ZONASULTRA.ID, KENDARI – Bila masa paceklik anggrek serat (Dendrobium utile) tiba, jadi tantangan besar bagi perajin anyaman di Desa Ameroro, Kabupaten Konawe. Mereka menunggu sampai berbulan-bulan lamanya mendapatkan pasokan bahan baku dari pencari anggrek di kabupaten sebelah, Kolaka Timur.
Tak ada jalan lain. Sebab daerah itu satu-satunya sumber bahan baku. Tidak mudah pula mendapatkannya. Lokasi tumbuh anggrek serat yang populer dengan nama sorume itu berada jauh dalam hutan di pucuk-pucuk gunung.
Bagi para perajin, anggrek serat bernilai istimewa karena menjadi sumber penghidupan. Sedangkan bagi masyarakat suku Tolaki, anggrek itu disebut sebagai tanaman dewa. Saking tinggi kedudukannya, sorume hanya digunakan khusus sebagai penunjang ritual adat.
Di masa lalu, kayu-kayu penyusun bagian atas rumah istana raja juga menggunakan ikatan dari anggrek serat. Makanya ada istilah “Laika sorume” yang artinya rumah yang diikat dengan anggrek serat.
sorume umumnya tumbuh di atas-atas pohon. Persebarannya yang unik itu dimaknai khusus oleh masyarakat. Mereka menyebutnya tumbuhan para dewa yang populer dengan istilah ‘Sangia’.
Dahulu juga, hasil anyaman perajin berupa songkok sorume hanya digunakan oleh para bangsawan yang disebut dengan “anakia”. Warna kuning alami pada sorume memiliki makna kejayaan, disebut juga “bari sangia” yang artinya warna dewa.
Berita Terkait :
Jalan Panjang Pelestarian Sang Tanaman Dewa
Meskipun memiliki nilai penting di masyarakat, anggrek serat kini berada dalam ancaman kepunahan karena habitatnya yang kian menyempit. Para perajin bahkan harus menunggu berbulan-bulan demi mendapatkannya.
Perajin di Desa Amororo, Asnawati, menceritakan kebutuhan yang besar akan sorume tak selalu dapat dipenuhi. Bahan baku tersebut tak tersedia di daerahnya melainkan harus diimpor dari daerah tetangga. Ia sendiri pernah menunggu sampai tiga bulan setelah sorume dipesan.
Meskipun makin sulit didapatkan, bahan anyaman dari anggrek serat selalu ditunggu. Nilai jual anyaman sorume pun jauh lebih tinggi. Selembar tikar adat berukuran 100 cm x 60 cm berharga Rp2 juta.
Harganya yang mahal sepadan dengan daya tahan tikar yang bertekstur serat alam. Selain itu, warnanya yang kuning keemasan dan berkilap alami itu memberi kesan elegan.
Proses pengolahannya cukup panjang. sorume yang masih kaku dan keras direndam air selama sepekan. Lalu, setiap batang umbi dikeluarkan isi dalamnya hingga tersisa bagian serat luar yang berwarna kuning keemasan. Serat ini lalu dililitkan ke batangan bambu untuk dijemur 3 hari.
Setelah dibuka dari batangan bambu, berbentuk pita kecil yang siap dianyam. Pita ini dibelah-belah memanjang sesuai keperluan, barulah dianyam menjadi beragam hasil. Asnawati memproduksi songkok, tikar adat, alas kalosara (berbentuk tikar persegi), dan tas.
Pelanggan Asnawati kebanyakan adalah masyarakat suku Tolaki. Hasil anyaman digunakan sebagai keperluan adat. Di masa kini, hasil anyaman sorume telah dipasarkan lebih luas lagi. Awal April lalu, misalnya, Asnawati menjual 8 songkok kepada seseorang untuk dibawa ke Batam. Rupanya, di sana juga untuk digunakan dalam acara adat warga perantauan suku Tolaki.
Pelanggan biasanya datang langsung ke rumah Asnawati yang terletak tepat di depan jalan raya itu. Ada pula yang memesan lewat media sosial. Dalam pemasaran lewat media sosial ini, Asnawati dibantu oleh anaknya.
“Sekarang ini datang terus pesanan. Jadi siapa yang duluan memesan dia yang dibikinkan duluan. Ini sekarang ada dua yang menunggu dibuatkan pesanannya, satu orang dari Konawe Selatan dan satu dari kampung sini,” ujar Asnawati sembari memperlihatkan aneka anyaman yang dibuatnya, 15 April 2022.
Meski banyak pesanan, ia tak serta merta menaikkan harga, begitu pula pembeli tidak lagi menawar dengan harga yang ada. Pembeli yang datang kadang geleng-geleng kepala karena rumitnya pembuatan anyaman itu.
Bahan Baku Terbatas
Tantangan dalam menjalankan usaha ini bagi Asnawati adalah bahan baku. Ia tak dapat memesan terlalu banyak sorume sekaligus karena modalnya besar. Kalaupun jelang persedian bakal habis, kadang waktu pemesanan bisa berbulan-bulan hingga bahan baku sampai ke tangannya.
Misalnya untuk bahan baku yang ada saat ini, ia harus menunggu tiga bulan dan harus membayar uang muka. Harganya per batang Rp600 sampai Rp1.000 tergantung panjangnya. Dengan modal Rp3,3 juta, ia mendapatkan 5.000 batang umbi anggrek serat.
Sudah pernah dicobanya membudidayakan anggrek serat di pekarangan rumah. Hanya sekali berhasil dipanen. Tanaman lalu mati. Akhirnya, ia hanya mengandalkan bahan baku dari pencari anggrek serat di Kolaka Timur. Di Konawe sendiri, sorume tidak tumbuh alami.
Karena terbatasnya sorume, sejumlah perajin mulai beralih menggunakan bahan baku lain. Galeri Rumah Laikanggu di Kendari, misalnya, membuat anyaman tikar adat dan songkok dari bahan pandan hutan. Perbandingan harganya, bila songkok dari bahan sorume berharga Rp1 juta sampai Rp1,5 juta, maka tiruannya yang dari bahan pandan hutan hanya Rp250 ribu saja. Sementara tikar sorume seharga Rp2,5 juta, maka tiruannya hanya Rp450 ribu saja.
“Sekarang karena barang itu langka (kerajinan sorume) sementara itu ciri khasnya kita orang Tolaki, saya coba buatkan KW-nya dari bahan pandan hutan. Kami buat semirip mungkin. Perbedaannya, kalau sorume itu sangat halus sekali, kalau ini pandan masih agak kasar potongan-potongannya,” ujar Fatmawati Harli Tombili selaku Pemilik Galeri Rumah Laikanggu, 24 April 2022.
Untuk dapat membuat tiruan tersebut, karena tenaga kerja lokal yang terbatas maka Fatmawati memesannya di Jawa. Ia meminta penganyam di sana untuk membuatnya semirip mungkin mulai dari warnanya hingga bentuknya. Hasilnya, kini sudah tersedia di galerinya sebagai barang jualan.
Untuk mengatasi keterbatasan bahan baku sorume, perajin anyaman, Nastin (64), mulai membudidayakan anggrek serat. Seluruh anggrek tumbuh di bawah naungan, di samping rumahnya. Ia menyiramnya tiga kali seminggu dan rutin memperhatikan perkembangannya. Bila ada batang yang sudah menua dan layu, ia akan segera memotongnya sehingga segera tumbuh tunas baru. Tanaman itu pun dijualnya Rp150.000 hingga Rp500.000 per pot.
Bila tak laku terjual dan sudah rimbun, ia akan memanen anggrek serat itu untuk dijadikan bahan baku anyaman. “Itu yang di pot sudah saya panen tapi hanya 20 batang. Itu kurang sekali karena untuk membuat satu songkok saja perlu 200 batang,” tutur Nastin.
Nastin dan Asnawati bergabung dalam kelompok kerajinan Medulu. Keduanya pun saling membantu dan bersama-sama memberdayakan warga sekitar. Para ibu rumah tangga di sana turut menganyam sebagai kerja sambilan. Hasilnya akan diupah oleh Asanawati dan Nastin.
Regenerasi Penganyam
Tiga dekade yang lalu, jumlah perajin anyaman sorume masih sekitar 10 orang di kampung itu. Kini, tersisa dua orang pemilik usaha. Para perajin lainnya beralih menggunakan bahan lain karena kian langkanya sorume.
Juru Bicara Adat Desa Ameroro, Aswan mengaku khawatir seiring habitat anggrek yang kian menyempit, jumlah perajin pun terus berkurang. Sebagian ada yang memasuki usia senja. Ada pula yang sudah meninggal dunia.
Berita Terkait :
Tantangan Besar Melindungi Habitat Anggrek “Wonua Sorume”
Hal senada dikemukakan Sekretaris Dekranasda Konawe, Sudriani, bahwa di Ameroro tersisa segelintir perajin saja. Pihaknya telah mengupayakan regenerasi serta mengadakan sejumlah pelatihan dan dukungan pemasaran. Namun, upaya regenerasi perajin sorume tampaknya masih harus melalui perjalanan yang panjang. (*)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma
“Liputan ini merupakan karya dari Fellowship Biodiversitas SISJ-EJN 2022”