ZONASULTRA.COM, KENDARI– Matahari baru saja beranjak naik menerangi halaman rumahnya yang bercat biru. Sebuah rumah panggung konstruksi kayu tegak sendiri di antara beton-beton dan semak belukar, Lorong Belibis 3, Kelurahan Kambu, Kota Kendari.
Di pagi yang cerah itu, tepat pukul 08.00 Wita, Sabtu 15 Agustus 2020, Nurhayati (54) telah duduk di teras depan rumah itu, bersiap untuk mengajar siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) BF Mandara Kendari (swasta).
Dengan smartphone layar sentuh di tangan, ia duduk di kursi plastik dan membuka buku pelajaran yang ada di meja. Lewat rangkaian kata di papan ponsel pintar itu, ia menyapa siswanya dan memulai pembelajaran. Pagi itu yang siap belajar hanya dua siswa, Novriyanti dan Nurjanah.
“Pagi nak, iya hari ini kita mulai belajar online jadi siapkan dirimu untuk menerima tugas dari bu guru dan usahakan setor tugas tepat waktu dan seperti biasa dokumentasi gambar maupun video harus ada di setiap tugas, usahakan juga gambar bersama keluargamu ketika kamu dibantu dalam pembelajaran ya,” tulis Nurhayati lewat chat pribadi dua siswanya itu.
Pesan itu kemudian dibacakan oleh pendamping siswa di rumah masing-masing. Pembelajaran berlanjut dengan instruksi Nurhayati, mulai dari membaca wacana, sampai menjawab soal-soal. Kadang jawaban soal dikumpulkan sore hari.
Di sela-sela pembelajaran itu, siswa mengirimkan rekaman video yang berisi jawaban soal bila diminta menjawab secara lisan. Ada pula video saat siswa menulis menggunakan reglet mini (alat pencetak tulisan timbul braille).
Proses pembelajaran yang demikian berlangsung setiap hari dari Senin sampai Sabtu. Dengan segala kendala yang ada, ibu yang biasa disapa Nur ini terus mengajar seperti itu. Namun ada juga yang sangat sulit baginya. Misalnya ada salah satu siswanya yang merupakan penyandang disabilitas rungu wicara.
Untuk satu siswanya ini, Nur tetap mengupayakan agar ada proses belajar mengajar. Ia berkomunikasi dengan pihak keluarga untuk menemukan cara yang tepat. Terhadap anak ini, soal dan materi pelajaran akhirnya bisa diberikan secara daring, hanya saja penyelesaian soal bisa memakan waktu sampai tiga hari.
Dari enam siswa penyandang disabilitas netra yang ditanganinya, memang hanya dua yang tiap hari siap belajar secara daring, Novriyanti jenjang SDLB kelas 5 dan Nurjanah jenjang SMALB kelas 12. Empat orang lainnya, tidak menentu karena kendala-kendala, di antaranya kesiapan pendamping belajar di rumah.
Sejak Maret 2020 awal pandemi Covid-19, Nurhayati sudah tak bisa bertatap muka mengajari siswa-siswanya. Dia dihadapkan pada siswa berkebutuhan khusus, sementara metode pembelajaran yang ada, hanya lewat online.
Ia dan siswanya pun bisa beradaptasi sehingga pandemi tidak begitu menjadi penghalang. Proses pembelajaran itu bisa dikondisikan meskipun tidak seefektif bila bertemu di kelas dan tidak semuanya dapat diajar. Padahal, bila di kelas, keenam siswanya itu bisa aktif menerima pelajaran.
Apalagi, pembelajaran daring memang tidak ada dalam kurikulum. Jadi, Nur yang sudah 12 tahun mengajar di SLB BF Mandara ini berkreasi sendiri, dengan tetap mengacu pada kurikulum yang ada disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan belajar peserta didik.
Namun, khusus siswa SLB tidak cocok dengan pembelajaran daring sebab mereka butuh sentuhan langsung. Biasanya, agar pembelajaran efektif, guru perlu memberi banyak motivasi.
“Siswa saya itu yang satu namanya Adrian (disabilitas netra jenjang SDLB), kalau saya memberikan pembelajaran harus saya pegang tangannya, dia kurang fokus karena ada autisnya juga. Setiap saya membaca saya harus ayun-ayunkan tangannya,” ucap Nur saat berbincang dengan penulis.
Nur melaporkan segala aktivitas pembelajaran daring ini ke sekolahnya setiap bulan. Ia merangkum semua proses pembelajaran dalam format laporan yang sudah disediakan kemudian disetor secara daring.
Tiga hari setelahnya, penulis berkesempatan berbincang dengan salah satu siswanya, Novriyanti yang akrab disapa Novi, di Kelurahan Kadia.
Tepat pukul 08.00 pagi pada Selasa, 18 Agustus 2020, Novi sudah duduk di teras belakang rumah neneknya, didampingi sepupunya bernama Della (17). Pagi itu Nurhayati baru saja mengirimkan tugas yang harus dikerjakan.
Pada masa pandemi ini, Della kebetulan baru saja menyelesaikan pendidikan SMA dan punya banyak waktu luang di rumah. Della pun yang setiap hari mendampingi Novi belajar sejak Maret lalu, awal pandemi.
Nurhayati mengirimkan materi belajar, lalu dibacakan oleh Della. Novi yang duduk di sampingnya dengan cekatan menuliskan setiap kata ke kertas belajarnya dengan menggunakan reglet.
Tanpa pendamping seperti Della, Novi tak bisa belajar.Matanya masuk kategori low vision (turunnya fungsi penglihatan secara permanen). Novi bisa melihat, hanya kurang jelas, misalnya kalau melihat huruf di smartphone ia harus mendekatkan layar dengan pencerahan yang maksimal. Kondisi ini dialaminya sejak lahir.
Untuk belajar secara daring itu, Novi mengandalkan ponsel bekas pemberian keluarga dan paket data Telkomsel yang berisi 15 GB per bulan seharga Rp75 ribu.
Dibanding bila datang ke sekolah, anggaran yang dikeluarkan bisa lebih besar. Neneknya yang selama ini menanggung biaya pendidikannya, membiayai per bulan Rp450 ribu yaitu untuk ongkos antar jemput Rp350 ribu dan uang komite Rp100 ribu. Selama tak masuk sekolah, tak ada lagi untuk biaya seperti itu.
Namun demikian, Novi mengaku lebih senang bila belajar langsung di sekolah. Ia yang memang semangat belajar bisa lebih jelas menyerap materi yang diajarkan. Selain itu, di sekolah dia bisa langsung belajar dari buku bertuliskan braille, sementara di rumahnya tidak ada buku seperti itu.
“Ingin jadi guru tunanetra,” jawab Novi pendek, ketika ditanya mengapa semangat belajar.
Ibunda Novi, Ratih (32) melihat anaknya itu selama tak masuk sekolah ini dapat belajar dengan lancar. Hanya saja, bila di rumah seperti itu suasananya ribut apalagi bila diganggui oleh adiknya yang masih kecil, padahal Novi butuh ketenangan belajar.
Ratih biasanya hanya mempercayakan ponakannya untuk mendampingi Novi belajar. Ratih sendiri harus mengurusi anaknya yang masih menyusui.
“Kelewat semangat dia kalau belajar. Kalau sudah bunyi handphone-nya dari gurunya itu dia cepat-cepat belajar,” ucap Ratih, yang selama pandemi ini datang menginap di rumah orang tuanya, Nely (60).
Ratih tak begitu tahu banyak perkembangan Novi yang sudah pandai menulis dan membaca. Sebab selama ini Novi memang tidak bersama ibunya itu, sejak kecil ia sudah tinggal dengan neneknya. Sang nenek inilah yang membesarkan Novi dan membiayai sekolahnya.
Nely terus mengupayakan agar cucunya itu terus sekolah, meski suaminya sudah mengingatkan bahwa bila sudah tidak mampu membiayai agar Novi berhenti saja sekolah. Nely yang hanya ibu rumah tangga biasa ini tetap mendukung sekolah Novi karena melihat keinginan yang besar sang cucu.
Nely menyabut sebelum pandemi pengeluarannya per bulan adalah membayar uang komite dan ongkos ojek untuk pendidikan cucunya itu. “Sekarang (saat pandemi) hanya beli paket data saja,” ujar Nely.
Soal apakah ada bantuan dari pemerintah, baik Novi maupun neneknya itu tidak mendapatkannya. Mereka juga tak terlalu berharap meski di tengah kondisi yang pas-pasan di masa pandemi ini.
*SLB di Masa Pandemi
Dibanding sekolah umum, siswa di SLB yang paling merasakan sulitnya bila tidak belajar tatap muka di ruang kelas. Pihak sekolah pun, hanya bisa mempercayakan guru-guru untuk berkreativitas agar siswa bisa tetap belajar.
Misalnya di SLB BF Mandara, sekolah Novi. Sekolah ini melayani 5 jenis ketunaan yaitu tunanetra (buta), tunarungu (bisu tuli), tunagrahita, tunadaksa, dan autis. Jenjang pendidikan yang ada mulai dari SDLB, SMPLB, dan SMALB dengan total jumlah 130 peserta didik.
Proses belajar mengajar tatap muka di SLB BF Mandara terakhir kali pada 14 Maret 2020 lalu. Setelah itu ada instruksi gubernur untuk melakukan pembelajaran secara daring akibat pandemi.
Untuk memulai pembelajaran daring itu, guru terlebih dahulu harus berkoordinasi dengan masing-masing orang tua siswa. Peran orang tua sangat dibutuhkan sebagai penghubung dan pendamping belajar siswa di rumah.
Kepala SLB BF Mandara Kendari, Sunanto Wibowo mengatakan kendala pembelajaran daring antara lain terkait ketersediaan sarana prasara komunikasi sosialnya, seperti perangkat ponsel pintar. Kendati demikian ia tetap mendukung pembelajaran daring dengan menyiapkan akses internet di sekolah. ”Jika dari rumah saya siapkan paket datanya,” ucapnya.
Kendala lainnya adalah kadang orang tua yang dihubungi tidak merespon, dan ada juga ada yang lama merespon. Dengan adanya berbagai masalah itu, tidak semua siswa ikut pembelajaran daring.
Oleh karena itu, sejak 13 Juli 2020 (awal tahun ajaran baru 2020/2021) ini beberapa guru sudah mencoba pembelajaran luar jaringan (luring) dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan Covid-19. Pembelajaran luring ini dikhususkan bagi siswa yang tidak bisa belajar daring.
Sejauh ini, kata Sunanto, yang diterima dari pemerintah provinsi adalah alat cuci tangan, pamflet, dan leaflet, tapi alat pelindung seperti masker tidak ada. SLB BF Mandara yang merupakan sekolah swasta banyak mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), di antaranya untuk paket data dan telepon para guru.
Terkait pembayaran komite, Sunanto mengatakan itu merupakan sumbangan sukarela. Khusus selama pandemi ini, siswa dibebaskan dari sumbangan tersebut.
*Pandemi Mengganggu Dunia Pendidikan
Pandemi Covid-19 di Sulawesi Tenggara (Sultra) dirasa sangat mengganggu dunia pendidikan. Pengamat Pendidikan, Prof. Abdullah Alhadza mengungkapkan terjadi proses pendidikan yang tidak normal dan tidak maksimal dari segi hasilnya.
Menurut dia, pembelajaran tatap muka di kelas yang diganti dengan jarak jauh secara daring, hasilnya sangat tidak efektif. Selain itu, juga berdampak secara psikologis bagi anak. Dari sisi anak itu sendiri, tidak hanya butuh belajar tetapi juga butuh bersosialisasi dengan teman sebayanya, dan dengan masyarakat luas.
“Ini ketika dia harus diisolasi dengan pembelajaran daring, selain menimbulkan kejenuhan psikologis, juga tidak bisa dia menangkap pelajaran yang sama efektifnya ketika ada tatap muka,” ucap Abdullah yang juga Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Sultra, Kamis 20 Agustus 2020.
Pembelajaran daring juga menambah berat beban orang tua yang selama ini sudah menyerahkan anaknya untuk dididik dan diajar di sekolah. Orang tua jadi mendapat tugas tambahan.
Kata dia, mengajar dan mendidik anak di rumah bukanlah persoalan sederhana bagi orang tua, apalagi bagi yang tidak punya latar belakang sebagai pendidik. Guru saja yang memang menggeluti profesi mendidik, bila disuruh mengajar anaknya sendiri jauh lebih berat dibanding mengajar anak orang lain.
Kemudian, lanjutnya, yang paling terdampak juga dari adanya pandemi adalah anak berkebutuhan khusus. Masalah berat yang timbul adalah terganggunya proses belajar.
“Untuk pengasuhan mungkin tak jadi masalah, tapi untuk pembentukan kecerdasan dan keterampilan ini tak bisa dilakukan orang tua,” ujarnya.
Salah satu solusi dari permasalahan saat ini adalah menyederhanakan kurikulum. Apa yang dilakukan Kemendikbud saat ini dengan merumuskan kurikulum pembelajaran jarak jauh dinilai sudah tepat. Sebab kata dia, kurikulum normal memang tidak efektif lagi.
Abdullah mengatakan yang perlu dipikirkan dalam rumusan kurikulum darurat itu adalah ada sejumlah mata pelajaran yang bisa jarak jauh tapi ada juga yang mesti tatap muka. Misalnya matematika, fisika, biologi harus pembelajaran tatap muka, di mana anak harus dituntun oleh guru.
Abdullah melihat sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah tapi tetap kewalahan. Oleh karena itu, semua harus saling berbagi tanggung jawab, tidak hanya mengharapkan pemerintah.
Selama masa pandemi ini yang diperlukan adalah distribusi tanggung jawab mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga lembaga-lembaga kemasyarakatan/keagamaan. Abdullah memastikan bila semua menyadari hal ini maka kenerja gotong royong akan lebih efektif dalam mengatasi masalah yang dihadapi bangsa, khususnya untuk anak didik. (*)