Harga Premium yang tadinya Rp 8.500 diturunkan menjadi Rp 7.600, begitupun dengan harga Solar yang sudah disesuaikan dengan harga pasar. Tak ada yang salah dengan kebijakan ini. Akan tetapi banyak p
Harga Premium yang tadinya Rp 8.500 diturunkan menjadi Rp 7.600, begitupun dengan harga Solar yang sudah disesuaikan dengan harga pasar. Tak ada yang salah dengan kebijakan ini. Akan tetapi banyak pertanyaan yang muncul dengan kebijakan ini,
Pertama, disaat menaikkan harga BBM pada bulan November yang lalu ditengah turunnya harga minyak dunia, pemerintah beralasan bahwa kita tidak boleh mengikuti tren dari turunnya harga minyak dunia, akan tetapi karena beban subsidi yang besar maka harga dari BBM harus dinaikkan. Pertanyaannya apakah dengan diturunkannya harga BBM sekarang ini selisih subsidi yang didapatkan oleh pemerintah disaat menaikkan harga BBM yang diperkirakan oleh pemerintah totalnya diatas Rp 100 triliun apakah berkurang atau tidak? Kalau berkurang maka kebijakan menurunkan harga BBM sungguh tidak logis karena total anggaran diatas Rp 100 triliun tersebut telah diagendakan oleh pemerintah untuk menunjang program Jokowi-JK.
Kedua, lewat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah mengatakan bahwa dengan menurunkan harga BBM di harga Rp 7.600 maka premium tidak mendapatkan lagi subsidi. Kebijakan ini sangat aneh dan terkesan seperti ada yang disembunyikan pemerintah. Anehnya adalah dengan alasan ingin mengurangi subsidi BBM di bulan november yang lalu maka pemerintah menaikkan harga premium Rp 8.500, akan tetapi ketika menurunkan harga premium di harga Rp. 7.600 pemerintah mengatakan tak ada lagi subsidi untuk premium. 2 pernyataan yang sebenarnya bertentangan dan selayaknya KPK bisa menyelidiki persoalan ini karena sepertinya pemerintah menyembunyikan harga kelayakan dari subsidi BBM.
Ketiga, dengan menurunkan harga BBM tidak serta merta menurunkan harga-harga kebutuhan pokok. Kebijakan ini kemudian tidak secara signifikan membawa dampak baik untuk seluruh rakyat Indonesia. Harga-harga kebutuhan pokok terlanjur naik terutama biaya transportasi masih mengikuti harga lama disaat BBM naik.
Keempat, sangat kelihatan pemerintahan Jokowi-JK tidak mampu melihat perkembangan harga minyak internasional. Tidak kurang dari 45 hari, kebijakan menaikkan harga BBM yang telah banyak menimbulkan banyak korban harus direvisi lagi. Pemerintahan Jokowi-JK harus melakukan evaluasi terhadap tim ekonomi kabinetnya.
Kelima, menurunkan harga BBM dan melepasnya sama dengan harga dipasaran internasional seperti menjadi buah simalakama bagi rakyat Indonesia. Disatu sisi rakyat Indonesia bisa membeli BBM jenis premiun dengan harga yang lebih murah dibanding 1 bulan terkhir ini akan tetapi melepasnya dengan mengikuti harga minyak internasional sama saja dengan bunuh diri. Kita bisa membayangkan kira-kira ketika harga minyak internasional menyentuh harga diatas $ 100 per barelnya, maka dapat dipastikan harga BBM kembali akan melonjak naik.
Keenam, terlepas dari semua pertanyaaan diatas, kebijakan energi dari pemerintah memang sudah sangat melenceng dari apa yang digariskan oleh konstitusi UUD 1945 terutama pada pasal 33. Apalagi pada saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) pasangan Jokowi-JK kental dengan semboyan TRISAKTI. Program pokok Politik Yang Berdaulat, Ekonomi Berdikari, Berkepribadian di bidang Kebudayaan tidak pernah lagi terdengar dari pidato-pidato Presiden Jokowi maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla. Semoga TRISAKTI yang sudah menjadi ruh kampanye Jokowi-JK tidak menjadi TRANSAKSI oleh kepentingan sesaat dari pemerintah. (***)
Staf Deputi Politik KPP PRD