa semester awal masuk dalam kategori ini.
Saat Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengalokasikan anggaran yang lumayan besar untuk item kegiatan sosialisasi ke kluster pemilih pemula. Mereka ditemui di ruang belajar sekolah dan kelas-kelas perkuliahan termasuk di lokasi tongkrongan. Ini menunjukan betapa vitalnya pemilih pemula bagi masa depan negeri ini. Sejak dini, mereka mesti mendapat nutrisi informasi soal pemilu dan demokrasi.
Saya lebih suka menyebut pemilih pemula ini sebagai Generasi Z. Istilah ini pertama kali dikenalkan seorang jurnalis Amerika bernama Bruce Horovitz pada tahun 2012 dan makin booming di tahun 2014. Generasi Z dideskripsikan lahir di rentang tahun 1995 sampai 2014. Versi lain menyebut generasi Z ini adalah mereka yang lahir selepas Desember 2000.
Apapun ukuran kelahirannya, generasi ini hadir bersamaan dengan era internet. Mereka mengenal media sosial sebagai jejaring yang menghubungkan satu dengan yang lain. Rata-rata usia mereka saat ini adalah 17-21 tahun atau bahkan ada yang masih 16-an. Bilapun sudah ada yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), mereka setidaknya baru sekali ikut hingar-bingar demokrasi, yakni Pemilu 2019.
Tahun ini, Generasi Z bakal mendapat kesempatan kembali berpartisipasi dalam politik. Hajatan Pilkada di 270 daerah di Indonesia, termasuk tujuh diantaranya di Sultra bakal digelar Desember nanti. KPU wajib memberikan pendidikan pemilih sekaligus mengajak para pemilih pemula ini berpartisipasi, menuju TPS menyalurkan hak suara.
Merujuk data Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri di tahun 2019, potensi pemilih dari generasi Z lumayan besar. Di Sultra, khusus di tujuh daerah yang akan menggelar Pilkada 2020, setidaknya ada 15.035 orang yang dikategorikan pemilih pemula. Mereka ini teridentifikasi berusia 17 tahun saat Pemilu, April 2019 lalu. Ada pula yang sudah menikah tapi belum ber-KTP.
Rinciannya, di Konawe Selatan ada 4859 atau 2,4 persen dari DPT. Di Muna ada 4.067 atau 2,3 persen, di Kolaka Timur ada 1834 atau 2,2 persen. Sementara di Wakatobi itu ada 1692 atau 2,1 persen, di Konut mencapai 1072 pemilih atau 2,5 persen. Kemudian di Buton Utara ada 987 orang atau 2,2 persen dan paling sedikit di Konkep yang hanya 574 orang atau 2,2 dari DPT.
Bagaimana caranya memberi edukasi soal Pilkada 2020? Bagi yang sempat mencoblos di 2019 tentu sudah punya patron awal, dan relatif lebih mudah memahami. Tapi tentu ada yang karena identitas kependudukannya belum terbit saat Pemilu 2019, mereka belum tahu tata cara saat di TPS. Yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa, tentu sulit menemui mereka saat ini karena sekolah dan kampus tengah “diliburkan”.
Generasi Z dipercaya bakal mengubah wajah politik Indonesia dimasa mendatang. Mereka dianggap sebagai digital native angkatan pertama, terutama mereka yang lahir di perkotaan. Konsumsi informasi bisa menjadi kunci memahami partisipasi dan orientasi politik mereka. Media sosial menjadi referensi sekaligus alat partisipasi dalam diskursus publik.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pernah meneliti soal pemilih pemula setingkat SMA di Medan, Jayapura dan Depok. Hasilnya, generasi Z sudah menunjukkan kesadaran berpolitik, ditandai dengan komitmen untuk menghindari praktik kotor jual beli suara, mengikuti isu pemilu di media sosial, serta menganggap bahwa pendidikan politik urgen untuk dilakukan.
Hasil riset Perludem ini memberikan angin segar bagi masa depan demokrasi bermartabat. 10 atau 15 tahun mendatang, generasi Z ini akan mengisi dunia kerja dan melakoni fungsi-fungsi sosial. Merekalah yang kelak meretas demokrasi beradab. Upaya gradual, intensif dan massif melakukan pendidikan pemilih menjadi niscaya dilakukan semua pihak, khususnya KPU, penggiat demokrasi termasuk media massa.
Partisipasi generasi Z ini tidak boleh hanya dimaknai sekadar sebagai objek Pilkada atau sebatas mengajak mereka ke TPS untuk mencoblos. Para belia demokrasi ini mesti menjadi bagian penting dalam setiap tahapan. Edukasi mereka untuk ikut mengawasi, memantau bahkan melibatkan diri dalam tataran praktis semisal menjadi KPPS. Tentu dengan cara anak muda plus lambari dengan pemahaman regulasi.
Keterlibatan dan partisipasi generasi Z ini adalah refleksi dari kedaulatan rakyat. Anak-anak muda ini mesti memiliki pemahaman agar memilih kandidat yang menurut mereka kompeten dan baik termasuk bagaimana berdemokrasi yang bermartabat. Mereka mesti diajarkan untuk menjauhi praktik pragmatisme dan politik transaksional.
Pilkada 2020 menjadi tantangan sekaligus uji kreativitas KPU di Indonesia, khususnya di tujuh daerah di Sultra yang akan menggelar kontestasi lima tahunan tersebut. Di situasi pandemik, menjadi hal sulit untuk berinteraksi fisik dengan para pemilih dari generasi Z. Sekolah dan kampus tak berizin untuk tatap muka.
Lalu formula apa yang bisa dilakukan? Generasi Z adalah kelompok yang lebih terkoneksi dengan dunia maya. Celah inilah yang mestinya dimaksimalkan dalam proses sosialisasi dan pendidikan pemilih di era pandemi. Konten-konten kreatif, unik, menyesuikan prokem anak muda harus diproduksi penyelenggara lalu ditransmisikan di berbagai platform media sosial. Ini bakal lebih efektif dan tentu efisien.
Sebagai catatan, media massa konvensional semisal koran bahkan televisi perlahan sudah ditinggalkan generasi Z. Limpahan informasi lebih banyak mereka peroleh dari media sosial di ponsel pintar mereka. Instagram, Line, youtube hingga berbagai aplikasi kekinian, menjadi sumber informasi utama mereka. Facebook dan twitter bahkan dianggap sudah ketinggalan zaman.
2017 lalu, Tirto.id pernah melakukan riset terkait konsumsi media massa generasi Z. Hasilnya, hanya 14,4 persen yang menjawab televisi. 83,6 persen memperoleh informasi dari internet, dan hanya 1,7 persen yang membaca koran. Itu tiga tahun silam. Bagaimana dengan sekarang?
Akses terhadap internet yang besar sekali itu pun terbagi lagi: 35,2 persen mengakses berita dari media sosial, 26,1 persen dari browser, 14,1 persen dari aplikasi layanan pesan, dan 8,2 persen lewat Youtube atau web streaming. Apabila diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendidikan, porsinya tampak berbeda.
Usia SMA menjadi generasi yang mengakses berita dari media sosial paling besar. Sedangkan mereka yang kuliah mengakses berita lewat media sosial dan browser dengan porsi yang hampir sama. Hanya 5 persen dari usia kuliah mengakses berita lewat televisi. Semakin dewasa generasi ini, semakin mereka meninggalkan koran dan televisi sebagai sumber mengakses berita.
Di Sultra, akses internet memang belum menjangkau seluruh wilayah. Tapi di masa pendidikan dilaksanakan secara daring saat ini, memaksa para pelajar hingga mahasiswa untuk terus bisa berada di areal yang terkoneksi jaringan telekomunikasi. Sosialisasi berbasis digital bakal amat efektif.
Inilah kesempatan penyelenggara untuk menitipkan pesan-pesan Pilkada, menyebarluaskan informasi kepemiluan, mengenalkan siapa saja kandidat, hari pelaksanaan pemungutan suara dan ajakan ke TPS agar target partisipasi pemilih di Pilkada 2020 sebesar 77,5 persen secara nasional bisa terpenuhi. (***)
Oleh : Abdi Mahatma R
Penulis adalah Kordiv Sosdiklih Parmas dan SDM KPU Kabupaten Bombana