Keberadaan UU Omnibuslaw mengancam zona intergritas kedaulatan negara dalam perlindungan hak warga negara. Kita ketahui UU Omnibuslaw menimbulkan penolakan beberbagi elemen masyarakat mengenai kelayakan sebagai regulasi untuk mengatur berbagai hal di dalamnya.
Mengenai UU Omnibuslaw disahkan dari awal tidak ada keterbukaan publik mengenai wujud undang-undang untuk dikomsumsi masyarakat umum sebelum dilakukan penetapan oleh DPR-RI dan Pemerintah.
Mengingat ketentuan konstitusi Indonesia bahwa negara berasaskan negara hukum (rule of the law), yang menjadi panglima tertinggi sebuah negara adalah hukum itu sendiri. Negara hukum merupakan kesepakatan politik tertinggi sehingga ketataan terhadap hukum dan prosedur merupakan ihwal bagi siapapun.
Kembali melihat keberadaan Omnibuslaw, selain yang dipermasalahkan oleh pihak melakukan demonstran, termasuk ahli hukum tata negara juga mempermasalahkan tentang materil (subtansi) dan formil (prosedur) pembuatan Omnisbuslaw, sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019. Tuntutan dan kritikan terjadi bahwa dengan nyata Undang-undang Omnibuslaw muncul berbagai versi termasuk jumlah halaman. Menurut feri (Pakar Hukum Tata Negara) draf Ombuslaw memiliki tujuh versi jumlah halaman berbeda-beda. Sehingga, fenomena pembentukan perundang-undangan menimbulkan banyak kecurigaan publik mengenai keberadaan UU Omnibuslaw, materi muatan dan prosedur cacat maka gagal secara hukum apabila melihat dari persepektif pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalih Pemerintah dan DPR Yang Segaram
Kritikan terjadi berbagai wilayah menolak undang-undang Omnibulaw, namun respons Pemerintah dan DPR kompak menyatakan menyarakan melakukan konstitusional review ke Mahkamah Konstitusi.
Constitusional Review yang dijadikan dalih merupakan suatu bentuk kegagalan pembuat undang-undang dalam memaksimalkan tujuan-tujuan ihwal dan keberpihakan mayoritas atau kepentingan umum. Cara bernegara dan proses pembentukan undang-undang apabila Mahkamah Konstitusi selalu menjadi titik tolak maka keseriusan merumuskan kualitas produk hukum sesuai dengan konstitusi, kepentingan umum dan pancasila akan terabaikan.
Intergritas Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution, the guardian of democracy, and the guardian of human raigh, dengan sudut pandang teoritis pada dasarnya menginginkan tegaknya konstitusi, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia dari otoritarian perundang-undangan. Namun berdasarkan klausal politik bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi menaruh perhatian dan kekewatiran dengan melihat ketentuan bahwa pengusul hakim konstitusi termasuk pemerintah dan DPR.
Berdasarkan kalkulasi politik, sebelum pengesahan Omnibuslaw, terlebih perubahan dilakukan pada UU Mahkamah Konstitusi juga sampai saat ini masih hangat diperbicangkan para pakar hukum tata negara, dengan adanya penambahatan batasan maksimal menjabat sebagai hakim konstitusi. Oleh karena, korelasi keduanya adanya suatu kesepakatan politik masing- masing lembaga tinggi negara.
Keberadaan UU Omnibuslaw untuk di uji materiil atau formil di Mahkamah Konstitusi banyak menimbulkan pesimis jika Mahkamah dapat memaksimalkan putusannya terhadap UU Omnibuslaw.
Selain tidak yakin terhadap tingkat maksimal putusan Mahkamah, juga UU Omnibuslaw memiliki bentuk bahaya dan dampak bila Undang-Undang Omnibuslaw diajukan Konstitusional Review di Mahkamah Konstitusi karena putusan memiliki sifat final and binding, artinya amar putusan Mahkamah Konstitusi tidak ada upaya hukum apapun dapat ditempuh setelah putusan diumumkan oleh pihak Mahkamah. Segala bentuk tindakan dan gerakan dan tuntukan akan tertutup rapat tercapainya keadilan.
Pemerintah dan DPR Berdalih Tidak Seperti Biasanya
Dalam sejarah pembentukan Undang-Undang oleh DPR saat ini berbeda dari sebelumnya, proses pembentukan Omnibuslaw menimbulkan kecurigaan amat serius ketika dalih Mahkamah Konstitusi adalah solusi terahir. Unsur kecurigaan itu, pemerintah dan DPR sepakat dan bersitegas prosesnya melalui peradilan untuk diselesaikan apabila ada hal-hal yang dipermasalahan.
Bentuk kesalahan dan kelalaian ataupun kesepakan politik terselubung, Mahkamah Konstitusi menjadi titik tumbuh untuk mengatasi sebuah kekacauan pada muatan dan prosedur Omnibuslaw. Namun siapa sangkal keberadaan Mahkamah Konstitusi akan memberikan keputusan ketidakberpihakan pada kepentingan umum. Atau bagaiamana jika jauh-jauh hari telah ada kesepakatan terselubung masing-masing lembaga tinggi negara untuk mencetak produk hukum tidak pro regulasi dan kepentingan umum.
Namun polemiknya jika diajukan Constitusiona Review, bahwa sepanjang Mahkamah Konstitusi belum mengeluarkan keputusan apakah Undang-Undang Omnimbuslaw dinyakatan konstitusional atau inkonstitusional, maka undang-undang tersebut tetap berlaku sepanjang belum ada putusan. Salah satu contoh, Undang-Undang KPK, kurang lebih 1 Tahun berkgulir di
Mahkamah Konstitusi belum menemukan titik temu sampai saat ini, sehingga undang-undang tersebut masih dapat digunakan sebagai dalil terhadap KPK walaupun hingga akhirnya ada yang dibatalkan atau dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Begitupun juga Undang-undang Omnibuslaw, apalagi draf terahir mencpai kisaran 1.000 halaman dan butuh waktu lama proses penyelesaiannya. Bagaiamana misalnya, terjadi ekspoloitasi lingkungan oleh negara, perusahaan atau bekaiatan dengan impor yang dibatalakan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana jika Mahkamah mencabut Omnibuslaw keseluruhan maka akan berdampan ketidakpastian hukum serta merugikan merugikan pihak-pihak yang terlibat atas berkat aturan Omnibuslaw. sehingga jalan satu-satunya mengatasi ketimpangan kemudian hari adalah kekuatan sistem presidensial atau tindakan presiden dengan menggunakan hak diskresinya sebagai kepala negara.
Penulis: Iswandi
Dosen IAIN Kendari