Remisi ; Bukan Sekedar Hadiah Biasa

Okki Oktaviandi
Okki Oktaviandi

Sebuah pertanyaan yang krusial tentang pemberian remisi adalah apakah remisi merupakan hak ataukah reward untukseorang pelanggar hukum? Tentu, masih banyak masyarakat yang masih keliru dalam menafsirkan makna akan sebuah pemberian remisi. Asumsi yang mengatakan bahwa remisi adalah sebuah reward adalah sah – sah saja, namun jika remisi diasumsikan sebagai hak untuk seorang pelanggar hukum adalah sebuah pengakuan akan keberadaan hak asasi sebagai sebuah keadilan. Dalam konteks hak asasi manusia, remisi merupakan sebuah pengampunan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpinatau pejabat negaraakan azas perlindungan terhadap hak asasiterhadap warga negaranya. Namun, seiring dengan perkembangannya, remisi menimbulkan multitafsir di berbagai kalangan. Seolah pemberian remisi hanya semata – mata sebuah indikasi kepentingan negara dengan mengesampingkan kepentingan rakyat. Namun, ada pula yang setuju bahwa pemberian remisi adalah bentuk apresiasi negara kepada pelanggar hukum yang dinilai telah sadar dan bertaubat serta memenuhi syarat tertentu sehingga pelanggar hukum tersebut dianggap wajar untuk menerima remisi. Jadi, seperti apakah wujud dari remisi itu?

Istilah remisi pertama kali digelorakan sebagai hadiah negara kepada warga negara dalam rangka merayakan hari kelahiran Ratu Belanda seperti yang tertulis dalam Keputusun Pemerintah Belanda (Gouvernement Besluit)No 23 bijblad  No. 13515 jo. 9 Juli 1841 No.12 dan 26 Januari 1942 No. 22 pada tanggal 10 Agustus 1935.Munculnya remisi adalah sebagai bentuk pengampunan negara berupa pengurangan masa pidana terhadap terpidana. Oleh sebab itu, sejarah membuktikan bahwa keberadaan remisi ini merupakan wujud dari sebuah pengampunan yang kala itu dibungkus dengan istilah hadiah atau reward sehingga hal inilah penyebab munculnya isu kontroversial tentang pemberian remisi.Sayangnya, masih banyak perdebatan yang menimbulkan keresahan di masyarakat tentang apakah remisi yang diberikan adalah murni adalah hadiah semata ataukah remisi merupakan kewajiban negara yang secarareal bertanggung jawab atas seluruh rakyatnya dalam hal ini adalahpengampunan terhadap pelanggar hukum.

Secara eksplisit, tentu hadiah mengisyaratkan sebagai bonus yang diberikan kepada seseorang atas jasa ataupun sebagai imbalan dan balas budi atas kebaikan ataupun faktor lain. Tentu, mengkaji remisi sebagai bonus itu bukanlah sebuah arti yang melekat pada pemaknaan remisi itu sendiri. Sejatinya, pemberian remisi adalah menunjukkan apresiasi negara terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah berhasil menunjukkan perubahan perilaku, memperbaiki kualitas, dan meningkatkan kualitas diri dengan mengembangkan keterampilan untuk dapat hidup mandiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada pemberian remisi 17 Agustus setahun yang lalu.

Pemaknaan remisi seharusnya kental dengan perbaikan kualitas hidup bagi narapidana yang telah tersesat sehingga menyadari perbuatannya dan kembali menata hidupnya bersama masyarakat. Remisi tentunya diberikan hanyalah untuk mendorong perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat yang tersandung hukum pidana bukan kepentingan politis maupun kepentingan seorang pemimpin. Seperti halnya yang marak saat ini bahwasannya negara terkesan memberikan kewenangan yang berlebihan dalam tanda kutip bahwa kekuasaan pemberian remisi mutlak adalah di tangan penguasa khususnya bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang secara administratif maupun subtantif bertanggung jawab secara penuh dalam pemberian remisi terhadap seorang pelanggar hukum. Meskipun sebenarnya bahwa kewenangan tersebut telah dituangkan dalam Undang – Undang maupun Peraturan Pemerintah. Namun, sering kali kewenangan tersebut diartikan sebagai kekuasaan yang absolut (Machstaat) sehingga negara identik dengan kewenangan yang mutlak atau superpower. Mestinya, sebelum menafsirkan tentang kewenangan tersebut, kita perlu memahami secara mendalam tentang pemaknaan kewenangan negara dalam hal ini pemberian remisi yang sebenarnya.

Dalam kandunganbatang tubuh Undang – Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum atau negara yang mengadopsi azas hukum (Rechstaat) bukan Machstaat. Oleh sebab itu, tentunya dalam pengambilan keputusan dalam hal ini pemberian remisi adalah mutlak dengan berdasar pada  pertimbangan hukum bukan sekedar hadiah biasa. Hal ini yang perlu kita pahami bahwasannya negara tentu tidak berlaku sewenang – wenang dalam mengambil kebijakan hukum terkait pemberian remisi. Negara dalam melaksanakan kewenangan tersebut tentu berdasarkan atas pertimbangan Undang – Undang maupun Peraturan Pemerintah.

Di dalam Undang – Undang No.12 Tahun 1995 pasal 14tertuang secara jelas bahwa pemberian remisi merupakan sebuah hak bagi warga binaan pemasyarakatan dengan sebuah syarat serta mekanisme khusus yang harus dipenuhi oleh warga binaan pemasyarakatan. Penekanan dalam aturan Undang – Undang ini adalah adanya ketentuan bagi warga binaan pemasyarakatan untuk memenuhi syarat dan mekanisme terlebih dahulu, kemudian bisa memperoleh remisi sebagai rewardsesuai dengan besaran yang ditetapkan oleh aturan Undang – Undang. Jadi, bisa dikatakan bahwa pemberian remisi adalah hadiah yang bersyarat, yang berarti bahwa ketika syarat tersebut di abaikan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan maka dapat dipastikan bahwa negara dapat mengambil secara paksa remisi yang telah di berikan. Oleh sebab itu, bukanlah hal yang mustahil bahwasanya peran negara dalam melakukan pengendalian serta evaluasi dalam pemberian remisi dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah mutlak adanya. Namun, mengapa banyak masyarakat yang masih meragukan statement tersebut?

Menelisik pada aturan yang dijabarkan di Permenkumham No. 3 Tahun 2018 tentang tata cara dan syarat pemberian hak pada warga binaan pemasyarakatan mencakup beberapa aspek salah satunya adalah persyaratan administratif yakni tentang masa pidana yang telah dijalani oleh warga binaan pemasyarakatan. Selain aspek administratif, warga binaan pemasyarakatan juga harus memenuhi aspek subtantif yang berkaitan dengan pola perilaku narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Tidak cukup sampai kedua aspek tersebut, pemberian remisi kepada warga binaan pemasyarakatan juga melewati mekanisme yang rumit dan beberapa tahap persidangan oleh Tim Evaluator yang meliputiTim Wali Pemasyarakatan dan Tim Pembimbing Kemasyarakatan. Kedua tim tersebut tentu berkolaborasi untuk melakukan evaluasi terhadap aspek subtantif terhadap warga binaan pemasyarakatan selama menjalani pidana dan memberikan rekomendasi terkait kelayakan dalam pemberian hak khususnya dalam pemberian remisi.

Jadi, dapat dipastikan bahwa pemberian remisi kepada warga binaan pemasyarakatan yakni bukanlah sebuah hadiah biasa yang diberikan secaracuma – cuma atau gratis tanpa persyaratan tertentu, namun perlu dipahami secara mendalam bahwasannya pemberian remisi mengandung makna yang tersirat akan peran penting sebuah institusi negara dalam mendorong perbaikan kualitas hidup bagi warga negaranya khususnya bagi warga negara yang kehilangan kebebasan bergerak.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk almamater dan organisasi saya tercinta, Politeknik Ilmu Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam memperingati Hari Ulang Tahunyang ke-75Republik Indonesia. Melalui tulisan ini, saya berharap bahwasannya kita semua memahami akan pemaknaan pemberian remisi yang sebenarnya dan melalui momentum 17 Agustus ini adalah sebuah momentum dimana rasa kesatuan dan persatuan itu dibumikan.

 

Selamat Hari Ulang Tahun yang ke-75 Republik Indonesia

 

Indonesia maju

Oleh : Okki Oktaviandi
Penulis Merupakan Asn Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum Dan Ham Ri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini