OPINI – Fenomena yang sering terjadi setiap kali ajaran baru dimulai adalah orangtua berbondong-bondong mengantar anaknya masuk sekolah. Momen ini umumnya terjadi pada HPS (Hari Pertama Sekolah). Mengapa demikian?
Hari Pertama Sekolah
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengantar anak semata wayangnya, Muhammad Zinedine Alam Ganjar (14 th), masuk sekolah pada HPS di SMP Negri 2 Semarang. Beliau mengungkapkan bahwa anaknya sekarang telah duduk di kelas 9. Anaknya itu pernah malas bersekolah. Bangunnya pun siang. Rupanya, dia rindu diantar ke sekolah. Sehingga, ia pun dulu mengantar anaknya setiap hari ke sekolah sebelum berangkat kerja (Teropong senayan.com, 18/07/2016).
Tetapi ada juga ternyata orangtua yang mengantar anaknya pada HPS dengan motif berbeda. Sebut saja Ibu Eni, salah satu orangtua siswa di SDN 61 Kota Bengkulu. Ibu Eni mengantar anaknya, Dava Alvaro, pada hari pertama masuk sekolah karena merasa khawatir putranya tidak mendapatkan bangku (Kompas.com, 21/07/2016).
Di Indonesia, mengantarkan anak pada HPS baru digaungkan di era pemerintahan Jokowi – JK. Surat edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang hari pertama sekolah yang dikeluarkan oleh Mendikbud, Anis Baswedan, merupakan himbauan bagi masyarakat untuk mengantarkan anaknya di hari pertama sekolah, khususnya anak yang baru masuk taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Selain itu, jika ada orang tua yang notabene adalah PNS atau aparatur sipil negara maka boleh menghubungi pimpinannya dan meminta izin untuk datang terlambat di hari pertama masuk sekolah. Hal ini sesuai dengan surat edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan No. 28901/MPK.A/KP/2016 tentang permohonan izin terlambat bagi aparatur sipil negara di hari pertama masuk sekolah.
Lain Indonesia, lain pula luar negeri. Negara-negara lain semisal Rusia, Jerman, India, Jepang, dan Selandia Baru telah lebih dulu menjadikan aktivitas mengantar anak ke sekolah pada HPS sebagai tradisi. Hari tersebut dianggap sangat penting bagi anak yang pertama kali masuk sekolah. Sehingga, sekolah mengadakan upacara penyambutan khusus untuk murid baru beserta keluarganya.
Itulah fenomena yang sering terjadi setiap tahunnya. Mengantar anak pada hari pertama masuk sekolah hanya sekedar ceremony (ritual) tahunan bagi orang tua.
Akar Masalah
Orangtua seyogyanya terlibat terus menerus terhadap pendidikan anaknya, bukan saja aktif menggugurkan kewajiban mengantar anak ke sekolah pada HPS. Apalagi sampai menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan anak. Sebab, demi kesuksesan pendidikan anak, maka sekolah, keluarga, dan lingkungan, seyogyanya bersinergi.
Dari awal, tanggungjawab mendidik anak merupakan hal yang wajib dipegang oleh kedua orang tuanya. Adapun pendidikan awal pada anak yang dimaksud yaitu pendidikan aqidah islam. Itulah sebabnya seorang ibu harus memiliki banyak ilmu karena guru pertama bagi anak adalah Ibunya.
Menjadi ironi jika kita melihat sebagian besar ibu-ibu muslimah yang waktunya lebih banyak dihabiskan di luar rumah dengan aktivitas kerja mereka. Posisi wanita karier memang menjadi pilihan yang lebih menarik ditekuni oleh sebagian besar perempuan di negeri ini, daripada menjadi ibu rumah tangga saja.
Padahal menjadi ibu rumah tangga juga merupakan profesi, malah menjadi profesi paling mulia di mata Allah SWT. Tetapi perempuan-perempuan hari ini kebanyakan tidak menjadikannya sebagai profesi utama. Mereka terpengaruh sudut pandang barat yang secara implisit meyakini bahwa wanita itu wajib bekerja. Wanita yang tidak bekerja dikatakan tidak produktif, apalagi jika hanya sekedar berstatus ibu rumah tangga. Definisi “Ibu” telah mengalami pergeseran tugas, dimana perempuan yang sudah bersuami dan memiliki anak harus bersusah payah ikut mencari uang guna menopang perekonomian keluarga, walaupun harus ke luar negeri dengan taruhan nyawa.
Fakta yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yaitu tuntutan ekonomi keluarga. Penerapan sistem kapitalisme dengan asasnya yang memisahkan agama dari kehidupan telah memaksa para perempuan untuk keluar bekerja. Padahal dalam pandangan agama, tugas utama perempuan bukan mencari nafkah, melainkan mengurus suami dan anak-anaknya. Hal ini sebenarnya bukan keinginan sejati para perempuan tetapi karena tuntutan kebutuhan dan kondisi ekonomi yang tidak memadai, mereka harus mengorbankan keluarganya. Inilah dampak buruk ketika negara mengadopsi ideologi sekuler kapitalis ala barat. Eksploitasi ibu dan anak dalam kepentingan ekonomi tidak dapat terhindarkan. Sementara, pemerintah tidak dapat memberikan jaminan keamanan dan perlidungan.
Faktor lainnya yaitu para perempuan khususnya mereka yang sudah berumah tangga tidak paham dengan kewajiban mereka yang utama, sehingga kewajiban mereka itu terabaikan. Sudah jelas pembagian tugas kepengurusan dalam rumah tangga; Ayah mencari nafkah dan Ibu mengurus rumah (keperluan suami dan anak). Bukan sebaliknya! Belum lagi, dunia ini diramaikan oleh para ibu yang kurang pemahaman atau ilmu agamanya dalam mendidik anak. Walhasil, semakin kacau lah pendidikan anak.
Padahal, dengan menjamurnya permasalahan anak dan remaja yang ada sekarang (sex bebas, kekerasan ataupun kriminalitas pada anak, dll), ibu memiliki peran besar dan strategis dalam mendidik generasi agar tidak terjebak dalam perilaku negatif yang dampaknya dapat merusak kehidupan mereka. Sebab, generasi muda merupakan generasi yang diharapkan menjadi penerus peradaban manusia.
Guru Pertama Anak dalam Islam
Keluarga merupakan pondasi utama dari pendidikan anak, khususnya orang tua. Orang tua, utamanya ibu, harus mengetahui dengan jelas siapa teman-teman anaknya karena teman memiliki pengaruh besar terhadap pergaulan anak. Rasullulah SAW bersabda, agama seseorang tergantung temannya. Atau kah, sebagaimana teman diibaratkan sebagai penjual wewangian (teman yang baik) dan peniup dapur tukang besi (teman yang buruk). Dari Abu Musa ra., Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya perumpamaan berkawan dengan orang sholeh dan berkawan dengan orang jahat adalah seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup dapur tukang besi. Penjual minyak, dia mungkin akan memberikan kamu atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan terpercik aroma wangi darinya. Tetapi penipu dapur, dia mungkin akan membakar pakaianmu atau kamu akan terpercik bau yang tidak sedap darinya karena asap dapur (HR. Muslim No.4762).
Maka, pantaslah jika ibu dikatakan sebagai guru pertama bagi anak-anaknya. Merekalah tempat anak pertama kali mendapat pelajaran. Lihat saja bagaimana ulama-ulama seperti Imam Hambali bisa menjadi ulama besar. Walaupun pada saat itu Imam Hambali yatim dan miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang sholeha, beliau mampu menjadi orang yang amat mencintai ilmu, kebaikan dan kebenaran. Atau kah Imam Syafi’i yang di usianya baru menginjak 7 tahun sudah mampu menghafal seluruh isi Al-Qur’an, bahkan ia sudah berfatwa pada usia 15 tahun. Semua itu karena didikan ibunya yang luar biasa. Tentu saja masih banyak lagi ulama-ulama besar yang dibalik kesuksesannya itu ada peran penting ibu mereka yang sholeha.
Islam telah memberikan status terhormat bagi kaum perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga. Hukum asal perempuan inilah yang kemudian menjadi tanggungjawab negara dalam menjaga kehormatan dan posisi perempuan. Sistem pemerintahan Islam akan memastikan peran utama dari seorang ibu terlaksana dengan baik dan optimal.
Dalam sistem Islam, negaralah yang bertindak sebagai benteng hakiki, benteng pertama, dan benteng utama dalam mengemban sistem besar yang akan melindungi masyarakat, keluarga, juga individu. Sebagaimana sabda Rasullulah SAW, Imam atau kepala Negara adalah pemimpin bagi rakyatnya yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika pemerintah bermaksud menyediakan wadah agar orangtua lebih terlibat dalam proses pendidikan anaknya di sekolah, tentulah regulasi mengantar anak ke sekolah pada HPS tidak cukup memadai. Seyogyanya, pemerintah membuat kebijakan dalam bentuk ‘penghapusan’ semua aspek yang mendorong atau memaksa kaum ibu untuk bekerja di luar rumah sehingga harus melalaikan tanggungjawab pengasuhan dan pendidikan anaknya.
Menjadi ibu memang tidaklah mudah. Ada amanah dan tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Oleh karena itu, seorang ibu harus faham posisi urgennya sebagai pendidik utama sang anak, bukan mengejar karir atau membantingtulang menafkahi keluarganya. Hal ini sebagai bentuk kesadaran orangtua akan hubungannya dengan Allah SWT. Saatnya para ibu berjuang mewujudkan peradaban mulia dalam mencetak generasi-generasi tangguh pelanjut peradaban. Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Hasriyana, S. Pd
(Wiraswasta dan Aktivis MHTI Konawe)