ZONASULTRA.ID, KENDARI – Selain media seperti Tempo, ada juga sebuah organisasi nirlaba (non-profit) bernama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang bergerak mematahkan hoaks. Mereka terdiri dari para aktivis, programmer, dan warga masyarakat yang peduli dengan akurasi informasi di dunia maya.
Dalam menangani banyaknya hoaks yang beredar, Mafindo memiliki 7 pemeriksa fakta senior yang profesional. Selain itu, terdapat 10 pemeriksa fakta junior yang merupakan mahasiswa tapi 2 sudah mengundurkan diri karena sudah menyelesaikan kuliah dan dapat pekerjaan di tempat lain.
Mafindo juga bekerja sama dengan 24 media massa, termasuk di dalamnya Tempo.co, Katadata.co.id, Kompas.com, Merdeka.com, Bisnis.com, Tirto.id, dan lainnya. Bentuk kolaborasinya dengan menggagas Cekfakta.com dan pada 2019 lalu bersama-sama melakukan cek fakta debat pemilihan presiden.
Hoaks di Indonesia
Berdasarkan data yang dihimpun Mafindo, jumlah hoaks yang teridentifikasi (diperiksa faktanya) pada 2018 sebanyak 997, dan pada 2019 sebanyak 1.221. Lalu, jumlah hoaks meningkat drastis pada 2020 jadi sebanyak 2.304, dan turun pada tahun 2021 jadi 1.888.
Pemeriksa Fakta Mafindo, Dedy Helsyanto menjelaskan pada 2020 jumlah konten hoaks meningkat tinggi berisi isu politik dan tentang pandemi Covid-19. Lalu pada 2021 jumlahnya menurun diduga karena sudah ada penanganan Covid-19 secara menyeluruh mulai dari kebijakan hingga vaksinasi.
“Menariknya jelang 2024 ini hoaks politik ini cukup besar. Di semester pertama tahun 2022 ini, hoaks politik itu berada di urutan nomor satu,” ujar Dedy melalui telepon, 9 Juli 2022.
Hoaks-hoaks tersebut diperiksa faktanya lalu hasilnya diterbitkan di situs periksa fakta milik Mafindo dan disebar ke grup Facebook Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks. Selain itu, hasil cek fakta juga diteruskan ke Instagram, Twitter, dan lain sebagainya.
Dedy mengamati selama ini modus pembuat hoaks yaitu menggunakan akun anonim dan memakai situs web gratisan. Konten hoaks mereka umumnya berisi foto asimetris, video editan, dan narasi provokatif. Dalam hoaks tentang politik, ada juga modus playing victim yakni membuat hoaks untuk menyerang diri sendiri sehingga memperoleh keuntungan politik.
Mengenai klasifikasi hoaks, Mafindo membaginya ke dalam 7 jenis. Pertama, satire/parodi yaitu konten yang dibuat tanpa ada niat untuk merugikan tapi berpotensi untuk mengelabui. Kedua, koneksi yang salah (false connection) yakni ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten. Ketiga, konteks yang salah (false context) yakni ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah.
Lalu keempat, konten menyesatkan (misleading content) yaitu penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu. Kelima, konten tiruan (imposter content) yakni ketika sebuah sumber asli ditiru. Keenam, konten yang dimanipulasi (manipulated content) yakni ketika informasi atau gambar yang asli dimanipulasi untuk menipu. Ketujuh, konten palsu (fabricated content) yaitu konten baru yang 100% salah dan didesain untuk menipu serta merugikan.
“Dari tujuh itu, yang masuk tiga terbesar itu konten yang menyesatkan, konten yang dimanipulasi, dan konteks yang salah. Akhir-akhir ini yang banyak hoaks itu terkait isu politik, berkelindan dengan isu suku agama ras dan antar golongan (SARA),” ujar Dedy.
Hoaks dan penanganannya jadi tantangan bagi Indonesia di tengah terus bertambahnya pengguna internet. Dari data We Are Social yang dikutip Mafindo, pengguna internet di Indonesia per Februari 2022 mencapai 204,7 juta dari total populasi 277,7 juta. Jumlah itu telah meningkat dibanding data per Januari 2021 di mana jumlah pengguna internet 202,6 juta dari total populasi 274,9 juta penduduk Indonesia.
Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC) yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2021, dinyatakan bahwa penggunaan internet banyak dilakukan untuk berkomunikasi melalui pesan singkat, menggunakan media sosial, serta mencari informasi.
Ketika mengakses internet tersebut, 25% sampai 55% masyarakat terpapar hoaks. Sementara hampir separuh masyarakat (45,5%) ragu dalam mengidentifikasi kebenaran suatu berita atau informasi serta hampir 12% pernah menyebarkan hoaks yang kebanyakan karena lalai (tidak dipikir baik-baik).
Tiga topik konten yang paling banyak ditemukan masyarakat mengandung hoaks adalah politik (69,3%), kesehatan (39,7%), dan agama (29,2%). Topik lainnya adalah tentang kerusuhan (13,4%), lingkungan (21,4%), dan bencana alam (10,9%).
Direktur Riset Katadata Insight Center, Mulya Amri mengatakan di tengah maraknya hoaks itu masyarakat pengguna internet sudah mulai bagus dalam melakukan klarifikasi suatu informasi hoaks yaitu dengan mencari rujukan di internet. Responden yang mencari rujukan di internet mencapai 59,6%, sementara yang bertanya pada keluarga dan saudara 47,6%.
Kalau dibandingkan dengan survei serupa, pada tahun 2020 yang paling banyak untuk mengklarifikasi adalah bertanya pada keluarga dan saudara. Jadi, kata Mulya, dulu orang malas mencari sendiri di internet, padahal kalau hanya bertanya pada keluarga bisa jadi tidak mengetahui juga informasi yang benar.
“Perkiraan kami karena kini sudah mulai muncul kanal-kanal cek fakta (di media massa). Lalu orang juga kapasitasnya (literasi digital) sudah lebih bagus. Kemampuan untuk menggunakan internet semakin baik, kalau ada informasi mereka bilang ‘oh ya tinggal di-googling aja’,” tutur Mulya melalui telepon, 14 Juli 2022.
Indeks Literasi Digital masyarakat Indonesia memang sudah cukup sedikit membaik di tahun 2021 yakni pada level “sedang” dengan skor 3,49 (dari skala 1-5). Sedangkan survei serupa pada 2020, indeks literasi digital nasional skornya 3,46. Perbaikan terjadi pada aspek budaya digital (digital culture) dan kecakapan digital (digital skills), tapi ada penurunan pada aspek etika digital (digital ethics) dan keamanan digital (digital safety).
Khusus terkait peran para pemeriksa fakta di kanal-kanal cek fakta, Mulya sangat optimis hal itu berperan positif bagi pengklarifikasian informasi yang perlu dicek oleh masyarakat, apalagi dengan adanya perbaikan pada budaya digital dan kecakapan digital. Situs web media massa yang memiliki kanal cek fakta membantu masyarakat yang sudah bisa secara mandiri mencari informasi di internet.
Perlu diketahui, Katadata Insight Center dan Kominfo dua kali melakukan survei di Indonesia yakni pada Agustus 2020 dan Oktober 2021. Pada 2020 respondennya berjumlah 1.670 orang sedangkan pada 2021 sebanyak 10.000 orang. Pengambilan sampel di 34 provinsi itu menggunakan cara multi-stage random sampling (acak) dengan teknik home visit (bertemu langsung).
Peran Pemeriksa Fakta
Senada dengan Mulya Amri, pemeriksa fakta dari Mafindo Dedy Helsyanto juga menyatakan peran pemeriksa fakta sangat penting. Keberadaan mereka cukup strategis untuk mengatasi banyaknya hoaks yang beredar.
Kata Dedy, sebaran hoaks lebih besar dibanding pemeriksaan faktanya. Salah satu yang dapat mengambil peran adalah media massa, khususnya yang memiliki kanal cek fakta. Media massa dan jurnalis dapat membantu menekan kemunculan dan penyebarluasan hoaks. Kemudian, terdapat hoaks di tingkat lokal yang kadang tidak terjangkau oleh Mafindo maupun media nasional maka peran media lokal sangat dibutuhkan untuk berkontribusi dalam melakukan periksa fakta.
Hoaks di tingkat regional kadang penyebarannya melalui WhatsApp pada grup-grup tertentu yang terbatas atau media sosial yang sifatnya lokal. Bila ada media atau jurnalis lokal yang mengambil peran maka hoaks-hoaks yang berisiko tinggi terkait politik dan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) bisa segera ditangani.
“Tapi bila kawan-kawan jurnalis atau media lokalnya tidak berkontribusi, hanya menunggu kawan-kawan di pusat. Yah tantangannya nanti keburu hoaksnya sudah menyebar kemana-mana dan sudah ada korban jiwa,” ujar Dedy yang juga merupakan Manajer Program Indonesia Periksa Fakta.
Di balik pentingnya peran pemeriksa fakta, ada tantangan berupa serangan kekerasan. Pada saat Pilpres 2019, beberapa pemeriksa fakta Mafindo, termasuk Dedy mengalami intimidasi melalui pesan chat pribadi. Dedy sendiri sampai di-doxing yakni fotonya disebar dan dikomentari dengan perkataan yang tidak pantas di media sosial.
Dari kalangan jurnalis juga terkena serangan kekerasan di internet, salah satunya dari Liputan6.com bernama Cakra pada 2020 lalu. Informasi pribadinya termasuk anaknya disebarkan tanpa izin di internet usai Cakra melakukan cek fakta mengenai figur salah satu partai politik.
“Tantangan ke depan masih bicara tentang keamanan bagi pemeriksa fakta karena mereka berisiko di-bully, di-doxing, dipersekusi,” ujar Dedy.
Langkah ke depan yang juga penting adalah menambah jurnalis atau media untuk berkontribusi dalam melakukan pemeriksaan fakta. Kemudian, para pemeriksa fakta dari media maupun nonmedia perlu memberikan edukasi pada masyarakat untuk melakukan periksa fakta secara mandiri.
Kalau masyarakat atau warganet bisa melakukan pemeriksaan fakta secara mandiri maka tidak harus menunggu jurnalis atau pemeriksa fakta. Hal ini, lanjut Dedy, berguna dalam mitigasi sedini mungkin dari dampak-dampak besar yang dapat ditumbulkan hoaks.
Kunci Pemberantasan Hoaks
Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria mengatakan dalam penanganan hoaks tidak cukup hanya mengandalkan pemeriksa fakta atau kanal-kanal cek fakta. Sebab ada begitu banyak pengguna internet yang memproduksi konten dan menyebarkannya di berbagai aplikasi media sosial (medsos).
“Jadi memang tidak bisa maksimal karena keterbatasan infrastruktur di pemeriksaan fakta. Kita tidak bisa berharap banyak, harus membutuhkan kolaborasi dan partisipasi,” ujar Hariqo melalui telepon, 18 Juli 2022.
Dalam melawan hoaks yang penting adalah dimulai dari pengguna internet dan aturannya. Misalnya ada kontrol yang kuat untuk anak-anak usia 13 sampai 20 tahun karena masa-masa ini belum bisa membedakan mana yang berbahaya dan mana yang tidak. Bisa juga pengguna baru tidak boleh langsung menggunakan tapi harus ada semacam orientasi atau pembelajarannya terlebih dahulu mengenai rambu-rambu bermedsos atau berinternet.
Pemerintah juga harus membuat aturan yang tegas, khususnya terkait kontrol penggunaan internet oleh anak-anak. Hal ini bisa disosialisasikan lewat kementerian-kementerian hingga ke sekolah-sekolah dari SD, SMP, hingga SMA. Siswa-siswi di sekolah juga perlu diberikan pendidikan apa yang boleh dan tidak, bahkan bisa dijadikan mata pelajaran.
Bukan itu saja. Menurut Hariqo, pejabat-pejabat pemerintahan juga perlu diberikan pendidikan mengenai hoaks. Sebab kadang yang memposting maupun menyebar hoaks bukan saja masyarakat tapi para pejabat. Misalnya si pejabat membuat pernyataan bahwa telah membangun jalan 120 kilometer, tapi sebenarnya yang dibangun hanya 100 kilometer.
“Pernyataan-pernyataan dari pejabat juga harus dipastikan dulu kebenarannya. Tidak bisa pemerintah merasa pihak yang bebas hoaks kemudian masyarakat yang harus diawasi. Yah saling intropeksi saja,” ujar Hariqo yang juga pengamat media sosial.
Aturan atau hukum yang adil juga perlu diterapkan. Selama ini, lanjut Hariqo, memang banyak yang ditindak karena menyebar hoaks. Namun, di sisi lain masyarakat menganggap itu belum memenuhi rasa keadilan karena sebagian yang menyebar hoaks belum ditindak.
Hariqo mengamati saat ini penanganan hoaks masih dalam upaya karena pengguna medsos di Indonesia relatif masih baru dan belum teredukasi dengan baik. Filternya bukan saja soal aturan tapi harus ada etika, agama, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial.
Semua pihak perlu tahu bahwa hoaks tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga merugikan keluarga sendiri, termasuk orang yang menyebarkannya. Menurut hariqo, dalam penanganannya tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, atau hanya mengandalkan masyarakat saja. Ada beberapa pihak yang dapat dilibatkan seperti organisasi masyarakat (ormas) hingga perusahaan-perusahaan.
Pada perusahaan, kalau karyawannya menyebar hoaks bisa berimbas pada reputasi perusahaan. Hariqo mencontohkan kejadian perusahaan Holywings pada Juni 2022 lalu yang mempromosikan minuman keras di media sosial. Hal itu memang bukan hoaks tapi lebih kepada tidak menghormati keyakinan orang lain yang dampaknya hingga ke penutupan usaha.
“Ya rambu-rambu itu harus disosialisasikan. Kalau ada satu perusahaan punya karyawan seribu orang maka dia juga harus menjaga postingan seribu orang itu. Jadi semua pihak berkepentingan sebetulnya bagaimana warganya, bagaimana karyawannya, bagimana muridnya, bagaimana mahasiswanya itu bijak bermedia sosial,” ucap Hariqo.
Dengan demikian, dalam persoalan ini tidak bisa hanya mengandalkan satu atau dua pihak saja. Hariqo berkesimpulan bahwa kunci pemberantasan hoaks harus dibuat narasinya untuk kepentingan bersama sehingga efektif. (Artikel sebelumnya: Bagian-1)
Penulis: Muhamad Taslim Dalma