ZONASULTRA.COM, WANGI-WANGI-Kepengurusan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) dinilai cacat hukum dan menabrak aturan.
Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Wakatobi La Ode Ridwan mengungkapkan, dugaan cacat hukum itu adalah kepengurusan di dalamnya didominasi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Menurut La Ode Ridwan, masuknya pejabat publik dalam kepengurusan sejumlah cabang olahraga (cabor) di KONI Wakatobi merupakan bentuk pembangkangan terhadap surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nomor B-903 01-15/04/2011, tanggal 4 April 2011, tentang hasil kajian KPK terkait rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah.
“Adanya pejabat publik, sejumlah PNS dan anggota kepolisian, bahkan anggota DPRD yang masuk di jajaran kepengurusan sejumlah cabor merupakan bentuk pembangkangan terhadap surat KPK,” tegasnya saat ditemui di Wangiwangi, Senin (1/11/2021).
Larangan menjadi pengurus KONI karena rangkap jabatan juga terdapat dalam pasal 40 UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Olahraga Nasional dan Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga.
Juga UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, disebutkan jika anggota DPRD dilarang menjadi pengurus instansi yang mendapatkan dana dari APBN maupun APBD.
Bahkan pada surat edaran Mendagri, nomor 800/148/SJ 2012, kata dia, secara tegas melarang kepala daerah tingkat I dan II, pejabat publik, wakil rakyat, hingga PNS untuk merangkap jabatan dalam organisasi olahraga.
Oleh karena itu, SK Nomor 304 tahun 2021 tentang Pengukuhan Dewan Pelindung/Penasehat/Dewan Penyantun dan Pengurus KONI Kabupaten Wakatobi dinilai cacat hukum, karena jajaran kepengurusan berasal dari pejabat publik dan PNS yang membangkang terhadap hukum.
Pihaknya akan menyampaikan persoalan itu kepada KONI provinsi. Apabila tidak ditanggapi maka akan langsung bersurat ke KONI pusat.
“Kami mendesak Bupati Wakatobi agar tidak menganggarkan KONI sebelum persoalan ini ditanggapi dan diselesaikan dengan tuntas, terkait dengan legalitas dan kajian hukumnya karena persoalan ini sangat berkaitan dengan pertanggungjawaban keuangan,” ujarnya.
Ketua DPRD sekaligus Ketua KONI Kabupaten Wakatobi Hamiruddin berdalih jika dirinya memegang amanah yang disampaikan oleh masing-masing pengurus cabang (Pengcab) KONI yang mengamanatkan dirinya menjadi ketua KONI.
“Pemilihannya secara aklamasi. Itu artinya saya diamanatkan untuk menjadi ketua KONI,” ujar Hamiruddin.
Terkait PP Nomor 16 tahun 2007 bahwa tidak boleh merangkap jabatan, ia akan mengonsultasikannya ke KONI provinsi.
“Kemarin Buton Utara (Butur) juga yang dilantik itu adalah bupatinya jadi ketua KONI, yang saya gantikan juga kemarin itu bupati. Provinsi Sultra juga Pak Lukman. Bahkan di PON baru-baru ini di Papua ketua KONI-nya juga gubernur,” bebernya.
Lebih lanjut Hamiruddin menjelaskan, di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KONI juga tidak dicantumkan bahwa pejabat itu tidak boleh menjadi ketua KONI. Namun untuk memastikannya ia akan berkonsultasi ke provinsi.
“Yang pasti saya juga tidak akan mengorbankan jabatan saya hanya karena KONI. Di KONI semata-mata hanya untuk mengemban amanah dari teman-teman pengcab dan musda kemarin. Insyaallah saya juga berusaha untuk bisa mengembangkan olahraga di Kabupaten Wakatobi ini supaya bisa di pentas nasional, tapi target utama dalam waktu dekat ini adalah Wakatobi masuk tiga besar Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) 2022. (b)
Kontributor: Nova Ely Surya
Editor: Jumriati