Pada era New media ruang publik telah menjadi semakin luas, dimana individu maupun komunitas telah memiliki banyak ruang untuk menyatakan pendapat maupun berekspresi dalam hal menyikapi berbagai isu-isu yang sedang terjadi, namun menariknya jika kita melihat dari apa yang terjadi seperti beberapa kasus yang dilihat dari kebijakan pemerintah sebagai berikut.
Seperti yang terjadi beberapa hari ini tentang hak dalam kebebasan berpendapat yakni munculnya aksi demonstrasi dari berbagai kalangan sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan menyuarakan penolakan Omnibus Law yang didalamnya terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain: RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. tetapi, RUU Cipta Kerja menjadi hal yang paling banyak disoroti.
Akibat dari adanya kerusuhan pada saat demontsrasi maka terjadi penangkapan beberapa orang dengan alasan telah melakukan cuitan dan komentar di media sosial tentang omnibus law yang diduga menjadi penyebab kerusuhan demonstrasi, baik melalui pesan broadcasting whatsapp, maupun di jejaring media sosial, dan ancaman yang terjadi pada anak sekolah yang melakukan demonstrasi akan dipersulit pengadaan skck (surat keterangan catatan criminal) dari berbagai permasalahan tersebut publik kembali mempertanyakan jaminan akan kebabasan berpendapat dan berekspresi.
Sama seperti halnya yang terjadi dalam isu Papua pada Agustus lalu di beberapa wilayah provinsi Papua perihal pelambatan akses internet. Hal ini telah menimbulkan kesulitan warga setempat untuk mencari, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media telekomunikasi (internet).
Kemudian bebrapa kasus yang terjadi seperti penyempitan kebebasan Akademik yakni pada saat adanya terror penyelenggaraan diskusi dengan tema “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari system ketatanegaraan”, hingga pemberangusan serikat buruh sehingga timbullah penilaian publik terhadap pemerintahan pada saat ini ruang untuk menyampaikan pendapat dan ekspresi telah mengalami penyempitan ruang ekspresi publik.
Pada Universal Declaration of Human Rights dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal 19 berbunyi: “everyone shall have the right to hold opinions without interference” and “everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice” “Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa gangguan” dan “setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini harus mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apa pun, terlepas dari pembatasan, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain pilihannya”. Hal ini bukan berarti tidak ada batasan sama sekali dalam kebebasan berpendapat, yang menjadi batasan dari kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak-hak orang lain, selama tidak melanggar hak-hak orang lain, kebebasan ini dapat dinikmati tanpa batas.
Jika kita hubungkan deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dengan melihat kondisi yang sedang terjadi di Indonesia pada saat ini, tentunya menjadi pandangan yang ironis karena kita akan menjumpai beberapa kasus pidana akibat dari kebebasan berbicara dan berekspresi. Hal ini bisa terjadi tentunya karena banyak indikator dan salah satu kemungkinan indikatornya yaitu minimnya pengetahuan dikalangan masyarakat, public figure, dan bahkan dikalangan penegak hukumpun tentang regulasi Hak kebebasan berbicara dan berekspresi di depan umum maupun di media sosial, sehingga sering menjadi penyebab terjadinya chaos dan saling war on social media yang berujung pada kasus pidana.
Media eletronik dan media sosial menjadi platform mengalirnya berbagai informasi dan tentu ini menjadi wadah bagi warga negara untuk berpendapat dan berekspresi. Dalam konteks negara demokrasi media mampu menjadi wadah penyampaian aspirasi publik. Media sosial memberikan dampak terhadap karakter baru, audience generated media memungkinkan publik untuk mendistribusikam konten yang mereka himpun sendiri (Straubhaar & Rose, 2006).
Media sosial sebagai ruang publik memberikan dampak positif dalam negara demokrasi. Pasalnya aspirasi publik dapat diserap melalui media sosial. Namun dalam praktiknya terdapat beberapa pelanggaran oleh penggunanya. Kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat jelas merupakan bentuk HAM yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi dalam konteks negara demokrasi, keamanan dan kenyamanan bernegara adalah hal yang perlu dijamin oleh pemerintah melalui kewenangannya dalam mengatur suatu negara karena penegakan hukum merupakan variable demokrasi.
Demokrasi memberikan peluang kepada setiap orang untuk menikmati kebebasan yang dimilikinya secara proporsional karena kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain (Selian & Melina, 191: 2018). Kebebasan Berekspresi merupakan elemen penting dalam jalannya demokrasi dan partisipasi publik. Hal ini diperlukan agar terciptanya partisipasi publik dalam pengabilan kebijakan publik atau dalam hal pemungutan suara. Apabila masyarakat kebebasannya dilanggar maka dapat dikatakan pemerintahan telah berlangsung secara otoriter.
Kecendrungan seseorang Di era new media saat ini untuk mengupdate dan berkomentar di berbagai media sosial semakin tidak memiliki batasan sehingga tanpa menyadari pengguna new media berkomentar ataupun melakukan hate speech karena ketidaksukaan atau ketidakpuasaanya terhadap setuasi yang terjadi dan mengekspresikannya di media sosial.
Menurut Soeparno dan Sandra (2011), dunia maya seperti laiknya media sosial merupakan sebuah revolusi besar yang mampu mengubah perilaku manusia dewasa ini, dimana relasi pertemanan serba dilakukan melalui medium digital, menggunakan media baru (internet) yang dioperasikan melalui situs-situs jejaring sosial. Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media” diartikan sebagai alat komunikasi Sedangkan kata “sosial” diartikan sebagai kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan kontribusi kepada masyarakat (Laughey, 2007; McQuail, 2003).
Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi ini adalah syarat utama dalam negara demokrasi, sehingga Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi tentunya wajib menjamin hak-hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Di Indonesia, regulasi mengenai hak kebebasan berpendapat secara mendasar diatur di dalam pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi; “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Terlihat dengan jelas bahwa pasal ini mengadopsi dari pasal 19 ICCPR yang mengatur tentang kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi tentunya ada batasan-batasan tertentu yang harus kita ketahui seperti dalam Prinsip-prinsip The Johannesburg tentang Keamanan Nasional, Kebebasan Berekspresi, dan Akses terhadap Informasi.
Dalam prinsip Johannesburg: Prinsip 6: Ekspresi yang Dapat Mengancam Keamanan Nasional, ekspresi dapat dihukum sebagai ancaman terhadap keamanan nasional hanya ketika suatu pemerintahan dapat menunjukkan bahwa: a). ekspresi tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi; b). ekspresi tersebut dapat memotivasi terjadinya kekerasan semacam itu; c). ada hubungan langsung dan dekat antara ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan semacam itu.
Secara lengkap tentang prinsip-prinsip Johannesburg bisa di akses di https://kajiankomnasham.wordpress.com/2012/03/15/prinsip-prinsip-johannesburg/ untuk kepentingan literasi tentang prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Ketentuan pada Pasal 20 (2) ICCPR menjadi pembatas kebebasan berekspresi dan berpendapat. “any advocacy of national,racial, or religious hatred that constitutes incitement to discrimination or violence shall be prohibited by law.” Hal ini sejalan untuk mencegah adanya kebebasan berekspresi dalam bentuk tulisan, gambar, atau audio yang berisis propaganda, ujaran kebencian atas dasar ras, agama atau tindakan diskriminasi lainnya.
Dalam instrumen hukum nasional pembatasan hak telah diatur dalam pasal 28J ayat (2). Pasal ini memiliki kesamaan konteks pembatasan dalam hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terdapat pada intrumen hukum internasional. Seseorang dalam mengekspresikan pendapatnya wajib tunduk terhadap pembatasan yang berlaku dalam undang-undang. Hal ini diperlukan demi terjaminnya hak dan kebebasan orang lain. Kemudian diatur dalam KUHP terkait penegakan hukum yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat pasal 15, pasal 310 ayat (1). Pasal 45A Undang-Undang No.19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada tanggal 8 oktober 2015 kepolisian menerbitkan Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian dimana kebebasan berpendapat dibatasi oleh elemen-elemen tertentu.
Terlepas dari polemik kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia besar harapan publik agar lebih sama-sama memahami peran penting dari hak-hak tersebut yang menjadi dasar kita berdemokrasi. Baik para akademisi, penegak hukum, dan pemerintah tentang arti pentingnya kebebasan berpendapat dan berekspresi ini untuk menjamin negara demokrasi dan menjadi control sosial terhadap penegakan hukum maupun kebijakan yang terjadi di negara demokrasi.
Mengutip kata ilmuwan Jhon locke dalam karyanya “The Second Treaties of Civil Government and Letter Concerning Toleration” “It is one thing to show a man that he is in error, and another to put him in possession of the truth” “Selain menunjukan kesalahan seseorang, kita juga harus menunjukan kebenarannya”. Dalam artian menyikapi hadirnya aksi sebagai bentuktuntutan dengan cara penyampaian pesan aspirasi yang disampaikan masyarakat, alangkah baiknya para stakeholder dan pejabat publik memberikan respon terhadap tuntutan dengan baik dan menyikapinya secara terbuka tanpa melakukan diskriminasi terhadap pelaku aksi yang menyuarakan aspirasi sebagai bentuk hak dalam kebebasan berpendapat yang di jamin oleh konstitusi.
“The end of law is not to abolish or restrain, but to preserve and enlarge freedom” “Akhir dari hukum bukanlah untuk menghapuskan atau menahan, tetapi untuk melestarikan dan memperbesar kebebasan” (Jhon locke,1690). Dalam pemikiran Jhon locke tersebut kita bisa mengambil pembelajaran sebagai negara hukum pemerintah tidak menggunakan power kekuasanya untuk membungkam kebebasan berpendapat pada negara demokrasi karena kebebasan berpendapat dan berekspresi ini adalah syarat utama dalam negara Demokrasi.
Kebebasan masyarakat dalam berekspresi untuk mengemukakan pendapatnya merupakan hak dan merupakan tanggung jawab dari negara demokrasi. Media sosial sebagai bentuk perkembangan teknologi informasi komunikasi merupakan sarana komunikasi yang tidak dapat diabaikan keberadaannya. Media sosial sebagai ruang publik untuk merealisasikan kebebasan berekspresi dan berpendapat mendorong negara demokrasi yang partisipatif.
Kritikan kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan bukan merupakan pelanggaran hukum, kebebasan dalam berpendapat dijamin dalam konstitusi Indonesia. Adapun pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat ditujukan agar terciptanya suatu kemanan dan kesejahteraan antar sesama warga negara.
Penulis: Aldilal, S.I.K.,M.I.Kom
Alumni ilmu komunikasi, universitas haluoleo
Magister Ilmu komunikasi, Universitas Hasanuddin