ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kabut pagi pada Sabtu (23/4/2022) kemarin menyelimuti sepanjang jalan depan kampus baru Universitas Halu Oleo (UHO) yang terletak di Kecamatan Kambu, Kelurahan Lalolara, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kendaraan yang lalu lalang pun masih dapat dihitung dengan jari. Suasana hening menyelimuti tiap lorong yang berada di depan kampus terbesar di Sultra itu.
Di saat kebanyakkan orang sedang menikmati waktu istirahatnya, tampak seorang lelaki paruh baya menunggangi kendaraan melintasi jalan kampus tersebut dan sesekali berhenti di tempat yang dianggapnya sebagai kantor untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Ia adalah Malil, seorang pria kelahiran Jawa tengah tahun 1972 yang tiap hari melakukan aktivitas yang kerap kita kenal sebagai pemulung. Baginya beberapa jenis sampah adalah rezeki.
Sejak pukul 05.50 wita ia menunggangi kendaraan “dinasnya” berupa sebuah sepeda motor yang menarik bak tempat ia menampung barang bekas pilihannya.
Berangkat dari rumah yang dihuninya bersama keluarga yang terletak di Kecamatan Baruga, Kota Kendari, Malil menjajaki seluruh tempat biasa masyarakat membuang barang sisa-sisa pemakaiannya. Ayah dari 3 anak ini mengaku profesi yang dilakoninya saat ini tidak hanya di wilayah Kota Kendari. Ia bahkan sampai keluar kota untuk mendapatkan barang bekas yang dapat ditukarkan menjadi rupiah.
Ditemui saat sedang mengutak-atik tumpukan sampah masyarakat yang berada di depan kampus baru UHO, ia menceritakan sepenggal pengalaman hidupnya hingga yang ia rasakan saat ini. Ia adalah seorang transmigran dari Jawa tengah. Ayah dan ibunya pisah saat ia masih dikandung, sehingga ia tidak merasakan kasih sayang seorang ayah.
Malil bersama ibunya melakukan transmigrasi di daerah Moramo pada tahun 1984 dengan bantuan dari pemerintah berupa lahan, sawah dan ladang dengan total luas 3 hektare. Namun saat itu semuanya dijual dengan harga Rp300 ribu karena tidak memiliki sepeserpun uang.
“Karena kita tidak punya apa-apa jadi kita jual mi saja itu. Kendari juga saat itu masih hutan. Saya masih riki dapsun waktu itu, sekarang namanya pete-pete,” ceritanya.
Ia mulai melakukan aktivitas mengumpulkan barang bekas berupa gelas dan botol air meneral, kertas, besi dan aluminium di wilayah Kota Kendari dan sekitarnya pada tahun 1984 dengan harga paling tinggi saat itu Rp5.
Pilih Mulung Karena Cape Ditipu
Pria yang kini menginjak usia ke-50 tahun tersebut mengatakan bahwa pekerjaan yang dijalaninya saat ini dipilihnya karena minim penipuan. Ia dulu beberapa kali mencoba melakukan pekerjaan lain namun ditipu oleh bos sendiri bahkan uangnya sampai dibawa kabur.
Ia sempat merantau ke Makassar tahun 1988 bersama teman untuk bekerja di perusahaan es balok. Namun pekerjaannya terpaksa ia hentikan saat tengah berjalan 11 bulan karena upah yang diterima tidak sesuai dengan pembicaraan awal sebelum ia bekerja.
Dari Makassar, tahun 1989 ia kembali merantau ke daerah Kolaka untuk melakukan pengaspalan bersama PT Balosu. Pengaspalan ia lakukan bersama 14 rekannya sepanjang 9 km terbentang dari Lasusua hingga Tebako dengan harga Rp2 juta per km-nya untuk 14 pekerja tersebut.
Nasib buruk kembali menimpa Malil. Uang proyek pengaspalan yang mereka lakukan selama 7 bulan tetsebut dibawa lari oleh pengawas. Uang yang dipegangnya hanya panjar yang diberikan sebesar Rp500 ribu.
”Rp500 ribu itu saja yang kita rasakan. Padahal harusnya kita bisa dapatkan Rp1,2 juta per orang,” ucapnya.
Usai ditipu, ia kembali mencoba bekerja dengan menjaga kebun coklat milik orang lain di Kolaka dengan sistem bagi 4:1. Selama 3 tahun ia bertahan pada pekerjaan tersebut. Ia mengaku, di sanalah ia pernah memegang uang banyak hingga Rp3 juta karena nilai jual coklat yang tinggi hingga Rp105 ribu per kg.
Selanjutnya, ia memilih kembali ke Kota Kendari bersama keluarganya dan memilih menjadi kuli bangunan untuk mengisi hari-harinya dengan gaji Rp1.500 per harinya. Namun ia kembali ditipu oleh pengawasnya.
Atas pengalaman pahitnya karena sering ditipu tersebut, Malil memilih kembali ke pekerjaan awalnya yaitu memulung. Hari demi hari ia jalani dengan ikhlas dan tekun hingga ia mendapatkan pencapaian.
Sekolahkan 3 Anak dan Punya Aset
Malil kemudian mempersunting seorang gadis Lombok bernama Kartina pada tahun 2000. Pernikahannya pun ia biayai dengan tabungan hasil mulungnya sebanyak Rp2 juta.
Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai 3 orang anak yang tengah menempuh pendidikan masing-masing di SMKK 5 Kendari, SMP 12 Kendari dan SD Baruga. Pendidikan ketiga anaknya itu juga dibiayai dari hasil mulungnya.
Tak hanya itu, beberapa aset ia miliki dari hasil mulungnya, di antaranya ia berhasil membeli tanah dengan cara mencicil di Baruga oleh seorang teman pada tahun 2002 dengan ukuran 18×47 meter seharga Rp6 juta.
“Dulu masih murah tanah di Baruga,” ungkapnya.
Setelahnya, ia kembali membeli tanah kaveling dengan ukuran 10×15 meter seharga Rp20 juta. Malil kini juga telah memiliki tanah di Konda, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) dengan ukuran 9×35 meter dari salah seorang warga yang meminjam yang kepadanya sebesar Rp10 juta dengan jaminan tanah tersebut.
Ia juga kini memiliki 4 unit sepeda motor yang dipakainya untuk mengangkut sampah serta kendaraan anak-anaknya. Malil juga sempat mencicil mobil dengan DP Rp35 juta untuk dipakainya mengangkut barang bekas yang telah ia kumpulkan untuk ditimbang.
Namun mobil tersebut kini berada di Polda Sultra karena disalahgunakan oleh sopirnya untuk mencuri. Kini ia hanya mengikuti kemauan anaknya dengan uang hasil mulungnya yang saat ini ia bisa kumpulkan rata-rata Rp700 ribu hingga Rp800 ribu per bulan. (SF)
Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Muhamad Taslim Dalma