Enam bulan sudah wabah SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 menyebar di Indonesia. Bermula hanya menyangkut persoalan kesehatan, Covid-19 akhirnya berdampak luas dan memukul banyak sektor.
Sektor yang juga ikut terpukul adalah tenaga kerja formal dan informal. Lalu bagaimana gambaran risiko para pekerja perempuan di Sultra selama pagebluk?
………………………………………
Matahari pagi belum meninggi, tatkala Amalia Astrid Regina, berangkat dari rumahnya di BTN Tawang Alun, Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) ke tempat kerjanya di hotel Zenith Kendari. Butuh waktu sekitar 25 menit dari rumah Amel ke hotel Zenith yang berada di bilangan Kecamatan Korumba Kota Kendari.
Sebelum berangkat Amel memeriksa isi tasnya.
“Masker, hand sanitizer, tisu basah, oke komplit,” ujarnyameyakinkan bahwa barang-barang penting yang ia butuhkan terbawa.
Tak lupa, Amel membawa cardigan lengan panjang berpotongan casual. Melengkapi bekalnya pagi itu. Ya, pengecekan itu menjadi rutinitas saban pagi, yang dilakukan Amel sebagai bagian dari alat pelindung diri saat bekerja di tengah wabah pandemi saat ini.
Amel, begitu ia kerap disapa, bekerja sebagai marketing di hotel Zenith Kendari,melakukan penawaran kerjasama dan promosi kepada klien.
Perempuan 29 tahun itu bercerita, awal corona dia bersama rekan-rekannya dirumahkan. Menurut Amel, perusahaan terpaksa merumahkan karyawan gegara merosotnya okupansi hotel akibat wabah corona.
Dia bersama puluhan rekan-rekanya dirumahkan selama tiga bulan. Barulah pada Juli lalu dia kembali bekerja. Meski di tengah wabah pandemi, aktivitas Amel nyaris tak ada yang berubah. Kecuali satu hal, ia mesti beradaptasi dengan kebiasaan baru. Adaptasi pada protokol kesehatan Covid-19. Memakai masker, mencuci tangan, sampai menjaga jarak dengan orang lain saat ia beraktvitas di tempat umum.
Meski sudah kembali bekerja namun ia tak bekerja full time. Hotel memberlakukan kebijakan sistem kerja bergilir bagi karyawan.
“Sistemnya dibagi, pegawai digilir, sebagian dirumahkan sebagian lagi bekerja. Sistem upahnya pun tidak penuh, sesuai dengan hari kita bekerja,” terang Amel saat dihubungi medio Agustus lalu.
Ada tantangan tersendiri saat bekerja di masa pandemi ini katanya. Kekhawatiran yang paling besar adalah resiko tertular virus yang pertama kali menyebar dari Wuhan ini. Kondisi turun ke lapangan bertemu dengan orang yang berbeda setiap hari membuatnya dilematis. Jika tak bekerja ia tak mendapat upah, sementara jika bekerja ia beresiko terpapar corona. Tapi katanya ia tak punya banyak pilihan.
Alasan utama tentu karena itu menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi. Amel sudah menikah dan suaminya juga bekerja namun, pendapatan dari keduanya tak cukup karena Amel juga menanggung orang tua dan adik-adiknya yang tinggal bersama. Selain itu di masa pandemi ini Amel hanya menerima setengah dari upah, hal itu imbas dari adanya pembatasan hari kerja.
“Ndak bekerja tidak makan, kembali bekerja juga ada resiko terpapar corona. Ndak ada pilihan. Serba salah kalau nda keluar nda dapat tamu kalau nda dapat tamu yah nda dapat gaji,” jelas Amel yang mengaku bekerja sebagai marketing hotel sejak 2016.
Cerita yang sama dialami Wardani (23), yang bekerja sebagai karyawan di Bank Sultra. Tahun 2020 ini adalah tahun kedua ia bekerja di bank plat merah Pemprov Sultra. Ia mengaku sejak awal pandemi hingga saat ini tetap harus hadir secara fisik di kantor.
Sehari-harinya perempuan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo (UHO) itu bertugas sebagai teller. Kontak fisik dengan nasabah yang berbeda setiap harinya tak terhindarkan karena tugasnya sebagai pekerja frontliner melayani penarikan, transfer, hingga penyetoran nasabah.
Menurut Wardani aktivitas yang ia lakoni inilah yang membuatnya sangat khawatir akan terpapar virus, meski petugas telah memastikan semua prosedur sesuai dengan protokol pencegahan dan penanggulangan pandemi ini.
“Pekerjaan kami juga beresiko tertular, lah buktinya saja ada bank-bank yang tutup karena ada pegawainya positif corona. Virus ini tidak kasat mata, saya berfikiran negatif jangan sampai saya tertular virus ini karena virus ini tidak kasat mata penyebaranya,” terang Wardani saat diwawancarai pertengahan Agustus lalu.
Sekretaris Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sultra Eko Dwi Sasono mengatakan pandemi Covid-19 memukul segala sektor termasuk pada industri perhotelan dan restoran. Hanya sepekan setelah adanya kasus positif Covid-19 di Kendari diumumkan, seketika itu juga hotel yang beroperasi tutup. Dari sekitar 300 hotel yang ada, 90 persennya terpaksa tutup.
Bahkan kata Eko yang juga mengelola hotel di bilangan Tipulu, terpaksa menutup dan memberhentikan karyawannya lantaran corona. Padahal usaha hotelnya itu sudah ia rintis selama 15 tahun.
“Covid-19 otomatis menghancurkan sektor jasa ini. Di awal, beruntung kalau okupansi sampai 10 persen. Sejak Juli, okupansi sampai saat ini hanya 40 persen saja okupansi hotel. Selama 6 bulan corona, menihilkan tamu atau pun hajatan baik yang digelar pemerintah atau warga” jelas Eko menceritakan dampak pandemi Covid-19 saat ditemui beberapa waktu lalu.
Alasan lain seperti penyewaan ruang atau pertemuan kerja atau meeting, incentives, conferencing and exhibition (MICE) juga merosot seiring imbaun pemerintah yang meniadakan pertemuan atau kegiatan tatap muka.Di Sultra secara keseluruhan menurut Eko industri ini bergantung 70 persen pada pemerintah. Hal itu lantas berimbas pada kebijakan merumahkan karyawan bahkan yang paling miris pengusaha sampai harus mem-PHK.
Kepala Bidang Kabid Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sultra Muhammad Amir Taslim mengatakan sampai saat ini sudah ada 2.351 pekerja atau buruh dari 86 perusahaan yang tersebar di 17 kabupaten/kota yang dirumahkan. Dari jumlah itu, 97 pekerja yang terkena PHK.
Sayangnya menurut Amir Taslim, dari jumlah itu tidak diketahui berapa jumlah perempuan yang harus dirumahkan atau di-PHK. Namun menurutnya jika pekerja pria masih lebih dominan bekerja di sektor formal ini.
Meski begitu untuk kebijakan para pekerja yang dirumahkan atau terkena PHK, menurut Amir pemerintah provinsi Sultra memberikan stimulan berupa bantuan non tunai dalam bentuk bantuan bahan pangan. Itu dilakukan selama 3 bulan. Berlaku pada Mei hingga Juli lalu. program ini sebagai bentuk dukungan pemerintah setempat untuk mempertahankan kondisi ekonomi pekerja yang dirumahkan.
Program lain yang juga diluncurkan pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat untuk mendukung pekerja yang dirumahkan akibat corona yakni pemberian kartu pra kerja. Di Sultra sendiri sejak awal diluncurkan sampai saat ini sudah ada 48 ribu pekerja yang mendapatkanya.
Di samping itu juga melalui Kementerian Tenaga Kerja memberikan subsidi upah terhadap pekerja di sektor formal yang kepesertaannya terdaftar di BPJS sampai 30 Juni 2020. Data yang ada perusahaan yang terdaftar 79 ribu perusahaan dengan total pekerja kurang lebih 91 ribu telah teralokasi kurang lebih 5000 pekerja yang sudah menerima bantuan subsidi. Besarannya 600 ribu per orang terhitung sejak September sampai Desember 2020.
“Masih ada perusahaan yang setiap pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya di BPJS untuk mendapatkan perlindungan sehingga saat terjadi resiko negara hadir,” jelas Amir saat dikonfirmasi.
Perlindungan di Masa Pandemi
Aliansi Perempuan (Alpen) Sulawesi Tenggara, sebuah organisasi non profit yang berbasis di Kendari yang berfokus pada kampanye perlindungan hak-hak dan penghapusan diskriminasi serta eksploitasi perempuan, menjelaskan sejumlah kelompok perempuan beresiko terpapar corona. Mereka adalah tenaga kesehatan dan medis. Mereka berada di garda terdepan meresikokan diri terpapar corona.
Kelompok lain yang juga rentan terpapar adalah perempuan pekerja di lapis pelayanan langsung seperti kasir, resepsionis, layanan pelanggan (customer service) dan pemasaran (marketing) merupakan kelompok yang rentan terpapar corona.
Direktur Alpen Sultra Midha Karim menjelaskan, di masa pandemi ini, perempuan pekerja baik yang bekerja di sektor formal ataupun informal selaiknya mendapatkan perlindungan.
Perempuan di masa pandemik perlu dilindungi bukan hanya dari sisi kebijakan tapi juga perlindungan mengenai penyebaran covid. Selain itu mereka juga perlu mendapat insentif dari program-program yang diluncurkan pemerintah.
Kebijakan merumahkan pekerja yang disertai dengan pembayaran sebagian atau bahkan tanpa upah akan berdampak pada berkurangnya kesejahteraan pekerja. Bagi perempuan pekerja harian, kebijakan ini berarti kehilangan penghasilan karena ia dianggap tidak masuk kerja.
“Covid-19 bukan menjadi alasan untuk merumahkan karyawan tanpa upah, atau pemangkasan upah dibawah standar minimum. Pandemi kini dijadikan alasan untuk perusahaan mengeluarkan kebijakan yang merugikan pekerja dan bertentangan dengan undang-undang tenaga kerja,” jelas Midha yang dihubungi beberapa waktu lalu.
Lebih jauh Midha mengatakan di tengah pandemi ini ia juga mencemaskan beban dan tekanan berlebihan yang dihadapi perempuan pekerja. Jika perempuan pekerja seorang ibu rumah tangga (IRT) selain harus bekerja, ia juga harus bertanggung jawab untuk urusan domestik keluarga. Ia harus mengurus suami, mengurus anak, membersihkan rumah bahkan menjadi guru mendampingi anak saat belajar di rumah.
“Dan pekerjaan itu akan semakin berat ketika semua anggota keluarga berada di rumah. Beban ini menurut Midha bisa memicu tingkat stress dan mengganggu kesehatan mental perempuan,” terangnya lebih lanjut.
Siapa Lebih Sadar Bahaya Pandemi?
Di luar persoalan yang mendera perempuan terkait pandemi. Perempuan memiliki peran besar untuk mengoptimalkan perilaku adaptasi kebiasaan baru yang sesuai dengan anjuran protocol kesehatan agar dapat memutus mata rantai SARS-CoV-2 penyebab Covid-19
Hal ini mengacu pada data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional yang menyebut jika perempuan lebih patuh pada penerapan protokol kesehatan dibanding laki-laki.
Menurut Midha Survei yang dilakukan terhadap parameter standar protokol kesehatan (menjaga jarak, mencuci tangan, menggunakan masker) menunjukan perempuan lebih disiplin dan patuh. Sehingga dengan itu perempuan memiliki peran signifikan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Pada kebiasaan menjaga jarak, kepatuhan perempuan mencapai 77 persen sedangkan laki-laki hanya 67 persen. Pada aspek mencuci tangan tingkat kepatuhan perempuan mencapai 85 persen, sedangkan laki-laki 76 persen saja. Lalu pada aspek penggunaan masker kepatuhan perempuan juga cukup tinggi mencapai 89 persen, sementara pria hanya 77 persen.
“Saya cenderung melihat perempuan lebih disiplin dibanding pria ini menjadi kekuatan oleh pemerintah untuk sosialisasi kepada perempuan. Perempuan kembali melakukan edukasi di lingkungan terkecil pada keluarga, kawan juga pasangan, sehingga mata rantai penyebaran Corona dapat dipersempit” ujar Midha.