Setiap kali berhadapan dengan petugas-petugas itu, hatiku selalu ketar-ketir. Apalagi di awal-awal dulu, pakaian mereka yang menyerupai astronot, perasaanku ngeri-ngeri sedap.
Tapi sebenarnya, ketakutan saya –dalam pengertian yang sebenarnya– pada tampilan petugas-petugas itu tidak seberapa ketimbang melihat jarum suntik yang mulai dipersiapkan –apapun bentuk dan kemanapun hendak dihunjamkan.
Lututku selalu ngilu setiap kali menatap ujung tajam dari jarum itu. Padahal, saya mantan gondrong. Yang katanya minumannya hanya kopi pahit. Diharamkan susu atasnya. Celananya robek-robek. Lagu kebangsaannya rock metal. Giliran jarum suntik, menciut…hadeh…
Hari ini, untuk ke sepuluh kalinya dalam ingatan saya melakukan rapid test Covid-19. Meski kemudian, yang terdokumentasi di ponsel saya hanya delapan. Ada dua kali saya tidak peduli tentang hasil rapid itu. Cukup tahu hasilnya.
Rapid yang saya ikuti kali ini merupakan bagian dari kinerja Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk memasifkan tracking dalam rangka memutus penyebaran. Setiap organisasi perangkat daerah (OPD) punya jadwal.
Hari ini giliran kantor kami. Banyak yang tidak ikut. Pada beberapa OPD lain juga banyak yang enggan menjalani rapid.
Terlepas berbagai macam alasan dan argumentasi masing-masing, sesungguhnya, saya menyayangkan. Dalam perjalanan panjang kita hidup bersama dengan wabah ini –dan belum ada titik terang kapan berakhir– kekhawatiran untuk tahu apakah kita terjangkit atau tidak adalah sebuah kemutlakan.
Kita sudah tidak takut lagi masuk kantor, meski ada satu dua orang rekan kerja yang terkonfirmasi positif. Tidak lagi waswas berjalan-jalan di mall atau pasar (saya sih masih). Bahkan pada titik ekstrim, tidak percaya dengan wabah ini, dengan bumbu teori konspirasi yng diyakininya. Tapi kenapa saat hendak menjalani pemeriksaan kesehatan, kita enggan?
Hal yang mendasari pemeriksaan kesehatan ini adalah kasih sayang. Kita menyayangi keluarga kita, menyayangi sahabat-sahabat kita, menyayangi rekan kantor kita. Jangan sampai kita terjangkit namun tak ketahuan. Kasihan mereka.
Kasih sayang itulah yang perlu kita hadirkan dalam hati kita masing-masing dalam merespon rapid maupun swab yang dijalankan pemerintah. Agar ketakutan pada pakaian petugas, jarum suntik, dan ketakutan menghadapi kenyataan, bisa kita kalahkan.
Sebagai abdi negara, kita seharusnya menjadi teladan. Setiap abdi negara adalah “petugas komunikasi publik” dari berbagai strategi pemerintah melawan pandemi. Kita yang menjadi contoh. Begitulah. Kita telah memilih jalan ini. Bersama gaji, tunjangan, dan resiko jabatannya.
Di tengah angka kasus yang masih terus bertambah setiap harinya, perang melawan pandemi tidak boleh hanya sekadar slogan. Slogan kosong pula. Kenapa kosong? Karena kita yang pasang baliho ajak masyarakat putus mata rantai penyebaran. Kita yang tiap hari keliling ingatkan masyarakat. Begitu ada rapid, kita yang duluan menolak.
Bagaimana masyarakat mau taat kalau kita sebagai abdi negara menjadi contoh yang kontraproduktif dalam peperangan ini?
Akhirnya, pendekatan yang ditempuh perlu diubah. Perlu upaya “paksa”. Bagaimana itu? Mainkan di TPP. Tunjangan Tambahan Penghasilan. Esensi TPP adalah kinerja. Kesediaan menjalani rapid test maupun swab adalah bagian dari kinerja.
Saya yakin, banyak yang mengumpat saya atas tulisan ini. Tapi nda urus. Sebab, saya menyayangi kalian.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis: Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik – Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara