ZONASULTRA.ID – Kaghati merupakan layang-layang khas Pulau Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra). Layang-layang ini dipercaya sebagai peninggalan bersejarah yang telah berumur ribuan tahun.
Masyarakat Muna kerap menyebut layang-layang ini dengan sebutan kaghati kolope karena bahan dasar pembuatannya adalah daun ubi hutan (Dioscorea hispida), yang dalam bahasa daerah setempat disebut kolope.
Kaghati berbeda dengan layangan pada umumnya, baik dari segi pembuatan maupun bahan-bahan yang digunakan. Layang-layang ini dibuat secara tradisional dengan bahan-bahan yang berasal dari alam.
Ada empat bagian penting dalam pembuatan kaghati kolope ini. Pertama kerangka layang-layang yang terbuat dari bambu dan kulit pohon waru. Kedua, daun ubi hutan atau kolope sebagai bahan utama pembuatan layang-layang. Satu per satu lembaran daun ubi hutan ini dijahit agar bisa menyatu. Untuk membuat satu buah kaghati dibutuhkan sekitar 100 lembar daun kolope.
Bagian penting berikutnya adalah tali yang berasal dari serat nanas hutan. Terakhir kamumu yang terbuat dari bambu dan daun lontar. Kamumu ini akan mengeluarkan suara khas di udara saat bergesekan dengan angin.
Salah satu pembuat kaghati kolope di Muna, La Dasar mengatakan kualitas terbaik daun kolope adalah dipetik saat daun sudah menua atau kuning. Daun kolope yang menua dan jatuh sendiri kualitasnya sudah tidak bagus.
Menurut La Dasar, pembuatan kaghati kolope memang tidak mudah seperti layang-layang pada umumnya. Setelah daun kolope dipetik, kemudian ditindih menggunakan kayu agar daunnya lurus dan mudah untuk dijahit.
Langkah selanjutnya daun dipanaskan di atas bara api lalu dijemur selama dua hari. Hasilnya bahan layangan jadi elastis dan kedap air. Itulah sebabnya kaghati tahan berada di udara selama berhari-hari karena kedap air.
Pembuatan kaghati tidak mengikuti ukuran tertentu, tergantung pada selera pembuatnya dan siapa yang akan memainkan layangan tersebut. Ukuran kaghati dapat mencapai 1,9 meter dan lebar 1,5 meter. Semakin besar kaghati maka akan semakin sulit untuk menerbangkannya karena membutuhkan sumber angin yang lebih kencang dari biasanya.
Angin yang biasa digunakan untuk menerbangkan layang-layang ini adalah angin musim timur yang bertiup pada Juni hingga September. Kencangnya tiupan angin mampu membuat layang-layang bertahan di angkasa selama 7 hari.
Menurut bentuknya, kaghati dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yang telah dikenal secara umum oleh masyarakat daerah Muna, seperti bhangkura dan sopi fotu.
Bhangkura, jenis ini berbentuk wajik dan merupakan jenis yang paling umum dibuat karena modelnya relatif sederhana seperti layangan pada umumnya. Panjang tiang vertikal dan horizontal seimbang (sama). Pertengahan tiang horisontalnya diikat pada 1/5 bagian atas tiang vertikal.
Sementara sopi fotu memiliki bentuk yang lebih lancip pada sisi atasnya dibanding jenis bhangkura. Keunggulan jenis ini adalah kecepatan melayang/terbang di udara sangat tinggi.
Layang-Layang Pertama di Dunia
Kaghati kolope merupakan layang-layang pertama di dunia. Hal itu dibuktikan dengan adanya lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang di dalam Gua Sugi di Desa Liangkabori. Gambar tersebut ditemukan oleh antropolog asal Jerman bernama Wolfgang Bick.
Wolfgang tertarik meneliti kaghati kolope usai layang-layang ini menang dalam festival layang-layang internasional di Prancis pada 1997. Ia pun datang ke Muna meneliti tentang layang-layang tersebut.
Dalam Gua Sugi, tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batu dengan menggunakan tinta berwarna merah dari oker (campuran tanah liat dan getah pohon).
Penemuan lukisan di Gua Sugi Patani ini mematahkan klaim yang menyatakan bahwa layangan pertama berasal dari Cina pada 2.400 lalu. Layangan yang ditemukan di China menggunakan kain parasut dan batang aluminium, sementara layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Sementara itu, asal usul kaghati menjadi legenda dalam masyarakat Muna. Ada kepercayaan bahwa kaghati akan menjadi mainan pemiliknya saat kembali ke akhirat.
Menurut La Dasar, konon masyarakat terdahulu percaya ketika pemiliknya meninggal, layang-layang tersebut akan mengikut juga ke akhirat. Oleh karena itu, mereka menaikkan kaghati kolope selama 7 hari 7 malam. Pada hari ketujuh, sebanyak empat buah ketupat dan empat buah telur digantung di layang-layang tersebut, lalu talinya dilepas.
“Konon, itu akan menjadi mainan mereka nanti di akhirat, tetapi harus 7 hari 7 malam, kalau tidak sampai 7 hari tidak bisa juga menurut kepercayaan dulu,” kata La Dasar.
Pendapat lain juga mengatakan munculnya layang-layang kaghati merupakan manifestasi suku Muna terdahulu yang menyembah api. Mereka meyakini bahwa sumber api adalah matahari. Menerbangkan layang-layang kaghati selama tujuh hari adalah cara mereka mencapai Tuhan.
Tepat pada hari ketujuh, tali layang-layang tersebut diputus agar bisa terbang menuju langit tempat Tuhan mereka (matahari) berada.
Dalam perkembangannya setelah agama lslam masuk ke Muna, ritual tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi. Saat ini layang-layang biasanya menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang dinaikkan sejak sore sampai pagi hari selama 7 hari 7 malam. (*)
Editor: Jumriati