ZONASULTRA.COM, KENDARI – Salah satu masalah pembelajaran dalam jaringan (daring), adalah masalah ekonomi. Ini terjadi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kusuma Bangsa Kendari karena siswanya tak bisa belajar secara daring. Siswa di sekolah swasta yang berdiri tahun 2014 ini rata-rata tergolong tak mampu secara ekonomi dan tidak mempunyai perangkat ponsel pintar.
Sekolah ini terletak di pinggir kota, jauh masuk ke tepi perkampungan, di ujung Lorong Jambu, Kelurahan Anggoeya, Kecamatan Poasia. Jaraknya sekitar 2,5 kilometer dari jalan besar. Di sekitar bangunan sekolah ini masih hutan, pepohonan tampak sejauh mata memandang.
Jalan menuju sekolah ini pun belum sepenuhnya teraspal. Di dalam sekolah terdapat tiga bangunan yaitu satu bangunan permanen, satu bangunan darurat berdinding anyaman bambu, dan ada rumah singgah berdinding papan.
SLB ini menyelenggarakan SDLB, SMPLB, dan SMALB untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Hingga kini, siswanya sudah berjumlah 35 orang yang terdiri dari 26 siswa SDLB, 7 siswa SMPLB, dan 2 siswa jenjang SMALB.
Sejak Maret 2020, awal pandemi Covid-19, sekolah ini tampak sepi. Pada Rabu 26 Agustus 2020 lalu, di sekolah itu hanya ada Ninis Sudarwati selaku Kepala SLB.
Selama masa pandemi ini Ninis menetap di rumah singgah, selain untuk menjaga sekolah, juga ada satu siswa disabilitas grahita (kategori sedang) di dekat sekolah yang tiap hari datang belajar sendiri. Siswa kelas 2 SDLB inilah yang diajari oleh Ninis.
Ninis mengaku pada awal pandemi sempat kebingungan dengan apa yang mesti dibuat karena instruksi untuk belajar di rumah secara daring tidak dapat dilakukan.
Akhirnya ketika memasuki tahun ajaran baru pada 13 Juli 2020, pembelajaran dilakukan secara tatap muka di rumah guru. Pembelajaran dengan cara ini adalah satu-satunya jalan sebab tidak bisa dilakukan pembelajaran online, mengingat fasilitas yang terbatas dan kemampuan siswa yang tidak mampu secara ekonomi.
Caranya, guru mendatangi siswa dan siswa mendatangi guru. Ini merupakan pembelajaran luar jaringan (luring) yang dibolehkan oleh pemerintah.
“Kalau online itu kita susah, tidak mengerti itu anak-anak, mereka miskin. Kita juga setengah mati kalau mau mengadakan HP android,” ujar Ninis, yang tugas pokoknya adalah sebagai guru PNS di SD 97 Kendari.
Tantangan lainnya, tidak semua guru yang berjumlah delapan (termasuk kepala sekolah) aktif mengajar. Hanya tiga orang yakni Ninis sendiri, Yanggi, dan Jamila yang melakukan pembelajaran.
Guru lainnya tidak mengajar sebab untuk melakukan pembelajaran tatap muka, selain khawatir tertular Covid-19, juga ada siswa yang tinggal di lingkungan pemabuk. Hal seperti ini membuat guru enggan berhubungan langsung dengan siswa.
Terkait pembelajaran yang sudah berjalan, menurut Ninis bila guru mendatangi rumah siswa, pembelajaran tidak maksimal dan tidak fokus. Sebab orang tua jadi kerepotan menyiapkan tempat belajar, belum lagi kegiatan orang tua di rumah juga jadi terganggu. Akhirnya saat ini kegiatan pembelajaran banyak di rumah guru. Orang tua pun merespon baik dengan mengantar jemput anaknya.
Ninis memastikan dengan kondisi seperti itu, tujuan kurikulum yang dicapai paling tinggi 75 persen. Menurut dia kurikulum tidak perlu diganti, yang penting adalah bagaimana guru mencari cara agar anak-anak tetap belajar sesuai kurikulum.
Terkait pembayaran, pihak SLB Kusuma Bangsa tidak mengambil pungutan terhadap siswanya. Segala keperluan siswa digratiskan. Ini untuk menjaga agar siswa-siswa itu tetap dapat bersekolah.
“Sudah diantar jemput saja kadang masih ogah-ogah, apalagi disuruh membayar tambah orang tua tidak mau kasi sekolah,” ucap Ninis.
SLB ini hanya memaksimalkan bantuan dana dari pemerintah, seperti dana bantuan operasional sekolah (BOS). Dana BOS inilah yang digunakan untuk membayar honor para guru, sewa mikrolet para siswa, kegiatan belajar seperti Jumat Bertakwa, program Sabtu Sehat, penyediaan alat buku tulis, dan untuk keperluan lainnya.
Namun, selama pandemi ini banyak kegiatan terhenti dan ada guru yang tidak mengajar, maka penggunaan anggaran BOS dialihkan. Kata Ninis, anggaran kini digunakan untuk program pembelajaran luring, honor guru yang masih tetap mengajar, dan keperluan penanganan Covid-19 dalam proses pembelajaran luring.
Kegiatan di SLB Kusuma Bangsa yang juga terhenti, misalnya kegiatan nonakademik berupa menganyam, membatik, membuat bunga, dan menjahit. Padahal kata Ninis, kegiatan nonakademik ini sangat penting bagi anak berkebutuhan khusus untuk masa depannya.
Salah satu guru yang melakukan pembelajaran di rumahnya adalah Yanggi Yaddi (26). Di tempat tinggalnya, Kompleks Perumnas Poasia, ibu ini mengajar siswanya. Pembelajaran dilakukan di ruang tengah rumahnya untuk dua siswa tiap hari dari pukul 08.00 sampai 10.00.
Hari itu, Rabu 26 Agustus 2020, siswanya yang datang belajar hanya satu orang sedangkan satunya lagi tidak datang. Wingsa (12) yang duduk di kelas 2 SMPLB datang dengan menggunakan seragam lengkap dan memakai masker. Wingsa adalah penyandang disabilitas rungu wicara yang masih memiliki kemampuan mendengar meski terbatas.
Wingsa belajar mulai dari menulis hingga menghitung dengan menggunakan alat pembelajaran dari sekolah yang sengaja dibawa pulang ke rumah itu. Ketika memberi materi pelajaran, Yanggi tampak mengarahkan Wingsa dengan bahasa isyarat dan sesekali dengan suara keras.
Selain Wingsa, selama pandemi ini, Yanggi juga menangani tiga siswa lainnya penyandang tunagrahita. Mereka adalah Yusnin jenjang SMPLB kelas 2, Fadel SDLB kelas 3, dan Regina kelas 3 SDLB. Keempat siswa inilah yang bergiliran datang belajar di kediaman Yanggi.
“Kadang juga satu hari, nda ada yang datang. Kalau sudah tiga hari nda datang, kita ke rumahnya lagi. ‘Kenapa tidak sekolah?’ katanya ‘lupa’,”ucap Yanggi yang merupakan sarjana pendidikan penjaskes.
Di SLB Kusuma Bangsa, Yanggi khusus menangani anak autis, dan kadang juga menangani tunarungu. Namun selama masa pandemi ini, dia juga sampai menangani tunagrahita karena beberapa tenaga pengajar tidak aktif selama pandemi.
SLB di Sulawesi Tenggara
Sekolah luar biasa (SLB) sebelumnya ditangani pemerintah kabupaten/kota. Kini, SLB dari tingkat SD hingga SMA masuk dalam lingkup kewenangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Jumlah SLB di Sultra ada 73 sekolah yang terdiri dari 17 sekolah negeri dan 56 swasta. Jumlah guru mencapai 610 sedangkan jumlah siswa SLB dari semua jenjang 2.558.
Sekolah-sekolah ini tersebar di 15 kabupaten/kota. Dua kabupaten yang belum memiliki SLB adalah Kabupaten Buton Selatan (Busel) dan Kolaka Utara (Kolut).
Kepala Bidang (Kabid) SMK Dikbud Sultra Anggraini Balaka, menjelaskan selama pandemi Covid-19 pembelajaran yang dilakukan adalah daring dan luring. Pembelajaran daring ini tidak semua siswa SLB dapat diterapkan, misalnya pada siswa yang tunanetra. Sedangkan pembelajaran luring dilakukan dengan jalan guru mendatangi siswanya.
“Luringnya itu. Kadang mereka dikumpul tiga orang, lalu gurunya datang melakukan pembelajaran ke rumahnya dengan tetap memakai protokol kesehatan,” ucap Anggraini, Kamis 27 Agustus 2020.
Perkembangan terbaru, Dikbud Sultra telah menurunkan surat ke sekolah-sekolah bahwa untuk daerah yang masuk zona hijau dan kuning Covid-19 boleh melakukan proses pembelajaran tatap muka di kelas dengan menggunakan protokol kesehatan yang sangat ketat dan menggunakan sistem sif.
“Jadi kita tidak ada perlakuan khusus. Semua sama, SMA, SMK, dan SLB,” kata Anggraini terkait kebijakan Dikbud terhadap sekolah selama pandemi.
Selain itu, untuk melakukan proses pembelajaran tatap muka di kelas juga mesti ada izin dari pemerintah daerah setempat, orang tua, dan komite sekolah.
Pembelajaran dilakukan dengan kurikulum yang sudah ada sebelum adanya pandemi, tetapi tidak dituntut harus tuntas. Kata dia, semua SLB masih jalan dengan kurikulum yang berlaku sekarang dan belum ada perubahan.
Anggraini menyebut perhatian Pemprov Sultra melalui Dikbud adalah dalam bentuk bantuan yang disalurkan ke SLB, misalnya alat cuci tangan, pembagian masker. Jenis bantuan ini sudah diserahkan ke sekolah-sekolah.
Selain itu, yang masih sementara dalam proses pencairan adalah bantuan uang tunai untuk pembelian paket data sebesar Rp195 ribu untuk masing-masing siswa sedangkan bagi guru honorer diberi bantuan Rp1 juta per orang.
Terkait program bantuan ini, Kepala SLB Kusuma Bangsa Ninis Sudarwati mengaku siswa-siswanya sudah dipastikan dapat bantuan Rp195 ribu tersebut, hanya belum ada petunjuk bagaimana mencairkannya. Namun untuk bantuan uang tunai guru honorer tidak ada sama sekali.
“Yang dapat hanya operator dapodik (data pokok pendidikan) sekolah kami, tapi untuk guru kami yang honor itu tidak ada,” ujar Ninis, Minggu 6 September 2020.
Senada dengan Ninis, Kepala SLB BF Mandara Kendari Sunanto Wibowo mengatakan guru honorer di sekolahnya juga tak mendapat bantuan dari Dikbud Provinsi Sultra, yang ada hanya bantuan tunai untuk operator dapodik sebesar Rp800 ribu.
“Sedangkan untuk siswa sejumlah 195 ribu rupiah mereka mendapatkan dana tersebut, yang masih dalam proses pencairan,” ucap Sunanto.
Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Perencanaan dan Anggaran Dikbud Sultra La Ode Fasikin menjelaskan bantuan untuk guru honorer memang hanya diperuntukan bagi sekolah negeri. Para honorer ini di-SK-kan oleh gubernur sehingga menjadi dasar pemberian bantuan tunai.
Dana itu diambil dari belanja tidak terduga (BTT) anggaran penanganan Covid-19 di Dikbud Sultra yang mencapai Rp22,3 miliar. Bantuan dalam sekali pencairan itu, rinciannya untuk masing-masing penerima adalah guru tidak tetap atau guru honorer Rp1 juta, tenaga operator dapodik Rp800 ribu, siswa miskin Rp1 juta, dan siswa terdampak Covid-19 Rp195 ribu.
“Sekarang sudah mulai dilakukan pencairan melalui Bank BPD Sultra,” kata Fasikin melalui WhatsApp, Minggu 6 September 2020.
Penerapan Program Inklusi
Selain masuk di SLB, anak berkebutuhan khusus juga ada di sekolah umum. Pemerintah telah mencanangkan program inklusi melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Meski sudah ada sejak tahun 2009, namun pemerintah daerah tidak langsung menerapkannya. Salah satunya di Kota Kendari yang baru memaksimalkan program inklusi pada tahun 2019. Jadi sebelum itu, anak berkebutuhan khusus diperlakukan sama dengan siswa normal lainnya bila masuk di sekolah umum.
Kini dengan penerapan program inklusi, anak berkebutuhan khusus mendapat sejumlah kekhususan, misalnya tidak tinggal kelas asal rajin, standar penilaian berbeda dengan siswa normal, guru yang mengajar dibekali dengan keahlian mengajar anak berkebutuhan khusus, dan lainnya.
“Sesuai permendikbud, semua sekolah umum wajib untuk menerima siswa-siswa berkebutuhan khusus. Tidak ada pengecualian, tidak ada diskriminasi,” ujar Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Olahraga Kota Kendari, Muchdar Alimin, Kamis 27 Agustus 2020.
Kendati demikian, yang diterima adalah anak berkebutuhan khusus yang masih bisa dibina di sekolah umum. Untuk penyandang disabilitas kategori berat memerlukan tenaga pengajar yang punya kemampuan khusus sehingga disarankan untuk masuk SLB.
Sejumlah anak disabilitas yang saat ini ada di beberapa sekolah umum dalam Kota Kendari adalah penyandang tunagrahita, tunawicara, dan autis. Mereka ini masih bisa ditangani oleh sekolah umum dengan adanya guru-guru yang sudah dilatih.
Sekolah inklusi ini mulai diterapkan di Kota Kendari sejak 2017, hanya saat itu baru satu dua sekolah. Saat memasuki tahun 2019 baru mulai diterapkan di SD dan SMP se-Kota Kendari.
“Ada beberapa sekolah yang dibantu untuk itu (penerapan sekolah inklusi), guru-gurunya kita latih tentang apa itu sekolah inklusi. Mereka mengimbaskan ke sekolah-sekolah terdekat,” tutur Muchdar.
Pada masa pandemi Covid-19, siswa berkebutuhan khusus juga ikut pembelajaran daring dan luring. Untuk sekolah-sekolah di Kendari, selama masa pandemi persentasenya adalah 80 persen pembelajaran daring dan 20 persen luring. Hanya memang kata Muchdar, untuk anak berkebutuhan khusus, peran orang tua sangat besar agar anaknya tetap bisa ikut pembelajaran.
Muchdar memastikan semua sekolah jenjang SD dan SMP di Kendari siap menerapkan program inklusi. Saat ini hanya beberapa sekolah yang telah memiliki siswa berkebutuhan khusus. Jumlahnya sekitar 50 siswa ada pada jenjang SD dan sekitar 20 siswa pada jenjang SMP.
Salah satu SD di Kendari yang menerapkan program inklusi sejak 2019 adalah SD Negeri 84 Kendari (Kuncup Pertiwi). Di sekolah ini, siswa berkebutuhan khusus digabung dengan siswa reguler. Perbedaannya pada program pembelajarannya, rencana pembelajaran, dan nilai ketuntasan minimalnya.
Saat pandemi sekarang ini, di mana pembelajaran dilakukan secara daring, ada perlakuan berbeda bagi anak berkebutuhan khusus. Pihak sekolah terlebih dahulu berkonsultasi dengan orang tua agar pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
“Pembelajarannya sama dengan temannya yang lain, tapi khusus mereka biasanya dijapri (chat pribadi). Kalau yang normal itu ada grup,” ujar Kepala SD Negeri 84 Kendari, Asfitria (47).
Jumlah siswa berkebutuhan khusus di SD 84 kurang lebih 20 orang yang duduk di kelas 3, kelas 2, dan kelas 4. Jenis-jenisnya ada yang autis 3 anak dan selebihnya anak dengan disabilitas dalam belajar.
Pemerintah Diharap Beri Perhatian Khusus
Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulawesi Tenggara (Sultra) berharap pemerintah lebih memberi perhatian khusus terhadap para penyandang disabilitas selama masa pandemi. Salah satu yang paling terdampak adalah anak sekolah.
Ketua PPDI Sultra Ali Shahid mengatakan berdasarkan pengamatan di sekitarnya, sejumlah anak disabilitas vakum dari kegiatan belajar. Mereka tidak mampu belajar secara daring.
“Ada keluarga yang anaknya itu sekolah di SLB. Karena adanya ini pandemi sehingga mereka tidak bisa lagi disekolahkan. Orang tuanya tidak mengerti cara online, apalagi anaknya yang disabilitas,” ujar Ali yang merupakan seorang penyandang tunadaksa (polio), 28 Agustus 2020.
Pendidikan dianggap sangat penting bagi penyandang disabilitas, sebab dengan banyak belajar dan menguasai keterampilan dapat membuatnya bisa bersaing dengan yang nondisabilitas. Ali khawatir, pandemi yang berlarut-larut ini akan kembali memunculkan anggapan bahwa disabilitas tak bisa berkembang. (**)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma