ZONASULTRA.ID, KENDARI – Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi melalui internet. Namun di sisi lainnya, informasi yang ada tidak selamanya valid karena terdapat juga informasi bohong atau yang dikenal dengan istilah hoaks.
Karena berisi informasi yang tidak benar maka hoaks dapat menyesatkan, khususnya bagi mereka yang tidak bisa membedakan mana informasi bohong dan benar. Maka di sinilah perlunya dilakukan cek fakta sehingga dapat memberikan pencerahan terkait mana informasi yang benar kepada publik.
Salah satu media daring arus utama seperti Tempo.co menyediakan kanal khusus cek fakta. Dalam kanal ini banyak berisi artikel cek fakta terhadap video, foto, hingga pesan teks. Pada informasi yang disimpulkan “sesat” dan “keliru”, Tim Cek Fakta Tempo memberikan cap “JANGAN SEBARKAN HOAKS”.
Salah satu jurnalis pemeriksa fakta yang namanya tercantum dalam kanal redaksi Cek Fakta Tempo adalah Zainal A. Ishaq. Sehari-hari Zainal yang akrab disapa Inal biasa duduk di warung kopi dalam Kota Kendari untuk fokus bekerja. Sebuah laptop dengan jaringan internet yang memadai, sudah cukup bagi Inal untuk memulai pekerjaannya.
Pemeriksaan fakta terhadap satu konten dilakukannya sendiri, kadang juga dilakukan secara tim. Inal akan memeriksa konten-konten yang umumnya beredar di platform media sosial (medsos) seperti Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, TikTok dan lain sebagainya.
Selain memantau platform medsos, Tempo juga membuat chatbot sebagai sarana bagi publik untuk memberikan informasi yang diduga hoaks. Inal dan rekan-rekannya merespon laporan yang masuk di chatbot itu dengan melakukan cek fakta, tentu dengan disaring terlebih dahulu.
Dalam melakukan verifikasi cek fakta terhadap suatu informasi, yang jadi pertimbangan adalah apakah topiknya penting atau tidak untuk publik, apakah laporan itu diklaim sebagai fakta, klaim itu menjadi bahan diskusi atau pembicaraan yang luas atau viral, dan apakah sumber laporan sudah pernah diverifikasi.
Secara teknis, dalam memeriksa fakta Inal banyak mengandalkan sejumlah tools (alat yang melakukan perintah pada sebuah aplikasi). Misalnya untuk mengecek sumber asli gambar dengan menggunakan tools “image search” yang terdapat dalam beberapa aplikasi mesin pencari (search engine) seperti Google.com, Yandex.com, dan Bing.com. Ada pula mesin pencari khusus gambar yakni Tineye.com.
Contoh, pada Yandex.com terdapat tools “image search” bisa digunakan untuk mengetahui informasi sebuah foto atau gambar yang beredar di internet. Caranya, dengan mengunggah foto atau tangkapan layar ke image search Yandex maka akan ditampilkan sumber dari gambar utama, situs-situs web yang pernah mengunggah, hingga tanggal paling lawas gambar serupa diunggah. Teknik serupa juga bisa digunakan untuk mengecek keaslian atau menelusuri video dengan cara mengunggah tangkapan layar (screen shoot).
Namun tidak selamanya mesin pencari dapat diandalkan meskipun sudah beberapa kali dicoba. Kadang juga fitur-fiturnya dapat membantu sedikit tapi masih kurang memberikan informasi yang memadai. Pada akhirnya Inal harus melakukan penelusuran dengan melakukan wawancara narasumber atau mencari dokumen-dokumen yang bisa mendukung pemeriksaan fakta sebagaimana pekerjaan jurnalis pada umumnya.
Seperti yang terjadi pada Juni 2022 lalu, tersebar di medsos sebuah video berisi seseorang tengah membelah buah anggur yang tak punya biji. Video tersebut dibagikan dengan klaim bahwa buah tanpa biji hasil rekayasa genetika berbahaya dan haram.
Untuk memeriksa klaim tersebut, Inal mewawancarai ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Antonius Suwanto yang memastikan bahwa buah tanpa biji hasil modifikasi genetik, seperti pada semangka tanpa biji, tidak berbahaya. Menurut Antonius, buah tanpa biji biasa dihasilkan dari variasi genetik yang terjadi secara alami.
“Ada juga teman harus menelepon ke kantor polisi di Malaysia Timur untuk membuktikan sebuah kasus. Tapi yang paling banyak kalau konfirmasi ke luar negeri itu melalui email, apalagi kalau itu ahli maka janjian dulu,” tutur Inal saat berbincang dengan penulis, 4 Juli 2022.
Pengalaman lainnya saat Inal terlibat dalam program Cekfakta.com yang merupakan sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta, di mana Tempo bersama sejumlah media lain sebagai media partner. Ketika itu yang dilakukan adalah pemeriksaan fakta debat beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) hingga debat calon presiden 2019. Dalam acara debat ini perlu dilakukan cek fakta karena ada potensi kandidat memaparkan informasi yang tidak benar sehingga bisa merugikan publik.
Misalnya dalam debat, ada calon kepala daerah petahana (incumbent) yang mengklaim berhasil meningkatkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sekian persen selama menjabat maka saat itu juga Inal bersama tim melakukan cek fakta dengan mencari dokumen terkait. Selain itu, tim cek fakta juga menyiapkan narasumber secara offline yang bisa langsung diwawancarai saat itu juga, seperti terkait anggaran adalah ahli dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dan akademisi.
Setelah selesai proses verifikasi, ada lima jenis kesimpulan yang akan diambil Inal. Pertama, “benar” bila pernyataan atas suatu klaim akurat. Kedua “sebagian benar” yakni hanya sebagian dari suatu pernyataan yang benar. Ketiga “tidak terbukti” saat pernyataan tidak bisa disimpulkan akurat atau tidak.
Lalu, keempat, “sesat” bila pernyataan menggunakan fakta dan data yang benar tapi cara penyampaian atau kesimpulannya keliru serta mengarahkan ke tafsir yang salah. Kelima “keliru” saat pernyataan suatu klaim tidak akurat.
“Kita tidak hanya sekadar membuktikan foto atau video itu palsu, kita harus jelaskan lagi konteksnya apa. Jadi kita mencerahkan kenapa ini keliru makanya artikel penjelasan cek fakta di Tempo itu akan panjang,” tutur Inal.
Selama melakukan pemeriksaan fakta, Inal belum pernah salah karena model pemeriksaannya berlapis. Makanya Inal paling sedikit mengajukan empat bukti untuk membantah klaim seseorang, kadang juga bisa sampai 6 dan 8 bukti. Bila hanya mengajukan 2 bukti maka artikel akan ditolak Redaksi Tempo karena dianggap kurang kuat untuk mematahkan klaim.
Kerja-kerja yang dilakukan Inal di Tempo tersebut mengikuti standar International Fact-Checking Network (IFCN) yakni sebuah organisasi cek fakta berskala global. Media daring Tempo.co sendiri sudah masuk dalam daftar media jejaring IFCN sejak Agustus 2018 lalu.
Tempo juga menjalankan kanal cek fakta sesuai dengan kode prinsip IFCN yaitu nonpartisan dan keadilan, transparan terkait sumber, transparan dalam pendanaan dan organisasi, transparan mengenai metodologi, serta terbuka dan jujur dalam melakukan koreksi.
Tantangan Pemeriksa Fakta
Sebelum jadi pemeriksa fakta, Inal berpengalaman sebagai jurnalis di berbagai stasiun TV swasta. Keterampilannya melakukan cek fakta didapatkannya saat mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan Google dan Internews pada 2018. Setelah itu dia menjadi trainer/pelatih di beberapa pelatihan cek fakta, hingga pada 2019 diterima bekerja sebagai pemeriksa fakta Tempo.
Untuk memeriksa satu klaim, Inal bisa cepat menyelesaikannya hanya dalam hitungan satu hingga dua jam tapi bisa juga menghabiskan waktu berhari-hari. Menurut Inal, salah satu penyebab rumitnya pemeriksaan karena dari tahun ke tahun produsen hoaks makin pintar merancang konten.
Inal mengamati produsen hoaks terus meningkatkan tingkat kerumitan konten agar tidak mudah dilabeli hoaks oleh pemeriksa fakta. Misalnya gambar-gambar dari berbagai negara digabung dengan gambar Indonesia, lalu diedit sedemikian rupa supaya tidak mudah dibaca oleh tools, ditambah lagi dengan menghapus metadatanya (informasi tentang asal, struktur, karakteristik, dan sebagainya).
Karena hal demikian, Inal bisa menghabiskan waktu hingga empat hari hanya untuk mengerjakan satu artikel cek fakta. Namun dia juga beberapa kali sampai menyerah meski sudah mencoba semua cara sesuai metodologi.
“Kalau sudah lelah di depan laptop, apalagi kata kunci yang saya gunakan tidak pas dan sudah pakai beberapa tools yang rumit tetap tidak ketemu, biasanya saya juga sampai buntu maka saya oper ke teman. Justru kadang orang lain bisa dapat dengan cara yang sederhana,” ujar Inal.
Inal juga kadang harus berhadapan dengan konten yang dapat memicu trauma psikis, yakni apabila melakukan pemeriksaan informasi dalam bentuk video yang menampilkan darah atau tentang kematian. Videonya harus ditontonnya dari awal sampai akhir.
Misalnya video tentang pembunuhan dan perang maka Inal akan menontonnya dari A sampai Z, bahkan berulang kali. Hal ini tentu saja bisa menimbulkan trauma. Oleh karena itu ada standar operasional prosedur (SOP) yang dikeluarkan oleh jejaring pemeriksa fakta bahwa dianjurkan untuk pemeriksaan konten mengandung kekerasan harus di jam-jam tertentu.
Inal sendiri pernah sekali menjalani trauma healing (pemulihan dari trauma) yang merupakan program dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan salah satu komunitas. Dari hasil survei program itu, Inal diputuskan untuk mengikuti trauma healing secara daring.
“Saya ikut trauma healing itu karena memang kita kadang tidak sadar bahwa kita sedang trauma dan hanya mereka yang tahu seperti apa traumanya setelah mewawancarai saya dengan sejumlah pertanyaan,” ucap Inal.
Tantangan lainnya adalah besarnya potensi mengalami serangan kekerasan akibat suatu konten yang diungkap kebenarannya. Inal sendiri pernah sekali mengalami serangan doxing yang merupakan bentuk kekerasan berbasis internet dengan mengumbar informasi pribadi tanpa izin.
Ketika itu pada 2020, Inal melakukan pemeriksaan terhadap klaim seorang dokter hewan tentang pengobatan Covid-19. Kesimpulan yang didapatkan Inal bahwa klaim sang dokter keliru. Rawannya adalah sang dokter memiliki basis pendukung yang kuat dengan jumlah ribuan.
Ketika klaim sang dokter dipatahkan secara serta merta para pendukung marah dan langsung menyerang Inal di medsos. Sebagai langkah antisipatif, semua bukti wawancara terkait pemeriksaan fakta itu disimpannya dengan baik untuk bahan laporan ke redaksi.
Inal juga langsung melaporkan serangan itu, yang ditanggapi dengan cepat oleh Redaksi Cek Fakta Tempo. Atas saran dari Redaksi Tempo, Inal menonaktifkan semua akun medsosnya sebagai langkah awal. Selanjutnya, Tempo berkoordinasi dengan semua jejaring pemeriksa fakta di Indonesia, termasuk berkoordinasi dengan lembaga keamanan digital.
“Upaya terakhir itu menyiapkan tim hukum seandainya ini akan panjang prosesnya. Saya merasa nyaman di situ karena ada dukungan yang kuat dari redaksi Tempo,” ucap Inal.
Kendati dihadapkan dengan berbagai tantangan, Inal mengaku masih senang dengan pekerjaannya sebagai pemeriksa fakta yang sudah sampai 3 tahun. Dia merasa ada kepuasan tersendiri ketika berhasil memecahkan satu konten hoaks yang sangat rumit, apalagi bila sudah viral dan meresahkan masyarakat.
Hadirnya Cek Fakta Tempo
Cek fakta bukanlan sesuatu yang asing bagi Tempo karena dalam praktik-praktik jurnalistik yang dijalankannya selalu melakukan pengecekan fakta. Hanya saja, dulu fakta yang diverifikasi tidak spesifik ke hoaks.
Seiring mulai banyaknya informasi simpang siur di masyarakat imbas kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pada 2018 kanal Cek Fakta Tempo lahir. Apalagi saat itu bertepatan dengan momen pilkada serentak dan jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang mana banyak konten hoaks beredar di dunia maya maka kanal Cek Fakta Tempo hadir untuk menjawab persoalan di tahun tersebut. Di awal kiprahnya itu, Cek Fakta Tempo terbantu oleh International Fact-Checking Network yang menjalin hubungan kerja sama.
Kepala Tim Medialab Tempo.Co Moerat Sitompul menceritakan pada awal pembentukan kanal Cek Fakta Tempo hanya dikelola tiga orang. Karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM) ini maka yang banyak diperiksa adalah isu-isu yang dikuasai yaitu soal politik, hukum, dan ekonomi. Ketiga hal ini juga menjadi fokus karena memang saat itu menjadi perhatian masyarakat.
Setelah momen pilkada serentak dan pilpres selesai, Tim Cek Fakta Tempo banyak memeriksa fakta yang berkaitan dengan kinerja pemerintah karena banyak ucapan tokoh politik yang tidak tepat dan ada juga yang dipelintir. Lalu yang paling seru, kata Moerat, ketika pandemi Covid-19 datang, informasi banyak yang simpang siur bukan hanya dari masyarakat tapi juga dari pejabat publik yang harus diluruskan.
“Sekarang dengan bertambahnya jumlah pemeriksa fakta jadi delapan orang kita menjadi lebih leluasa dalam memverifikasi isu. Contohnya isu-isu kesehatan, ini jadi isu yang paling banyak sekarang beredar,” ujar Moerat melalui panggilan WhatsApp, 26 Juli 2022.
Dalam melakukan pengecekan fakta, Tempo fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik atau yang menjadi kebutuhan infomasi masyarakat. Tempo juga membuat batas untuk tidak masuk ke hal-hal privat seperti isu selebritas.
Moerat memastikan artikel-artikel Cek Fakta Tempo selalu akurat sehingga belum pernah ada yang salah. Soal akurasi ini sudah “mendarah daging” di Tempo dengan adanya pemeriksaan berjenjang. Alurnya, setelah artikel disusun oleh jurnalis pemeriksa fakta, akan diperiksa lagi oleh redaktur, lalu redaktur pelaksana. Bila diperlukan, pemeriksaan juga akan dilakukan oleh redaktur eksekutif dan pemimpin redaksi. Kemudian terakhir artikel akan melewati penyelaras bahasa.
Hasilnya, Moerat mengamati publik sangat antusias. Selama kanal Cek Fakta Tempo hadir, jumlah pembaca cenderung naik. Banyaknya pembaca juga kadang tergantung momen-momen yang tengah ramai di masyarakat. Pada momen Pilpres 2019 dan ketika pandemi Covid-19, angka kunjungan atau trafik kanal cek fakta meningkat dan bersaing dengan kanal-kanal Tempo.Co lainnya.
“Mereka (pembaca) antusias untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dan salah satu pintu untuk mereka mengetahui kebenaran itu yah dari Tempo,” ujar Moerat.
Selain itu, tingginya respon publik juga ditandai dengan banyaknya permintaan wawancara terhadap Tim Cek Fakta Tempo mulai dari kalangan profesional, akademisi, maupun yang hanya ingin mengobrol biasa. Mereka ingin mengetahui tentang bagaimana kerja tim cek fakta, pendekatan yang digunakan, hingga struktur organisasi kanal cek fakta.
Ada pula pihak-pihak tertentu yang merespon secara negatif. Dua jurnalis pemeriksa fakta Tempo Zainal A. Ishak dan Ika Ningtyas mengalami doxing karena melakukan pengecekan fakta terhadap klaim terkait Covid-19 pada tahun 2020 lalu.
Ketika itu Tempo memberikan perlindungan secara kelembagaan sehingga yang maju adalah tim legal Tempo. Sebagaimana kebiasaan di Tempo soal advokasi ini, lanjut Moerat, bukan saja untuk kanal Cek Fakta tapi sudah dari dulu untuk semua reporter Tempo. Tempo sudah memiliki mekanisme dan sudah berkali-kali melakukan advokasi terhadap reporternya.
Kendati begitu, kanal Cek Fakta Tempo akan tetap fokus memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Dalam melawan hoaks, Tempo tak ingin sendiri. Oleh karena itu Tempo beberapa kali mengadakan pelatihan cek fakta.
Masyarakat juga diajak berdiskusi langsung dengan Tim Cek Fakta Tempo, salah satunya melalui grup Telegram. Di grup ini dengan jadwal setiap Jumat, mereka berdiskusi dan berbagi informasi seputar hoaks dan terkait cara-cara pengecekan fakta maupun hal-hal yang tengah hangat di masyarakat.
Moerat menganggap langkah-langkah yang dilakukan Tempo tersebut sudah tepat dalam rangka menjawab tantangan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang tak hanya memiliki sisi positif, tapi juga ada yang negatif.
“Mulanya hoaksnya cuma teks, lalu berkembang jadi foto, kemudian jadi multimedia, sekarang terakhir jadi deppfake (manipulasi foto atau video dengan teknologi kecerdasan buatan). Dulu kan yang namanya deepfake itu tidak ada,” ujar Moerat. (Bersambung ke Bagian-2)
Penulis: Muhamad Taslim Dalma