ZONASULTRA.COM, KOLAKA – Pembentukan Komite Community Social Responsibility (CSR) untuk menangani pemanfaatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau lebih sering disebut CSR PT Vale Indonesia di Kabupaten Kolaka terus mendapat sorotan kritis.
Setelah sebelumnya persoalan komite ini sampaikan ketua ForsDa Sultra Djabir Lahukuwi, kali ini dikemukakan juga oleh Ketua Aroel Intitute (Lembaga Riset dan Konsultasi Kebijakan Publik), Abdul Sabaruddin melalui pesan WhatsApp miliknya, Selasa (20/4/2021).
Menurut Sabaruddin, pengelolaan dana CSR yang dilakukan pihak ketiga baik dalam bentuk forum atau komite akan berpotensi menguntungkan pihak tertentu.
“Jika benar Komite CSR bertanggungjawab penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatan dana CSR PT Vale maka ini merupakan kekeliruan besar. Kenapa, karena akan potensi terjadi penyalahgunaan anggaran. Proses pengawasan dana tersebut akan sulit dilakukan, terlebih lagi jika dana tersebut tidak melalui rekening pemerintah daerah. Akuntabilitas dana tersebut akan sulit dilakukan,” kata Sabaruddin yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sembilanbelas November Kolaka.
Menurutnya, seharusnya kewenangan komite CSR PT Vale hanya pada sebatas melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan dalam rangka penyelenggaraan CSR, menginventarisasi program CSR antara korporasi dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
“Komite CSR tidak mengelola langsung dana CSR. Jika PT Vale memiliki niat baik untuk memberikan pengelolaan dana CSR, bukan diberikan ke komite, forum atau organisasi adhoc lainnya tetapi antara PT Vale dengan Pemerintah Daerah. Sebab jika diberikan kepada organisasi adhoc maka dana tersebut tidak akan sesuai peruntukkannya bahkan berpotensi pengelolaan dana yang tidak transparan,” jelasnya.
Ditambahkan, sesuai peraturan pemerintah nomor 47 tahun 2021, CSR merupakan kewajiban bagi perusahaan yang diatur juga dalam UU Nomor 40 tahun 2007 khususnya pasal 74 ayat 4 yang berbunyi TJSL merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
“Jadi CSR atau tanggungjawab sosial ini adalah kewajiban bagi perusahaan. Sehingga pengelolaan dana CSR menjadi tanggungjawab perusahaan sendiri, dan tidak diwajibkan atau diharuskan diserahkan kepada pemerintah daerah apalagi kepada forum, komite atau organisasi dengan nama lain,” katanya.
Kata dia, jika dana CSR diserahkan kepada pemerintah daerah, maka ini menjadi salah satu sumber penerimaan daerah dan harus tercatat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Hal ini dimaksudkan agar dana tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Inipun juga harus didasarkan pada perjanjian antara pemerintah daerah dengan perusahaan.
Dan jika Pemkab Kolaka mengelola dana CSR PT Vale, maka harus didahului dengan perjanjian dalam bentuk MoU. Tindaklanjut dari perjanjian tersebut, maka dana CSR harus masuk dalam APBD sebagai sumber pendapatan daerah, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana dijelaskan bahwa pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, pendapatan transfer dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dalam pasal 295 UU Nomor 23 Tahun 2014 dijelaskan Lain-lain pendapatan Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf c merupakan seluruh pendapatan daerah selain Pendapatan Asli Daerah dan pendapatan transfer, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Daerah yang lain, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
“Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka sah-sah saja dana TJSL atau CSR untuk pembangunan daerah dapat dikategorikan sebagai pendapatan daerah berupa hibah. Ketika ini sudah menjadi dana hibah maka semua penerimaan dan pengeluaran daerah harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah,” jelasnya. (*)
Penulis: Abdul Saban