Kisah Tiga Nenek Korban PHK di Kendari yang Berjuang Tuntut Pesangon

Kisah Tiga Nenek Korban PHK di Kendari yang Berjuang Tuntut Pesangon
KORBAN PHK - Tiga orang nenek di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon oleh perusahaan pengelola hasil laut PT Kelola Mina Laut (KML). (Fadli Aksar/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Tiga orang nenek di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon oleh perusahaan pengelola hasil laut PT Kelola Mina Laut (KML). Mereka adalah Norma (66), Yodiati (48), dan Sumiati (65).

Bekerja hampir berpuluh tahun, tapi tetap dianggap sebagai buruh lepas dengan gaji di bawah upah minimum Kota Kendari dan Provinsi Sultra. Bukan hanya itu, saat sakit, mereka tidak mendapatkan fasilitas BPJS Kesehatan.

Di tengah pandemi Covid-19 yang begitu membuat keadaan begitu sulit. Tapi tak menghalangi ketiga nenek ini berjuang mencari keadilan melawan perusahaan besar demi hak pesangon. Ketiganya kini menanti nasib di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Kendari yang akan diketuk palu esok, Kamis (22/10/2020).

Upah di Bawah Standar Minimum

Nenek Norma bercerita, mulai bekerja sejak 2007 hingga 2019. Ia ditempatkan sebagai buruh yang bertugas memilah dan membersihkan udang di sebuah ruangan yang diselimuti udara dingin selama 8 jam. Ia diberi upah dengan hitungan per kilogram hasil laut yang dikerjakan.

Namun, selama menerima gaji, tak pernah diberitahu hasil kerja yang diselesaikan per kilonya. Mereka hanya menerima jerih hasil payah setiap dua minggu sekali. Nominalnya jauh dari upah standar.

“Setiap dua minggu paling sedikit Rp300 ribu dan paling banyak Rp900 ribu. Tidak menentu, tergantung bahan yang datang,” ungkap nenek bercucu empat orang ini saat ditemui di Kendari, Rabu (21/10/2020).

Masalah serupa dialami pula Yodiati, ia memulai bekerja di perusahaan pengelola hasil laut di pusat perikanan Samudera, Kecamatan Abeli sejak 2007 lalu sebagai petugas kebersihan. Masuk bekerja mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00 wita. Selama 8 jam bekerja, janda lanjut usia ini cuma diberi upah Rp13 ribu per jam.

“Dua minggu sekali terima gaji, kadang paling sedikit Rp300 ribu dan paling banyak Rp500 ribu digaji. Kalau misalnya datang terlambat misalnya lewat setengah jam, dipotong, tidak cukup lagi Rp13 ribu digaji,” kata nenek Yodiati ini saat ditemui di salah satu warkop di Kendari, Rabu (21/10/2020).

Saat terima gaji, keduanya tak pernah diberi kwitansi resmi dari perusahaan. Mereka cuma menerima catatan dari potongan kertas kosong yang hanya berupa keterangan nominal gaji per dua minggu.

Tak Ada Jaminan BPJS Kesehatan

Tak hanya gaji yang jauh dari upah minimum. Nenek Norma mengalami nasib miris, ia tidak mendapatkan hak jaminan kesehatan. Pasalnya saat 2019 lalu, ia tiba-tiba jatuh pingsan di dalam ruang kerjanya karena mengalami kedinginan. Sebagian tubuhnya terasa mati atau keram.

“Sempat sadar, tapi tiba-tiba perutku sakit, saya minta izin sama pengawas minta pulang istirahat. Tiba di atas motor (ojek) badanku kembali keram, serasa mau pingsan lagi tapi saya tahan saja,” terang nenek Norma.

Sejak saat itu, warga Kelurahan Poasia, Kota Kendari ini memilih menjalani pengobatan terlebih dahulu sebelum kembali bekerja. Saat berobat, tak sepeserpun ia memperoleh tanggungan dari perusahaan. Jangankan biaya berobat, kartu BPJS kesehatan tak diberikan.

“Setelah sembuh, saya ingin kembali bekerja tapi kata perusahaan tidak menerima untuk karyawan usia renta. Sampai sekarang tidak ada pesangon yang diberikan, jangankan itu, penjelasan pemecatan juga tidak pernah disampaikan,” ujarnya.

Yodiati pun begitu, peristiwa paling menyedihkan yang dilakukan perusahaan ketika ia mengalami sakit hingga jatuh pingsan di dalam perusahaan 2016 lalu. Tubuhnya mati sebelah karena mengalami kedinginan di tempat bekerja. Nenek Yodiati pun memilih untuk berobat ke rumah sakit selama dua bulan.

Selama proses pengobatan, ibu enam anak ini hanya membiayai dirinya sendiri tanpa tanggungan dari perusahaan. Dalam masa pemulihan ia sempat menunggu panggilan kembali dari perusahaan, bahkan saat itu pun ia dipecat secara sepihak dengan beragam alasan.

“Lima bulan saya menunggu tapi tidak dipanggil-panggil lagi. Saya lalu datang bertanya ke perusahaan, katanya sudah lanjut usia, sudah tidak ada penerimaan lagi. Dipecat begitu saja tanpa penjelasan dan sampai sekarang tidak ada pesangon,” ucap nenek yang beralamat di Kelurahan Talia, Kecamatan Abeli ini.

Nasib serupa juga dialami nenek Sumiati. Buruh perempuan yang memiliki 20 cucu ini dipecat tanpa pesangon dari perusahaan. Sempat jatuh sakit tapi tak juga mendapat tanggungan perusahaan. Ketiganya pun menjadi pengangguran baru di tengah pandemi Covid-19 yang masih merebak.

Melawan Perusahaan di Pengadilan

Ketiga buruh perempuan ini kemudian bertemu dan sepakat untuk menuntut pesangon dan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan meski tidak pernah diikat atau daftarkan sebagai karyawan di perusahaan.

Koordinator Persatuan Buruh Perempuan Pesisir Mutmainah mengadvokasi ketiganya untuk melakukan mediasi di Dinas Ketenegakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) akhir Desember 2019 lalu. Mediasi dilakukan sebanyak tiga kali namun berjalan buntu hingga Juli 2020.

“Disnakertrans menganggap ini pelanggaran, tapi perusahaan tidak mau bayarkan hak mereka. Akhirnya kami menggugat di pengadilan pada Juli 2020. September kami mulai sidang, besok (22/10/2020) hakim akan membacakan putusan,” kata nya saat mendampingi ketiga korban PHK tersebut.

Menurut dia, saat berperkara di pengadilan, mereka sempat mendapatkan teror dari oknum pihak perusahaan. Teror tersebut dikirimkan melalui pesan singkat yang berisi agar tak memperjuangkan pembayaran pesangon di pengadilan. Sebab, melawan perusahaan besar dan bermodal besar pasti akan kalah.

“Menurut saya korban PHK sepihak tidak adil, bekerja bertahun-tahun tapi tidak mendapat penghargaan dari perusahaan, sakit tidak dibiayai, tidak terdaftar di perusahaan. mereka berbuat curang, karena mereka tidak pernah mendapat jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, tidak digaji sesuai UMR,” pungkas dia.

Nenek Yodiati, Norma dan Sumiati pun menuliskan surat terbuka untuk meminta hakim PHI Pengadilan Negeri (PN) Kendari yang akan menjatuhkan putusan kasus mereka. Ketiganya meminta agar hakim memutuskan perkara itu dengan adil.

Pihak perusahaan PT KML Hasmiati meski sempat merespon telepon jurnalis ZonaSultra.com mengaku sebagai pihak perusahaan namun ia mengaku terkendala jaringan sekitar pukul 19.00 WITA, Rabu (21/10/2020). Hingga berita ini diterbitkan belum ada jawaban resmi dari perusahaan. (*)

 


Reporter: Fadli Aksar
Editor: Ilham Surahmin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini